Mari mencoba memahami drama penangkapan pemerkosa di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Jombang dari perspektif mantan santri.
Pertama dan paling utama, kita perlu bersepakat bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan yang sama sekali tidak perlu diperhalus, apalagi dicari sisi benarnya. Lebih-lebih kalau dilakukan oleh seseorang yang mengaku memeluk agama Islam, kekerasan seksual jelas-jelas sudah melanggar induk hukum Islam, maqashid syariah, khususnya bagian hifdzun nafs (menjaga diri) dan hifdzun nasl (menjaga garis keturunan dan atau kehormatan). Jadi, kalau ada yang membela pemerkosa dengan dalih agama, lantaran dianggap sebagai tokoh agama, lebih berilmu, dll., jelas itu sebuah kesia-siaan yang tidak perlu dilakukan.
Tapi, itu semua adalah pandangan kita sebagai makhluk non-santri. Kenapa begitu? Sebab, sebagai seseorang yang pernah tinggal di pesantren dalam waktu 6 tahun, saya cukup paham dengan bagaimana santri “dididik” di dalam pesantren.
Sebagaimana yang kita tahu, pesantren adalah lembaga yang hingga saat ini masih dianggap paling otoritatif dan sah dalam hal memberikan pendidikan agama Islam. Pasalnya, di pesantren banyak dipelajari kitab-kitab klasik karya ulama besar yang kemudian diajarkan secara turun-temurun selama berabad-abad. Pengajaran tersebut biasanya dilakukan oleh seorang pengasuh seperti kiai dan anak keturunannya. Sampai di sini, setidaknya kita bisa memahami kenapa keluarga kiai dihormati banyak orang. Kurang lebih karena dinilai memiliki kapasitas keilmuan lebih tinggi dibandingkan santrinya.
Masalah kemudian terjadi ketika label “lebih berilmu” itu dijadikan alat untuk membentuk sebuah relasi patron antara sang pengajar (dalam hal ini kiai dan keturunannya) dengan pemelajar (santri dan bisa juga sampai keturunannya).
Apa itu relasi patron?
Menurut Ridwansyah Yusuf Achmad, seorang asisten peneliti Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Desa Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam detikNews, pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat; baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior) dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Dalam praktiknya, sang patron cenderung menekan klien yang berada di bawahnya sehingga terbentuk saling ketergantungan di antara keduanya.
Simpelnya, para santri yang merasa butuh ilmu itu kemudian menjadi pihak yang inferior dan bergantung hidup kepada sang kiai sebagai pihak yang lebih superior.
Contoh dalam kehidupan keseharian di pesantren, ribuan santri rela bahkan cenderung mengharapkan bisa dipekerjakan tanpa bayaran di rumah kiai dengan harapan mendapat berkah dari pekerjaannya tersebut. Tak jarang mereka bahkan dianggap sebagai santri yang memiliki “kasta” lebih tinggi dengan sebutan “santri ndalem” ketika melakukan pekerjaan tersebut.
Apakah mereka terpaksa? Atau berat hati? Sama sekali tidak, semuanya dilakukan dengan sukacita, ikhlas, dan senang hati.
Ini juga yang agaknya terjadi pada drama penangkapan pemerkosa yang kebetulan anak dari seorang kiai kenamaan di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Jombang. Banyak orang yang mengira bahwa para santri di pondok pesantren telah dicuci otaknya, dipaksa membela, dan lain-lain.
Tapi, saya cukup yakin bahwa perlindungan yang diberikan oleh para santri kepada si pemerkosa tersebut dilakukan tanpa paksaan sedikit pun. Sebagai santri, mereka mungkin merasa bahwa upaya penangkapan pemerkosa tersebut adalah juga upaya mempermalukan pesantren tempat mereka bernaung.
Belum lagi ditambah pernyataan dari sang kiai pendiri Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Jombang yang mengatakan kalau anaknya difitnah. Sudah barang tentu hal ini dipercaya 100% oleh santri-santrinya. Peduli setan dengan pemberitaan yang lebih akurat, kalau kiai sudah bilang A, maka A tersebut yang diyakini benar.
Sampai sini masih heran nggak kenapa para capres itu rajin sekali tebar pesona ke tokoh pesantren? Ya karena begitu terbeli suara sang tokoh, “sendiko dawuh” bak dihipnotis lah para santrinya.
Hal ini ironis, mengingat sebagai tempat belajar, pesantren hendaknya menumbuhkan daya pikir kritis dan bernas alih-alih memonopoli kebenaran.
Hal lain yang juga mendasari terjadinya drama penangkapan pemerkosa tersebut adalah minimnya pendidikan seksual di pesantren. Ini saya rasakan betul selama 6 tahun jadi santri. Selain mempelajari kitab tentang menstruasi dan hukum-hukum fikihnya, tidak ada bahasan terkait kesehatan reproduksi apalagi pendidikan seksual lainnya.
Kalaupun ada, pembahasan lain tentang seksualitas hanya dibahas ketika mengaji kitab qurrotul uyun dan uqudulijain untuk “santri dewasa” yang dianggap hendak menikah. Tidak ada pengetahuan yang diberikan kepada santri terkait apa itu kekerasan seksual, bagaimana mencegah, melaporkan, dan lain sebagainya.
Sehingga sangat mungkin para santri yang tak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut kemudian memilih pemahaman yang lebih mudah mereka terima, yaitu bahwa sang pemerkosa difitnah. Titik.
Dari kejadian di pesantren Jombang ini saya berharap sekali pendidikan di pesantren direformasi. Relasi patron dihapus, pendidikan dilakukan secara lebih transparan, dan menumbuhkan cara pikir kritis para santri.
Pasalnya, santri dengan ilmu agama yang mumpuni sejatinya masih sangat kita perlukan seiring pesatnya kemajuan peradaban. Namun, kalau kualitas pendidikan pesantren tak juga segera diperbaiki, tak menutup kemungkinan masyarakat nantinya tak lagi percaya kepada output pesantren, melainkan lebih memilih belajar agama dari sumber-sumber yang tak jelas fondasi keilmuannya.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Drama Penangkapan Anak Kiai di Jombang Berakhir, MSAT Menyerahkan Diri ke Polisi.