Pepatah yang relate dengan kelas menengah belakangan ini: sudah jatuh, tertimpa PPN 12 persen. Kasihan.
“The government solution to a problem is usually as bad as the problem and very often makes the problem worse” sebuah quote dari penerima nobel ekonomi Milton Friedman. Pernyataan tersebut saya dengar dari dosen saya dalam sesi mata kuliah ekonomi makro ketika sarjana dulu. Pada saat itu, dosen saya menjelaskan bagaimana pemerintah harus punya pemahaman dan keberpihakan untuk melahirkan kebijakan ekonomi yang ideal bagi masyarakat. Kalau tidak, “solusi” dari pemerintah bukan jadi solusi, tapi jadi masalah baru di sebuah negara. Saya pun menyadari, akhir-akhir ini, pemerintah seolah membenarkan apa yang disampaikan oleh Milton Friedman beberapa dekade lalu.
Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan bahwa kenaikan PPN per 1 Januari 2025 akan tetap diberlakukan. Sri Mulyani menyebut, kenaikan PPN ini telah tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Daftar Isi
Kenaikan PPN di tengah kondisi ekonomi yang berdarah-darah
Secara umum, PPN ini adalah pajak konsumsi. Jadi, pajak yang muncul dalam tiap transaksi jual beli barang atau jasa yang ditanggung oleh konsumen akhir. Misalnya, kalian makan di restoran habis Rp50.000. Saat pembayaran, kalian akan membayar Rp50.000 plus pajak 12 persen, dengan kata lain kalian akan merogoh kocek Rp56.000.
Di tengah kondisi perekonomian dalam negeri yang sedang sakit, langkah “saklek” pemerintah menaikan tarif PPN jadi paradoks tersendiri. Ingin menguatkan daya beli masyarakat, tapi pajaknya malah dinaikan. Ibarat pedagang yang ingin dagangannya laris, tapi malah menaikan harga jual barangnya.
Pemerintah dan mungkin pendukungnya (buzzernya), berargumen bahwa kenaikan tarif pajak punya beberapa misi terkait urgensi dalam mendorong perekonomian dalam negeri. Pertama, langkan ini untuk menambah penerimaan negara yang beberapa tahun terakhir berdarah-darah pasca COVID-19. Kebijakan yang bersifat insentif seperti Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan bantuan sosial tentu jadi beban fiskal tersendiri. Kedua, menambal defisit anggaran karena beberapa proyek nasional era Presiden Prabowo ke depan akan menelan anggaran yang tidak sedikit. Sebut saja IKN, makan bergizi gratis, membangun Universitas HAM berskala internasional, dan lain sebagainya.
Pertanyaan saya, apakah memang harus dengan menaikan PPN yang notabennya akan langsung berdampak ke kelas menengah?
PPN akan menekan kelas menengah
Kenaikan PPN ini akan punya dampak negatif yang signifikan bagi kelas menengah. Pertama, kenaikan ini membuat beban pengeluaran kelas menengah jadi makin tinggi. Bayangkan saja, pajaknya naik, harga barang dan jasa tentu jadi naik kan? Data Mandiri Spending Index (MSI) menyebutkan, kelas menengah mengeluarkan 27,4 persen dari pengeluaran hanya untuk makan. Lha kalau naik PPN-nya, tentu ya makin kecekik ini kelas menangah.
Kedua, daya beli kelas menengah jadi turun. Menurun di sini bisa diartikan kelas menengah memang uangnya nggak cukup, nggak punya uang, atau karena selektif dalam berbelanja. Apapun itu, imbasnya akan kena ke sektor riil.
Ketiga, meningkatkan ketimpangan sosial. Kalau orang kaya bisa menjaga nilai hartanya ketika kenaikan pajak dengan berinvestasi atau mengakali pajak. Kelas menengah kesulitan melakukan itu. Akibatnya, terjadi ketimpangan pendapatan. Pendapatan kelas menengah kepotong PPN, belum lagi BPJS yang juga diwacanakan naik, dan Tapera.
Keempat, kenaikan tarif PPN memposisikan kelas menengah dalam situasi yang sulit. Mereka harus mengurangi pengeluaran untuk aspek yang mendukung peningkatan kualitas hidup, seperti pendidikan tambahan, rekreasi, dan investasi. Akibatnya, kelas menengah jadi kesulitan menstabilkan kondisi keuangan untuk aspek penting yang mendukung kesejahteraan jangka panjang. Ujung-ujungnya, sulit terjadi peningkatan kualitas hidup dan berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Keempat sektor usaha, baik itu kecil, menengah, maupun besar, pasti terseok-seok karena barang dan jasa yang mereka tawarkan, tidak laku karena konsumen menahan belanja mereka. Ketika itu terjadi, mereka berpotensi bangkrut. Yah mungkin akan muncul pelaku usaha lain yang akan bernasib sama dengan Mbah Pramono, seorang pengepul susu di Boyolali.
Negara penuh paradoks
Semua dampak tadi jadi paradoks tersendiri dengan target pemerintah yang ingin mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen. Padahal, kalau pemerintah mau, ada beberapa objek pajak lain yang bisa mendorong peningkatan rasio pajak dalam negeri, alih-alih harus mengutak-atik tarif pajak PPN. Misal, bisa melalui penerapan pajak kekayaan atau wealth tax. Selain itu, pajak atas keuntungan luar biasa dari sektor komoditas atau windfall profit tax. Itu bisa diterapkan untuk memaksimalkan pendapatan negara ketika terjadi lonjakan keuntungan yang tak terduga pada industri tertentu (biasanya tambang, tapi apakah berani?). Sementara itu, kebijakan pajak karbon yang membebani emisi gas rumah kaca juga dapat menjadi opsi yang selaras dalam upaya menjaga keberlanjutan lingkungan.
Lebih jauh lagi, pencegahan terhadap praktik korupsi, penggelapan pajak, dan pemalsuan cukai juga bisa dioptimalkan. Adik Presiden Prabowo sendiri, Hashim Djojohadikusumo, mengungkapkan bahwa kebocoran penerimaan negara dari sektor pajak dan sumber daya alam dapat mencapai Rp300 triliun. Ini termasuk pendapatan dari perkebunan sawit yang tidak tercatat akibat penguasaan ilegal atas lahan. Bayangkan kalau itu bisa antisipasi lebih dini. Di sisi lain, BPKP mencatat bahwa sekitar 53 persen anggaran daerah pada 2023 tidak digunakan secara efisien, total pemborosan mencapai lebih dari Rp141 triliun. Tapi kembali lagi, persoalannya adalah pemerintah mau apa tidak menjalankan semua opsi tersebut?
Kelas menengah dipaksa terus bersiasat
Kelas menengah tentu harus menyiapkan strategi agar tetap bertahan menghadapi kebijakan pemerintah yang acap kali aneh. Beberapa contoh siasat yang bisa dilakukan seperti lebih bijak dalam mengelola pendapatan, meningkatkan keterampilan agar bisa mencari pekerjaan sampingan, atau bahkan jadi TKI di luar negeri. Hal lain yang tidak kalah penting, kelas menengah perlu menghindari judi online dan pinjaman online. Jangan buat diri susah dengan mendekati sesuatu yang jelas-jelas lebih banyak apesnya.
Saya jadi teringat dengan secarik lirik dari lagu Fourtwnty berjudul Zona Nyaman, “Bekerja bersama hati. Kita ini insan bukan seekor sapi.” Ah, lagu ini benar-benar salah. Nyatanya kita memang hanya sekadar seekor sapi. Diperah susunya dan kemudian disuruh nyari makan sendiri. Ngenes? Ya begitulah nasib masyarakat Indonesia.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 7 Siasat Kelas Menengah agar Bisa Bertahan di 2025
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.