Barangkali Guci telah menjadi tempat ikonik di Kabupaten Tegal yang diingat banyak orang. Sebab di sini ada pemandian air panas Guci yang terkenal. Bahkan ketika orang asing bertanya pada saya, “Tegalnya mana?” saat berkenalan, saya akan menjawab Guci supaya orang bisa paham di mana rumah saya.
Akan tetapi sebagai warga Tegal, saya justru nggak tertarik untuk pergi ke pemandian air panas Guci. Saya hanya akan ke sana untuk mengantar kerabat atau kawan jauh yang sedang berkunjung. Itu pun jika diminta. Kalau nggak, saya memilih membawa mereka ke tempat wisata lain. Ada beberapa alasan yang membuat saya enggan berwisata ke Guci.
Daftar Isi
Di sini bayar, di sana bayar, di mana-mana bayar
Sebenarnya harga tiket untuk berwisata ke Guci nggak terlalu mahal. Ada beberapa tempat yang bisa dikunjungi di sini. Harga yang dipatok pun beragam, mulai dari gratis seperti di Pancuran Lima hingga ratusan ribu rupiah seperti di Camping Ground. Dibanding tempat wisata lain seperti Candi Borobudur, misalnya, berwisata di Guci relatif lebih murah. Bahkan beberapa pemandian air panas yang menjadi ciri khas Guci mematok harga dari 0 sampai 45 ribu rupiah saja.
Akan tetapi jika menjumlahkan semua pengeluaran untuk masuk ke lokasi pemandian, nilainya bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Itu belum termasuk bensin dan jajan, ya. Sekalipun harga tiketnya murah, tapi di mana-mana harus bayar.
Tiap kali pergi ke pemandian air panas Guci Tegal, saya seolah berada dalam serial SpongeBob SquarePants, di mana Tuan Krabs memberlakukan tarif per langkah untuk setiap orang yang masuk ke Krusty Krabs. Begitulah di Guci. Masuk kawasan Guci bayar, masuk wisata bayar, masuk wahana bayar, menggunakan loker buat menyimpan tas bayar, pakai ruang bilas dan ganti baju bayar, pakai kamar mandi buat kencing dan berak bayar. Semuanya bayar.
Tentu saja bagi orang yang hidup di Tegal dengan upah minimum yang nggak tinggi-tinggi amat mengeluarkan ratusan ribu untuk berwisata di Guci rasanya memberatkan. Bayangkan saja untuk UMK Kabupaten Tegal sekitar Rp2,1 juta, berwisata ke Guci hanya untuk merasakan pemandian air panas saja kita sudah harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu rupiah.
Pemandian air panas Guci ramai, terutama saat akhir pekan dan liburan tiba
Guci nggak pernah sepi pengunjung. Mungkin hanya saat pandemi kemarin tempat wisata ini sepi. Di luar itu, pengunjung selalu datang, terutama saat akhir pekan dan musim liburan tiba. Guci seolah menjelma menjadi lautan manusia di saat-saat seperti itu.
Pengunjung berjubelan di jalan, di pemandian, di toko oleh-oleh, dan di spot-spot tempat duduk dan foto. Coba bayangkan, kolam pemandian air panas saja sampai pada titik di mana orang nggak bisa merentangkan kedua tangan. Orang-orang mandi berhimpitan di sini.
Selain itu saat akhir pekan dan liburan, jalan menuju Guci Tegal sangat macet. Hal ini karena jalan menuju ke sana terlampau sempit padahal pengunjung membludak. Di musim liburan, kemacetan bisa mengular hampir 4 kilometer. Ditambah lagi lahan parkir yang disediakan kurang luas. Banyak bus besar yang masuk tanpa memperhatikan ketersediaan lahan parkir. Ingat kasus bus masuk jurang di Guci? Salah satu penyebab tak langsung adalah pengelolaan parkir yang buruk di sini.
Sampah di mana-mana
Saya mengamati ketersediaan tempat sampah di pemandian air panas Guci Tegal cukup minim. Hal ini ditandai dengan banyak ditemukannya sampah di pinggiran sungai sekitar pemandian air panas. Banyak pengunjung yang membuang sampah sembarangan di sungai. Sampah-sampah ini juga acap kali ditemui di sekitar pipa-pipa saluran air warga.
Selain itu, tempat pemandian yang seharusnya digunakan untuk umum, masih banyak kita jumpai orang-orang yang menggunakan sabun dan sampo di kolam. Busanya sangat mengganggu pengunjung lain. Terlebih, bungkusnya juga sering kali dijumpai mengambang di permukaan kolam. Pengelola perlu menertibkan aturan bagi pengunjung yang berendam di dalam kolam.
Fasilitas minim di pemandian air panas Guci Tegal
Di Pancuran 13, untuk tiket seharga Rp20 ribu hanya ada pancuran dan main di kali. Untuk tempat wisata yang banyak didatangi pengunjung, tempat istirahat yang disediakan pengelola pemandian air panas sangatlah minim. Saking minimnya, orang-orang perlu menyewa tikar sebagai tempat menaruh barang-barang bawaan. Loker sangat terbatas. Kalau hujan malah nggak ada tempat berlindung sama sekali.
Itulah beberapa hal yang membuat saya enggan berwisata ke pemandian air panas Guci Tegal. Saya rasa kebanyakan orang Tegal juga akan sepakat dan memilih berwisata ke tempat lain. Berendam di air panas di bawah kaki Gunung Slamet memang menyenangkan, tapi pengelolaan yang buruk membuat kebanyakan orang berpikir dua kali untuk berkunjung ke Guci lagi dan lagi.
Penulis: Abdul Manan
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jangan Lakukan 5 Hal Ini Saat Pergi ke Pemandaian Air Panas Guci Kabupaten Tegal.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.