Profesi itu ada banyak. Pegawai kantoran, salesman, penyiar radio, bahkan seniman, itu semua adalah bermacam profesi yang sudah umum kita temukan. Saking umumnya, di beberapa formulir pendataan seperti bila kita ingin membuka rekening, data sensus penduduk, bahkan saat ingin membuat NPWP, nama-nama profesi itu akan tertera di kolom pekerjaan.
Dulu saat masih bekerja di sebuah stasiun televisi swasta, tentu saja saya bisa memberikan jawaban dengan mudah pada kolom tersebut. Sekarang? Agak susah.
Sudah setahun terakhir sejak kepulangan saya ke Sidoarjo, selama itu juga saya akhirnya berani untuk mulai bekerja dari rumah. Kerja apa? Menulis. Bisa dibilang saya bisa makan dari hal yang paling saya sukai. Saya bisa dapat uang dari hobi.
Yang awalnya hanya menulis di caption akun media sosial dan blog, sekarang saya sudah mulai berani untuk mengirimkan opini saya dalam bentuk artikel ke beberapa media daring. Saya juga sudah mulai buka jasa editor freelance dan sebagai content writer. Semuanya itu bisa saya kerjakan sambil rebahan di rumah bermodalkan gawai, laptop, dan bercangkir-cangkir kopi saja.
Kelihatannya menyenangkan ya, nggak perlu ongkos ke sana-sini, duduk manis saja di rumah dapat duit. Tapi tidak semenyenangkan itu juga. Seperti yang saya bilang di atas, hal yang saya lakukan ini bagi beberapa orang masih belum bisa dianggap sebagai sebuah profesi. Bagi mereka yang namanya bekerja itu ya kerja di suatu tempat dari jam tertentu sampai jam tertentu, ada yang ikut jam kerja kantoran dan ada juga yang kerja dengan jam kerja shift seperti di toko atau pabrik. Apalagi kalau masih tinggal di area yang agak kampung seperti saya ini, pola pikir beberapa orang kadang masih sangat terkotak-kotak.
Yang sering terjadi adalah bila ada salah seorang tetangga yang mampir ke rumah lalu melihat saya sedang serius menatap gawai atau laptop, mereka akan berkata:
“Youtube-an ae, Din! Mbok ya kerja!”
“Lho ini kerja kok”
“Kerja apa? Mbok ya kasihan sama bapak ibumu, cari kerja sana!”
Sampai situ biasanya saya diam, sudah lelah menjelaskan ke mereka bahwa uang yang saya dapat bahkan bisa saya gunakan untuk mengajak hura-hura kedua orang tua saya.
Tak berhenti di situ, bila mereka melihat saya yang jarang keluar rumah ini baru pulang dan turun dari ojek online, pasti pertanyaan-pertanyaan sejenis lah yang saya dapat.
“Dari mana, Din?”
“Oh, ketemu klien tadi.”
“Yaoloh, Nduk. Mbok kamu itu kerja yang bener. Jangan yang dipanggil-panggil ketemu klien gitu-gitu, nggak barokah.”
“Lho klien saya ngasih proyek kerjaan, kayak yang biasanya saya kerjain kok”
“Halah mending kamu tuh coba minta tolong Pak Haji, siapa tahu bisa kerja di pabrik krupuknya itu lho. Karuan halal.”
Dalam hati saya mengumpat; ‘Jnck!’
Sampai akhirnya saya mencoba benar-benar menjelaskan tentang apa yang saya kerjakan saat harus mewakili bapak saya di rapat warga.
“Mbak Dini kerja di mana sekarang?”
“Kerja dari rumah saja saya, Pak. Nulis.”
“Nulis?”
“Iya”
“Nulis apa? Buku? Koran?”
“Kalau buku sih insyaallah ingin segera terbit, Pak. Tapi sementara cuma yang pendek-pendek saja dulu. Saya nulis artikel terus nanti ditayangkan, saya juga lagi nyoba jadi Content Writer, Pak.”
“Content Writer?”
“Iya,”
“Oalah, yang bikin konten-konten kayak Atta Halilintar gitu toh? Ngeprank-ngeprank?”
“Bukan, Pak. Saya sementara ini garap beberapa iklan…”
“Halah, halah, nduk. Ojo wis ojo. Ngeprank gitu gak baik…” dan seterusnya.
Jangan dikira saya tidak pernah mencoba menunjukkan pada mereka hasil kerja saya, dengan harapan mereka akan mengerti tanpa perlu saya jelaskan panjang kali lebar. Tapi ternyata tetap saja. Entah cara penyampaian saya yang kurang tepat atau memang mereka yang bebal dan tidak bisa menerima sesuatu hal yang baru. Bagaimanapun di mata para tetangga saya ini hanyalah pengangguran kelas berat yang sehari-hari cuma rebahan sambil mainan handphone dan kadang keluar rumah hanya bila ada panggilan dari klien.
Saya sudah lelah sih mencoba menjelaskan pada mereka, bagaimana bisa jelas bila mereka terkesan menutup diri dari segala kemungkinan hal-hal baru dalam hidup ini. Saya sudah sampai di titik ‘Sakarepmu lah, sing penting aku urip!’.
Saya jadi membayangkan bagaimana bila besok lusa nantinya anak-anak mereka ini ada yang akhirnya punya pekerjaan kayak saya? Bekerja sesuai hobi, sesuai passion, bisa dapat duit, nggak perlu ada jam kerja kantoran atau shift dan duit lancar mengalir, tapi orang tuanya sendiri malah menganggap remeh?
BACA JUGA Bagaimana Penulisan Profesi Sebagai Selebgram di KTP? atau tulisan Dini N. Rizeki lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.