Tapi, saya laki-laki.
Tapi, saya kan sudah berumah tangga.
Tapi, saya merasa saya normal-normal saja.
Tapi, tapi, dan tapi lainnya yang menghalangi kamu pergi ke psikolog. Padahal, kamu sedang tidak baik-baik saja. Banyak hal buruk yang sedang terjadi. Kamu mungkin sudah mencoba menceritakannya pada keluarga atau sahabat, tapi semua terasa sia-sia dan tidak mengubah apa-apa. Mungkin, sebagian dari mereka berkata, “Tidak apa-apa.” Atau sebagiannya lagi berkata, “Semangat, ya. Semua akan baik-baik saja.” Kemudian, mereka akan melayangkan tatapan iba dan kasihan, membuatmu merasa dirimu sangat menyedihkan.
Kenyataannya, semua sedang tidak baik-baik saja. Kamu ingin menangis sekencang-kencangnya atau meraung-raung seperti orang kesakitan di depan mereka. Kamu ingin menjerit, memperlihatkan sisi terlemahmu. Namun, kamu tidak bisa melakukannya karena takut mereka ikut bersedih, takut menambah beban mereka, atau takut jika mereka semakin merasa kasihan kepadamu.
Bukan salah mereka untuk mengasihanimu. Tapi, bukan salahmu juga kalau kamu benci dikasihani.
Lama-lama, semuanya kamu simpan sendiri. Kamu berpikir, semuanya bisa terlewati tanpa harus kamu ceritakan pada orang lain. Terus menerus begitu, sampai kamu tidak sadar bahwa apa yang kamu pendam sudah terlalu banyak. Lantas suatu saat, air matamu mengucur begitu saja. Lalu kamu bertanya pada diri sendiri, “Kenapa tiba-tiba menangis?”
Kamu tidak bisa menemukan jawaban pastinya, karena semakin kamu telaah, semakin banyak hal yang ternyata menjadi alasan kamu menangis. Mungkin, kamu menangisi hal yang telah berlalu satu minggu lalu, sebulan lalu, atau setahun lalu. Hal-hal yang kamu simpan sendiri di dalam dirimu itu nyatanya akan meledak setelah sekian lama. Namun, yang paling menyedihkan adalah jika kamu harus menangisinya sendiri, sebab lagi-lagi, kamu takut menjadi beban untuk orang lain.
Ketika kamu sudah terlalu lama menyimpannya sendirian, tidak ada salahnya menceritakan sebagian keluhmu pada sosok bernama psikolog. Hei, jangan anggap kamu gila karena kamu datang ke sana. Adalah hal yang sangat wajar untuk berbagi cerita kepada sosok netral yang sanggup mendengarkan ceritamu tanpa melayangkan tatapan iba dan kasihan yang kamu hindari itu. Tidak ada salahnya mendengarkan saran dan tanggapan yang menenangkan tanpa mendapatkan justifikasi.
Salah seorang teman saya pernah mengalami depresi. Katanya, orang tuanya tidak merespons curhatannya dengan baik. Beberapa saudaranya menganjurkannya untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan supaya terhindar dari depresi. Padahal, dia depresi bukan karena jarang beribadah. Akhirnya, timbul rasa tidak nyaman untuk bercerita kepada keluarganya. Hingga suatu saat dia berkata ingin pergi ke psikolog tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Beberapa waktu lalu, saya mendengar curhatan seorang aktris di YouTube. Dia berkata bahwa dirinya sering merasa kesepian meskipun hampir semua hal di dunia ini bisa dibelinya. Lantas, dia pergi ke psikolog tanpa memberitahu ibunya.
Akan sangat baik jika pola pikir ‘wajar untuk pergi ke psikolog’ lebih meresap di kalangan masyarakat. Kamu dapat menganggap pergi ke psikolog sebagai sebuah kegiatan di mana kamu bisa men-treat diri sendiri, seperti halnya pergi ke salon atau tempat spa. Jika relaksasi yang kamu dapat di kedua tempat tersebut adalah relaksasi dalam bentuk jasmani, maka pergi ke psikolog dapat kamu sebut sebagai relaksasi dalam bentuk rohani. Hal-hal yang tidak bisa kamu bagikan kepada keluarga atau sahabatmu itu dapat kamu ceritakan kepada psikolog. Barangkali, kamu dapat lebih mengenali dirimu nantinya.
Sebab, seorang laki-laki juga berhak menangis dan pergi ke psikolog. Seorang ibu juga berhak meraung-raung kesakitan dan pergi ke psikolog. Seorang pelajar yang menurut orang-orang belum memiliki banyak pikiran layaknya orang dewasa juga berhak menceritakan keluhnya kepada psikolog. Semua orang memiliki hak yang sama untuk pergi ke psikolog.
Dan kamu yang mungkin sedang membaca tulisan ini, jangan menahan semuanya sendirian terlalu lama. Tidak apa-apa jika menangis, karena itu tandanya kamu punya hati. Tidak apa-apa jika menjerit, itu tandanya kamu berusaha meluapkan dirimu. Namun kalau kamu merasa tidak kuat lagi, tidak apa-apa untuk bertemu psikolog, karena itu tandanya kamu menyayangi dirimu dengan menyediakan sedikit ruang untukmu beristirahat sejenak dari kesulitan yang kamu hadapi.
BACA JUGA Nggak Harus Nunggu Gila Untuk Datang Ke Psikolog atau tulisan Devi Mutia Alissa lainnya.