Apa salahnya jika orang yang pintar memilih untuk kuliah di jurusan pendidikan dan jadi guru? Bukankah itu malah hal yang bagus?
Masa orientasi mahasiswa baru sudah dimulai. Beberapa waktu terakhir, ada semacam perubahan algoritma pada timeline TikTok saya. Dari yang biasanya dipenuhi video-video kucing lucu dan menggemaskan dan membuat saya betah scrolling lama-lama, sekarang digeser oleh video perkenalan para maba. Saya sih nggak terlalu keberatan dengan ini. Soalnya, tidak jarang, VT maba ini malah unik dan cukup menghibur di sela-sela waktu istirahat kerja.
Di antara banyaknya VT perkenalan maba yang berseliweran di timeline saya, ada sebuah video milik seorang kreator gaming yang memilih untuk kuliah di jurusan Pendidikan Matematika pada salah satu universitas negeri di Medan. Selain data diri, dia juga menjelaskan beberapa prestasi akademik di video miliknya, termasuk menjadi juara 1 olimpiade matematika. Jujur, saya merasa video tersebut fine-fine saja, sampai saya iseng membuka kolom komentar.
Dari sekian banyak komentar yang menyemangati si kreator, ada satu komentar yang langsung menyita perhatian saya, kurang lebih tulisannya seperti ini: “Sayang banget, sepintar itu cuma mentok jadi guru.” Sedetik setelah membaca komentar tersebut, saya langsung melongo. Hah? Sek, sek, piye to?
Jurusan pendidikan justru kudunya diisi orang pintar
Oke, kenyataan bahwa sistem pendidikan kita nggak bagus-bagus amat memang tidak bisa dielak, ya. Ditambah dengan kenyataan bahwa kesejahteraan para guru masih menjadi isu yang kerap kali tidak menemui ujung pembahasan. Dengan realita yang demikian, banyak orang merasa jadi guru tidak se-worth it itu. Dan, saya menghargai pendapat tersebut. Tapi, apakah ada yang salah jika ada ‘orang pintar’ yang passionate dan secara sadar memilih untuk berkuliah di jurusan pendidikan untuk kemudian menjadi guru?
Orang pintar yang memilih jurusan pendidikan untuk menjadi guru tentu bukan sebuah kesalahan, bos. Saya justru heran dengan pemikiran bahwa orang pintar yang milih jurusan pendidikan dianggap ‘menyia-nyiakan potensi’ mereka. Padahal, saat ini kita hidup pada zaman di mana orang tua lebih memilih membayar mahal, lalu membebankan seluruh proses belajar kepada guru sekolah semata.
Di sisi lain, para orang tua pun tidak segan mematok hasil belajar setinggi langit tanpa mau terlibat banyak terhadap proses pendampingan belajar siswa di rumah. Dengan dalih bahwa mereka sudah menggelontorkan biaya yang tidak sedikit untuk sekolah, tentunya.
Dengan tuntutan sebesar itu, kok ya masih ada masyarakat yang menilai bahwa orang pintar yang memilih jurusan pendidikan merupakan perbuatan yang sia-sia. Padahal, perubahan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik bisa dimulai dengan menciptakan guru profesional dan berkualitas, bukan? Bukan malah cuma otak-atik regulasi yang nggak urgent atau gonta-ganti kurikulum tiap tahun!
Baca halaman selanjutnya
Jalan hidup mereka, urusan mereka