Dengan begitu banyaknya orang yang mengecam RUU Omnibus Law diplesetkan dengan RUU Cilaka ini, saya pikir tidak akan ada orang yang akan mendukungnya. Salah satunya adalah influencer yang sebenarnya buzzer istana yang menyamar sedangkan salah duanya adalah mas-mas alumni Harvard yang ternyata cukup saya kenal.
Kalau Eko Kuntadhi yang mengaku berprofesi sebagai pengamat media sosial alias influencer alias buzzer istana, mendukung RUU Cilaka ini bisa dimaklumi karena dia memiliki kepentingan untuk itu. Sebagai penyambung lidah istana wajar saja Eko Kuntadhi berusaha mati-matian mematahkan argumen dari kelompok kontra omnibus law. Akan tetapi, kalau mas-mas alumni Harvard ini, mungkin sangat mengejutkan jamaah mojokiyah. Pasalnya, bagaimana mungkin seorang yang segitu terdidiknya tega membuat opini yang mendukung omnibus law?
Saya cukup mengenal mas-mas alumni Harvard ini karena pernah berada pada kamar hotel yang sama. Stop pikiran jorok kalian karena tidak ada ikatan romantis antara kami, hanya ada kegiatan menyebalkan yang mengganggu tidur seorang pemalas seperti saya. Sekali lagi itu bukan hal jorok hanya semacam pelatihan untuk meningkatkan nasionalisme buat para penerima beasiswa LPDP. Kegiatan itu bernama Persiapan Keberangkatan (PK) yang menjadi ajang pertemuan antar penerima beasiswa LPDP sebelum keberangkatan menempuh studi. Kalau mau tahu lebih detail tentang PK bisa baca tulisan salah satu redaktur Mojok yang baru saja menyelesaikan PK di sini.
Saya masih mengingat pertama ketemu mas-mas Harvard itu menjelang akhir tahun 2016, kebetulan saya berada dalam program PK yang sama, PK angkatan 84. Banyak anak-anak berprestasi dari seluruh negeri, salah satu ya Dimas Muhamad ini, mas-mas Harvard yang kini bekerja di Kementerian Luar Negeri. Dari saat PK Mas Dimas ini sudah mentereng dengan berbagai percapaiannya. Saat itu dia juga sudah menjadi PNS, di saat orang-orang lain berjejal-jejalan untuk mengikuti seleksi CPNS untuk menjadi abdi dalem negara, dia sudah meraih profesi impian para orang tua milenial itu.
Jadi pada dasarnya memang Dimas ini sudah bersiap untuk melaju ke puncak kariernya. Seolah-olah PK adalah panggung yang disiapkan untuk orang-orang seperti Dimas dan orang-orang seperti saya hanyalah figuran dalam film bernama PK 84. Saat orang-orang seperti saya mengunyah-ngunyah belasan permen Kopiko dan meneguk empat gelas kopi setiap coffee break hanya untuk tetap terjaga menerima materi PK, orang seperti Dimas masih segar menyimak presentasi dari para elite negeri. Padahal kami semua sama-sama memiliki jam yang sangat teramat kurang. Bahkan mungkin si mas-mas Harvard ini lebih kurang lagi karena ketika saya dan tiga teman lainnya tidur dia masih terjaga mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan pendanaan PK. Warbiasah.
Setelah selesai PK dan kembali ke rutinitas sehari-hari, tiba-tiba seseorang dari grup PK 84 membagikan link video ketika Dimas yang menjadi interpreter untuk Presiden Jokowi. Semakin kecil saja rasanya hati ini, kita sama-sama dalam grup PK, sama-sama penerima beasiswa, sempat satu kamar tapi nasibnya duh jauh amat. Saat itu saya yakin banyak dari teman-teman satu grup PK yang mengagumi mas-mas Harvard ini. Karena saya juga mendapati hal yang sama. Tapi saya kecewa, kayak lagunya BCL.
Yang membuat saya kecewa adalah ketika argumen dia tidak berbeda dari Eko Kuntadhi yang notabene adalah penyambung lidah istana. Saya berharap banyak dari orang-orang seperti Dimas, seorang anak muda yang pasti akan bisa melihat dengan lebih bijak dan memiliki empati pada apa yang terjadi pada para kelas pekerja di Indonesia. Misalnya pada buruh Aice yang mengalami mutasi sepihak, surat peringatan (SP) tanpa alasan yang jelas, upah yang tidak cukup untuk hidup berkeluarga, shift malam bagi buruh perempuan yang hamil hingga menyebabkan keguguran.
Tercatat telah terjadi dua puluh kasus keguguran per 26 Februari 2020 bagi buruh perempuan pabrik AICE. Selain itu selama tahun 2019 tercatat ada lima kasus kematian bayi saat dilahirkan. Ini nyata, buruh perempuan hamil bekerja sampai malam itu tidak manusiawi. Dengan belum disahkan omnibus law saja sudah banyak buruh diekploitasi seperti ini. Sementara argumen mas-mas Harvard ini malah bilang bahwa omnibus law hadir untuk meningkatkan minat para investor agar tidak memindahkan modal ke Vietnam yang mana upah buruhnya lebih murah dan kerjanya lebih produktif.
Secara tidak langsung argumen Mas Dimas ini menyarankan Indonesia untuk melakukan perang dagang terhadap Vietnam dengan produk berupa buruh upah murah. Ini sama saja demi menguntungkan pemodal dan menggoda mereka untuk berinvestasi, kita harus mengorbankan para pekerja kita untuk bersaing harga. Kenapa tidak sekalian saja mengubah Indonesia dari negara menjadi korporasi dan warga negaranya menjadi sekadar mesin produksi? Kalau tujuan memang cuma berbisnis konstitusi itu buat apa?
Saya sadar ini era persaingan bebas di mana setiap pihak bersaing untuk mendapatkan keuntungan. Saya sadar kapitalisme menuntut untuk mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya dengan biaya operasional serendah-rendahnya. Tapi tugas negara adalah menciptakan yang social safetynet bagi siapa pun yang kalah dalam persaingan bebas ini bukan memberikan akses terhadap yang kaya mengeksploitasi yang miskin, yang berkuasa mengeksploitasi yang tak berdaya.
Negara harus hadir melindungi setiap warganya sesuai perintah konstitusi bukan memihak pemodal dan mengorbankan para pekerja. Bukannya menghadirkan regulasi yang memberikan akses terhadap para pemodal untuk memeras keringat para pekerja untuk upah yang tak seberapa. Apalagi setelah kesalahan elite negara yang justru membuat investor ragu-ragu untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kasus gagalnya Jiwasraya membayar klaim pada nasabahnya adalah salah satu alasan para investor untuk menghindari risiko kesalahan investasi.
Dalam buku Cashflow Quadrant, Robert Kiyosaki menjelaskan seorang investor level 5 yang merupakan investor level tertinggi akan selalu melihat rekam jejak dan segala situasi sebelum berinvestasi. Merupakan suatu kemustahilan bila seorang investor level 5 untuk menanamkan modal kepada korporasi yang memiliki tata kelola buruk. Jiwasraya bukan satu-satunya korporasi yang memiliki tata kelola yang buruk tapi Jiwasraya adalah korporasi milik BUMN yang seharusnya merupakan korporasi yang jauh lebih aman daripada swasta karena dijamin negara. Lantas apakah kesalahan elite negeri dalam mengelola investasi harus dibayar oleh para pekerja?
Dengan opini seperti itu, mas-mas Hravard kok tidak terasa bedanya dengan Eko Kuntadhi yang menyuarakan aspirasi istana. Atau jangan-jangan mas-mas Harvard ini bukanlah Dimas yang dulu saya kenal melainkan Eko Kuntadhi yang menyamar?
No hard feeling Mas Dimas, kamu tetep idolaq….
BACA JUGA Omnibus Law Ini Maksudnya Mau Bikin Indonesia Jadi Negara Apaan, sih? atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.