Siapa yang tidak setuju bahwa Jakarta merupakan surga transportasi umum bagi seluruh warga yang tinggal di dalamnya? Tentu saja, semua pengambilan keputusan akan melahirkan konsekuensi. Tidak terkecuali pengelolaan akses LRT Cibubur Line (Jalur Cibubur).
Sebelum lebih jauh membahas tentang buruknya penataan akses transportasi publik, Anda harus tahu LRT Jalur Cibubur yang akan saya bicarakan. Jadi gini, secara keseluruhan, terdapat 18 stasiun LRT yang tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodebek). Nah, secara lebih spesifik, saya akan melampiaskan uneg-uneg saya pada LRT Jalur Cibubur ini.
LRT Jalur Cibubur terdiri atas 12 Stasiun yang meliputi: Harjamukti, Ciracas, Kampung Rambutan, TMII, Cawang, Ciliwung, Cikoko, Pancoran, Kuningan, Rasuna Said, Setiabudi, dan Dukuh Atas.
Menyandang predikat sebagai surga transportasi umum ternyata tidak membawa nikmat surgawi bagi warga. Faktanya, keluhan, cacian, dan makian datang silih berganti dari warga yang tidak puas dengan penataan akses transportasi publik, termasuk saya.
Alih-alih membahas penataan akses yang pating njelimet di Jakarta, saya justru lebih tertarik dengan penataan akses transportasi umum di kota-kota satelit (Bogor, Depok, dan Bekasi) yang sama buruknya. Soalnya, pada akhirnya kota-kota yang terletak di pinggiran Jakarta juga mendapatkan kesempatan untuk menata transportasi umum agar masyarakat bisa sampai di jantung “ibu kota”, mumpung masih bisa disebut sebagai ibu kota. Sialnya, kesempatan untuk membangun akses transportasi publik ini kerap kali jadi disfungsional.
Sebagai pengguna transportasi umum, saya dapat menyimpulkan bahwa akses yang terdapat di pinggiran Kota Jakarta ini justru lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Pemerintah seakan hanya memanfaatkan momen untuk mencari keuntungan dalam pembangunan LRT Cibubur Line.
Masa bodo dengan aksesibilitas warga, yang penting properti yang kami buat laku terjual! Oh no, the ugly truth…
Baca halaman selanjutnya: Fasilitas sulit, akses pun sama sulitnya…