Pada awal masa masuk kampus, rasa bimbang terhadap pilihan jurusan adalah hal yang lumrah bagi mahasiswa baru. Saya juga pernah mengalaminya. Saat itu, saya terjebak dalam bayangan ideal akan karier mapan di bidang pemerintahan yang katanya terbuka lebar bagi lulusan ilmu politik.Â
Ekspektasi saya jelas. Saya bisa masuk birokrasi, politik praktis, atau jadi bagian dari parlemen. Tapi ketika perkuliahan sudah mulai dan realitas menyapa, saya malah menyadari bahwa arah yang dijanjikan itu tak semulus narasinya. Meski sempat ada harapan, sampai lulus, jalan menuju karier yang linier dengan jurusan kuliah masih seperti teka-teki yang belum ketemu jawabannya.
Saya perlu memberi garis bawah di sini. Rasa kecewa karena merasa salah jurusan bukan selalu soal pilihan pribadi. Dan di banyak kasus, kampus justru tidak memberikan peran aktif untuk membantu proses ini.
Alih-alih membuka wawasan dan mendorong eksplorasi, sistem kampus justru kerap membuat mahasiswa makin bingung dan kehilangan arah. Di titik inilah “dosa-dosa kampus” tak bisa terus dilanggengkan. Mari kita bahas satu per satu.
Kampus masih memelihara kurikulum dan sistem belajar lawas
Di tengah perkembangan zaman yang kian cepat, tak sedikit kampus masih mempertahankan kurikulum usang. Seolah-olah perkembangan teknologi dan kebutuhan industri hanyalah tren sesaat.Â
Akibatnya, kampus hanya bisa menjejali mahasiswa dengan teori basi. Sudah begitu, metode pembelajaran yang ada amat membosankan. Pada akhirnya, ketika lulus, mahasiswa tak punya skill dan kemampuan yang bisa ditawarkan kepada perekrut kerja.
Ironisnya, kampus yang enggan berinovasi bukan hanya mencederai potensi mahasiswa, tapi juga turut andil mencetak tingginya angka pengangguran. Padahal, seharusnya, kampus berfungsi sebagai jembatan efektif untuk menghubungkan antara teori dan praktik. Mereka bukan sekadar pencetak gelar formal yang tak berdaya di tengah realitas dunia kerja.
Baca halaman selanjutnya: Malah jadi sumber dosa bagi mahasiswa.




















