Sering kali saya cukup emosi dengan tren ngarab akhir-akhir ini. Mulai dari perubahan gaya pakaian, hingga gaya bahasa. Gaya bahasa yang lebih arab meski dengan tata bahasa yang salah di sana-sini, tapi tetap diucapkan dengan penuh kepercayaan diri. Ya, sudah mirip anak jaksel yang secara serampangan pakai which is sebagai pengganti tanda baca koma.
Apalagi ketika saya tanya langsung pada teman-teman saya yang hobi benar mengganti kata kamu dengan antum, mereka bahkan tidak tahu menahu tentang apa itu nahwu. Padahal, ia adalah ilmu paling dasar dalam mempelajari bahasa Arab. Jadi, sebenarnya mereka kenapa, sih?
Dari beberapa jurnal yang saya baca, Arab spring-lah yang jadi salah satu alasan. Iya nggak nyambung memang. Arab spring sendiri adalah semangat revolusioner untuk membebaskan masyarakat Arab dari dominasi pemerintah. Eh, bukannya semangat revolusionernya yang tertularkan, tapi malah atribut-atributnya.
Parahnya, gaya yang sangat Arab ini tidak hanya jadi tren tapi juga diam-diam jadi (((tolok ukur))) keimanan seseorang. Jadi, semakin Arab dia, maka semakin beriman dan layak dijadikan panutan. Semakin banyak kosa kata bahasa Indonesia yang diganti dengan bahasa Arab (walaupun nguawur dan tidak mengikuti kaidah bahasa mana pun), semakin Islam pula dirinya.
Dari sini saya jadi paham, kenapa dulu Gus Dur beberapa kali mengutarakan pesan yang bunyinya kurang lebih seperti ini, “Islam datang bukan untuk mengubah saya menjadi ana, dan kalian menjadi antum. Yang harus diikuti ajarannya, bukan budaya (Arab)-nya.” Padahal zaman Gus Dur masih hidup, belum banyak orang-orang ngarab seperti saat ini. Akan tetapi beliau sudah mewanti-wanti supaya kita memegang nilai Islam, bukan atribut Arab.
Jauh sebelum Gus Dur, Nabi Muhammad bahkan membawa pesan untuk tidak mengunggulkan atau membuat satu kaum lebih superior dibanding yang lain. Dalam pidato terakhir beliau ketika melaksanakan haji wada’, Rasulullah sudah berpesan bahwa bangsa Arab dan Ajam (sebutan untuk non-Arab pada zaman itu), adalah sama. Tidak ada yang lebih mulia dan lebih rendah, kecuali semua dilihat dengan ketaqwaannya kepada Allah.
Ketika saat ini kita yang sedang memulai belajar agama mudah sekali bertanya, “Mana dalilnya?” pada amalan-amalan yang bertujuan untuk menghormati Nabi Muhammad. Akan tetapi, kenapa ketika ada penceramah yang mulai ngarab, kok kita nggak tanya, “Sampeyan ngajinya di mana? Kitabnya udah sampai mana? Masa bilang kamu jadi antum? I’rabnya apa itu?”
Standar ganda ini membuktikan bahwa kita lebih percaya kepada apa yang tampaknya meyakinkan dengan tampilan dan kosa kata Arab yang ala kadarnya, daripada standar keilmuan yang komperhensif.
Memangnya akan seberbahaya itu, ya, belajar dari orang-orang yang ngarab? Belum tentu, bisa iya dan bisa tidak. Pasalnya, pemahaman ilmu seseorang, kan, tidak bisa hanya dilihat dari hal yang tampak luarnya saja. Kita juga harus menelusuri sanad keilmuannya.
Namun begini, seperti halnya penyakit yang bisa dikenali dengan gejala meskipun tak menjamin seratus persen keakuratannya, analisis serupa juga bisa dilakukan untuk mengidentifikasi ciri guru yang baik. Biasanya, orang yang benar-benar paham bahasa Arab, ia juga paham bahwa tujuan utama belajar bahasa Arab itu sebagai sarana untuk belajar ilmu-ilmu lain. Wong kalau di pesantren saja, namanya ilmu alat, ya digunakannya sebagai alat bukan tujuan apalagi buat mejeng nyari panggung.
Biasanya juga, orang yang benar-benar qualified dalam suatu bidang keilmuan, tidak mudah melabeli orang lain. Pasalnya, semakin dalam ilmu yang dikuasai maka semakin luas cara memandang orang lain, sehingga tidak mudah melabeli macam-macam. Seperti kata Sujiwo Tejo dalam bukunya yang berjudul Tali Jiwo, “Cara paling ampuh untuk menjaga agar pikiran kita tetap waras adalah dengan meninggalkan penceramah apabila ia sudah mulai menyalah-nyalahkan orang yang berkeyakinan lain.”
Terakhir, supaya kita tidak mudah menilai kualitas keilmuan dan keimanan seseorang hanya karena ia mengganti kosa kata bahasa Indonesia dengan bahasa Arab, saya nukilkan pesan dari Nur Cholis Madjid, “Kita tidak boleh mengkuduskan sesuatu yang tidak kudus.” Termasuk dalam hal ini bahasa Arab. Mempelajari bahasa Arab harus benar-benar disadari sebagai media atau alat, bukan standar keilmuan, lebih-lebih keimanan seseorang.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.