Lahir dan tumbuh besar di Jogja membuat saya akrab dengan gudeg. Di Jogja, sarapan gudeg merupakan sebuah habit, layaknya sarapan soto. Di kota ini, penjual gudeg dapat dengan mudah kita temukan di tengah-tengah kampung hingga pinggir jalan raya.
Seiring berjalannya waktu, saya berkesempatan menyantap gudeg di kota lain. Alih-alih mendapatkan sensasi otentik, saya sering menjumpai yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Tentu saja hal ini membuat saya geleng-geleng kepala. Kreativitas berlebihan penjual ini malah membuat penjual gudeg berdosa karena tidak mengikuti pakem gudeg asli Jogja.
#1 Menggunakan sambal
Walaupun orang Indonesia terkenal doyan pedas, penambahan sambal pada gudeg seakan membiaskan rasa aslinya yang manis dan sedikit gurih. Betapa terkejutnya saya ketika menemukan gudeg yang dibubuhi sambal.
Umumnya, kuliner ini menggunakan krecek sebagai penghasil sensasi pedas. Tentu rasa pedas yang diciptakan oleh krecek tidak setebal sambal. Kalau mau lebih menantang bisa dengan nyeplus cabai yang biasanya ada di dalam krecek. Aneh banget nggak sih kalau malah pakai sambal?
#2 Menggunakan kikil, bukan krecek
Selain sambal, pelanggaran yang saya temui adalah penggunaan kikil sebagai pengganti krecek. Walaupun sama-sama dimasak berwarna merah, kikil dan krecek adalah dua hal yang berbeda.
Kikil berasal dari olahan kaki, sedangkan krecek terbuat dari kulit sapi. Kikil biasanya berbentuk lembaran tipis, berbeda dengan krecek yang memiliki volume lebih tebal. Krecek yang dimaksud di sini krecek basah ya, bukan krecek kering.
Krecek basah merupakan olahan setengah matang sehingga memiliki tekstur yang kenyal. Sementara itu, krecek kering diolah dengan cara digoreng hingga memiliki bentuk seperti kerupuk.
Baca halaman selanjutnya….