Saya pikir, hidup di zaman sekarang itu sulit sekali terlepas dari ghibah. Iya, ngomongin orang lain. Mencari-cari kesalahan orang lain. Menjelek-jelekan orang lain. Pokoknya sudah menjadi satu paket, deh. Sekalinya kita nggak niat ghibah, selalu saja ada teman yang ghibahin orang lain, baik yang masih di satu lingkar pertemanan yang sama maupun bukan teman dekat. Karena kejadian tersebut, mau nggak mau kan jadi ikut mendengarkan juga.
Parahnya, nggak sedikit dari kita ikut terpancing jadi ikut-ikutan ghibah ketika berhadapan dengan situasi seperti itu. Ya, mau gimana, secara nggak sadar, untuk sebagian orang mungkin ghibah itu menyenangkan. Soalnya, nggak sedikit yang menjadikan ghibah sebagai rutinitas sehari-hari (atau jangan-jangan sudah dianggap sebagai passion?) Apalagi hal tersebut terbilang mudah dilakukan, kapan pun, di mana pun. Baik secara langsung atau melalui media seperti hape atau akun media sosial.
Nongkrong sambil ngopi dikit, ghibah. Ketemu dan kumpul sama beberapa teman, ghibahin temannya yang lagi nggak ikut nongkrong. Dan seterusnya, dan seterusnya. Pokoknya, selalu ada celah dan waktu luang untuk berghibah.
Oke, jika ghibah merupakan suatu hal yang sudah menjadi kebiasaan dan sulit terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Tapi, please, deh, kalau suka ghibahin orang lain, ketika dighibahin balik oleh orang lain—alias jadi bahan omongan “di belakang”—nggak usah ngambek, apalagi marah-marah. Yang seperti ini masih seringkali saya temui. Baik dahulu ketika sekolah, kuliah, juga di lingkungan kerja. Kan, aneh dan nyebelin jadinya.
Saya memang bukan orang yang betul-betul suci dan belum bisa melepaskan diri dari aktivitas perghibahan duniawi pada kehidupan sehari-hari, tapi, saya sadar dan tahu diri. Ketika saya ghibahin orang lain, saya pun harus siap dighibahin balik. Saya pikir, itu fair, dong? Dan saya selalu menyikapinya dengan santai. Nggak jarang jadi bahan candaan.
Di sisi yang lain, saya sih nggak akan tersinggung ketika jadi bahan omongan di belakang. Bisa jadi, apa yang dikatakan orang lain tentang diri saya memang betul adanya. Jadi, buat apa saya tersinggung dan marah-marah? Apa yang dibicarakan orang lain tentang saya, bisa jadi merupakan sesuatu yang bisa mengubah diri saya menjadi lebih baik. Siapa tau, kan.
Namun, saya juga menyadari, nggak semua orang yang biasa ghibah dalam kesehariannya, bisa menerima dan berlapang dada ketika dighibahin orang lain. Beberapa orang yang saya kenal, misalnya. Ketika sedang berkumpul, semangat betul ghibahin orang lain tentang ini dan itu. Entah yang diceritakan adalah suatu hal yang sesuai kenyataan atau ada yang dilebih-lebihkan. Giliran dighibahin balik malah misuh sendiri, “Maksudnya dia apa nih? Kok ngomongin gue di belakang?”. Begitu misuh templatenya di hadapan saya.
Saya yang hanya menjadi sekadar pendengar dan menyimak, hanya geleng-geleng kepala saja. Kok ya ada orang seperti ini. Seharusnya, menurut saya, ketika kita membicarakan orang lain, kita harus siap dengan segala konsekuensinya—termasuk jadi bahan omongan orang lain di belakang. Entah nantinya kita tahu dengan sendirinya, atau ada orang lain yang menyampaikan.
Begini, berdasarkan pengalaman saya dan ini bisa dijadikan bahan pertimbangan ketika kalian ingin berghibah. Kalau memang belum siap dighibahin balik, jangan sesekali ghibah. Jangan, deh. Kecuali sadar akan konsekuensinya. Bukan berarti ketika sadar akan konsekuensi, malah ghibah seenaknya. Kemudian, nih ya saya kasih tahu, biasanya, seseorang yang dengan luwesnya ghibahin orang lain di depan kita, kelak di lain tempat, akan dengan mudah juga ghibahin kita.
Jadi, jangan kesenengan dulu kalau ada teman yang ghibahin orang lain kepada kita. Orang yang seperti ini bukan ekstrovert, terbuka, atau suka cerita. Itu beda. Nggak ada salahnya berhati-hati sama tipe orang yang kayak gini. Apalagi kalau suka baper sendiri waktu diomongin balik. Hih!
Ghibah itu memang bikin nagih. Tapi ya tolong lah, kalau mau ghibah, harus siap juga dighibahin balik oleh siapa pun—entah di waktu yang bersamaan, atau di waktu mendatang. Sadar diri aja. Namun, di samping itu, ghibah juga bisa merusak hubungan pertemanan. Jadi, kalau memang ada masalah secara personal, baiknya didiskusikan aja, lah. Dibicarakan secara langsung.
Ingat apa yang pernah dikatakan Socrates lho, “strong minds discuss ideas, average minds discuss events, weak minds discuss people”.
BACA JUGA Kemunafikan yang Tersirat Pada Kalimat, “Bukannya Mau Ngomongin Orang, ya..” atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.