Saya pernah tinggal di Kota Bandung dalam waktu lama. Setelah pindah, saya hanya sesekali saja berkunjung ke sebuah kota yang kini identik dengan masjid estetik. Terakhir, saya menghabiskan waktu selama tiga hari di sana. Sayang, kota yang dulu nyaman kini terasa sangat asing, pun bikin lelah.
Iya, saya hanya tiga hari saja di Kota Bandung. Namun, fisik dan psikis dengan cepat drop. Saking lelahnya, muncul beberapa jerawat di wajah saya. Salah satu sebabnya adalah kemacetan dan polusi yang dulu tak pernah saya bayangkan bisa terjadi.
Kenapa begitu? Karena apa yang sudah bagus, saya kira akan dipertahankan. Yah, setidaknya dijaga supaya tidak merepotkan atau membuat sengsara warganya. Tapi, anggapan dan harapan saya salah. Kota Bandung yang sekarang, bagi saya pribadi, bukan surga di Jawa Barat lagi.
Mood yang hancur
Saya sudah membayangkan akan disambut hawa sejuk sesampainya di Kota Bandung. Hawa sejuk, bahkan dingin, yang memaksa saya untuk melipir demi semangkuk cuanki dan segelas bandrek.
Namun, apa daya, begitu keluar dari Stasiun Kiaracondong, mood saya langsung hancur. Kemacetan yang semakin parah menyambut saya. Suara klakson dan bisingnya knalpot saling bersahutan. Macet, polusi udara, dan polusi suara langsung membuat saya kangen kasur di rumah.
Saya mencoba bertahan dan berpikir positif, meski harus menahan mood yang kadung rusak. Mungin, kemacetan di Kota Bandung disebabkan oleh banyaknya pasar di pinggir jalan. Saya coba memvalidasinya dengan bertanya kepada mamang ojek yang menjemput saya.
Katanya, bukan hanya pasar di pinggir jalan yang bikin macet. Penambahan kendaraan, jalanan yang terasa makin sempit, pembangunan tidak tepat, hingga lamanya lampu merah menjadi penyebab. Kompleks sekali.
Kemacetan yang saya rekam
Hampir setiap kota besar mempunyai titik kemacetan. Misalnya Jalan Gejayan dan Jalan Godean kalau di Yogyakarta. Namun, jalan-jalan kecil di beberapa tempat masih bisa dilalui dengan nyaman, meski agak padat. Setidaknya lancar.
Berbeda dengan Kota Bandung, di mana kemacetan tidak hanya terjadi di jalan besar. Kemacetan sudah terjadi di akses jalan menuju perumahan. Misalnya daerah Ujung Berung menuju Arcamanik. Jalanan yang mungkin hanya cukup untuk dua mobil Xenia berjejer itu rata-rata dua arah.
Jadi, bisa kami bayangkan kemacetan di sana. Selain mobil, masih ada motor, truk, dan bus dari arah Gedebage maupun Cileunyi. Gambaran jalan yang sempit dan sumpek karena padatnya kendaraan ini terbukti dengan ramainya pembicaraan jalan menuju masjid Al-Jabbar beberapa waktu lalu.
Padatnya kendaraan pribadi menjadi salah satu penyebabnya. Apalagi, penduduk di wilayah aglomerasi Bandung Raya seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang banyak beraktivitas di sini. Membuat Kota Bandung semakin padat dan ruwet. Belum lagi masalah transportasi umum dan penataan kotanya. Duh, riweuh!
Kemacetan tak mengenal waktu
Kemacetan di Kota Bandung juga tak mengenal waktu. Jangan pikir macet hanya ada saat pagi dan sore. Suatu kali, saya memilih untuk berangkat keluar rumah saat siang hari di daerah yang bukan pusat kota. Pertimbangan saya, jam berangkat sekolah dan kerja sudah berakhir.
Saat membuka Google Maps, hampir setiap jalan yang akan saya lalui nantinya berwarna merah menyala. Semangat untuk beraktivitas di luar perlahan menurun.
Apakah naik transportasi umum jadi solusi? Oh tentu tidak selalu. Kebanyakan jarak daerah perkampungan dan perumahan dengan jalan utama sangat jauh. Halte juga terpantau jauh dari kawasan perkampungan. Menunggu kedatangan bus pun sangatlah lama. Iya kalau haltenya layak. Kebanyakan kotor, sepi, hingga tak ada tempat duduknya.
Pusing jadi warga Bandung
Beberapa minggu yang lalu, teman saya yang asli Kota Bandung curhat. Dia bilang bahwa saat ini menjadi warga Bandung itu pusing. Bahkan katanya sampai stres.
“Jadi warga atau tinggal di Bandung tuh stres akhir-akhir ini. Mau healing itu males banget karena capek di jalan. Keluar rumah itu kalau nggak cari makan di depan gang, ya cuma berangkat dan pulang kerja.”
Setelah menyaksikan pemandangan macet di Kiaracondong, saya sependapat dengan teman saya itu. Kota Bandung yang sekarang tidak lagi cocok disandingkan dengan kata “estetik”, “sejuk”, “aman”, dan “cocok untuk plesiran”.
Menurut saya, kota ini sudah kehilangan jati diri. Mulai bingung mau memperbaiki dari mana. Mungkin mau memperbaiki akhlak dulu dengan membangun masjid estetik. Siapa tahu, memang akhlak dulu yang mau diperbaiki, alih-alih membangun transportasi publik yang mumpuni atau menangani begal dan gangster yang ramai akhir-akhir ini.
Entahlah.
Penulis: Anisah Meidayanti
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Sisi Gelap Kota Bandung yang Sudah Jadi Rahasia Umum