Saya tak pernah mengira kuliah di Ilmu Komunikasi Undip akan semenyenangkan ini
“Di Ilkom, kita manggil dosen dengan sebutan ‘mas’ dan ‘mbak’.”
Itulah perkataan yang diungkapkan oleh salah satu kating (kakak tingkat) ketika saya menjalani masa ospek di Ilmu Komunikasi Undip. Beberapa mahasiswa terlihat tersenyum-senyum sendiri mendengar penjelasan kating kami. Saya pun juga, karena ini adalah hal yang baru dan asing bagi saya.
Kating yang lain menambahkan, mereka tidak tahu sejak kapan tradisi memanggil ‘mas’ dan ‘mbak’ ini berawal. Yang pasti, hal ini telah diamini oleh para generasi sebelumnya dan para dosen yang mengajar juga agaknya tidak keberatan.
Pemikiran yang muncul pertama kali di otak saya yaitu ini hanyalah prank dari kating saja. Tapi semua itu terbantah tatkala saya dan mahasiswa lain bertemu dengan dosen untuk pertama kalinya.
Daftar Isi
Tua, muda, doktor, semuanya dipanggil mas atau mbak di Ilmu Komunikasi Undip
Sebagai seorang lulusan SMA yang baru pertama kali menginjakkan kaki di dunia perkuliahan, tentu saya belum banyak mengenal situasi dan kondisi lapangan perkuliahan. Satu poin yang saya kira sama yaitu memanggil orang lebih tua, atau dosen, dengan sebutan Pak atau Bu, sama seperti ketika SMA dulu.
Akan tetapi, di Ilmu Komunikasi Undip, panggilan Pak atau Bu untuk dosen kami rasanya malah seperti penghinaan. Seolah merendahkan derajat mereka menjadi ‘orang asing’ di kampus. Meskipun, beberapa dosen yang dasarnya tidak dari Ilmu Komunikasi tidak senang dengan panggilan mas atau mbak ini, sebagian besar dosen Ilmu Komunikasi merasa puas dengan panggilan ini.
Hal lain yang cukup mencengangkan, panggilan mas dan mbak ini juga berlaku pada dosen-dosen senior yang bahkan sudah berkepala lima. Kayaknya kalau hal ini dipraktikkan pada guru kamu dulu, bisa-bisa kena gampar langsung deh, hahaha.
Mempererat hubungan antara dosen dan mahasiswa
Meskipun selama berkuliah di Ilmu Komunikasi Undip saya belum menemukan alasan pasti mengapa panggilan mas dan mbak ini disematkan pada dosen, satu hal yang menarik panggilan ini membuat hubungan antar dosen dan mahasiswa seperti tidak ada batas. Makanya tidak jarang beberapa dosen memperbolehkan mahasiswanya menghubungi ketika jam kerja telah selesai atau bahkan ketika hari libur sekali pun. Saking berdedikasinya dosen saya, ujian skripsi saya sampai dilakukan secara online, selepas isya, ketika weekend! Semoga Tuhan membalas kebaikan mereka semua.
Pernah suatu waktu, ketika masih pandemi, saya datang ke rumah salah satu dosen untuk berdiskusi terkait penugasan. Karena sedang masa-masanya kuliah online, dan kebetulan hanya saya di antara kelompok kami yang sedang di Semarang, maka datanglah saya ke rumah beliau. Di luar dugaan, saya disambut dengan penuh kehangatan. Kami berdiskusi cukup panjang sebelum akhirnya saya berpamitan dengan segenggam oleh-oleh dari beliau.
“Kami akan bimbing kamu dengan penuh kasih sayang”
Kesan lain yang saya rasakan dari penerapan panggilan ini yaitu munculnya perasaan sayang dan cinta dari dosen kami. Seyogyanya kakak yang melindungi dan membimbing adiknya dengan penuh kasih sayang, saya juga merasakan hal yang sama dari berbagai dosen dengan latar belakangnya yang berbeda. Bahkan, bagi saya, dosen yang digadang-gadang sebagai dosen killer bagi sebagian mahasiswa, merupakan cara pengungkapan cintanya sendiri kepada adik-adik yang dididiknya–yaitu kami. Ia tidak ingin kami tertinggal dalam hal menuntut ilmu ini dan menjadi ‘donatur’ abadi.
Setelah lulus pun saya masih merasakan kasih sayang dari dosen Ilkom. Misalnya beberapa waktu lalu saya dihubungi oleh salah satu dosen. Mbak Dosen menanyakan kabar saya, bagaimana perjalanan karier yang saya lakukan, apakah cita-cita saya sudah tercapai. Saya kaget sebenernya mendapati Mbak Dosen ini menghubungi saya. Nggak nyangka aja beliau masih ingat jalan karier yang mau saya tempuh di tengah ratusan mahasiswa yang beliau ajar.
Kuliah di Ilmu Komunikasi Undip dosennya enak, ilmunya bermanfaat
Setidaknya ada dua penjurusan besar ketika saya berkuliah di Ilmu Komunikasi Undip. Pertama penjurusan strategis, di mana ilmunya berkutat seputar public relation. Kedua penjurusan jurnalistik, yang mempelajari kegiatan seputar jurnalistik. Saya sendiri mengambil penjurusan jurnalistik karena memang pada dasarnya saya senang tulis-menulis.
Selama menjalani perkuliahan, banyak hal yang bisa saya petik. Hal yang paling utama adalah pengalaman. Karena penugasan yang diberikan mengharuskan banyak melakukan riset dan interaksi di lapangan, membuat saya lebih memahami situasi dan kondisi masyarakat Semarang kala itu.
Misalnya, saya pernah mewawancarai seorang pak ogah yang harus berganti-ganti pekerjaan karena tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi yang ada. Berawal dari tukang becak, lalu sepi karena munculnya ojek online, hingga kini menjadi pak ogah di beberapa titik di Semarang. Bahkan, dari beliau ini saya juga tahu kalau jasa pak ogah ada organisasi dan bos yang menaungi. Termasuk salah satu aparat juga turut bermain di dalamnya.
Atau ketika saya melakukan wawancara kepada yayasan yang menaungi berbagai karakter manusia di dalamnya. Yayasan ini tidak membeda-bedakan latar belakang atau masalah yang mereka hadapi. Selama mau berusaha menjadi baik, maka yayasan ini akan membantu.
Belajar, bagi saya, belum pernah semenyenangkan ketika saya masih menjadi bagian Ilmu Komunikasi Undip. Ilmu-ilmu yang serta penugasan praktek yang diberikan, menggugah saya untuk mengenal dunia lebih luas. Ini pula yang mendorong saya untuk terus menulis ke Mojok, meskipun tulisan saya baru satu yang terbit, hehehe.
Penulis: Raihan Atha Naufal Wardhana
Editor: Rizky Prasetya