Apakah hukum Indonesia itu baik? Pertanyaan macam ini pasti akan dijawab seturut sudut pandang Anda. Jika Anda benci pemerintah to the bone, Anda akan memandang hukum Indonesia hari ini sebagai sampah. Jika Anda fanboy nasionalisme, pasti percaya bahwa hukum kita paling sempurna.
Saya pribadi enggan memutuskan perkara baik dan buruk. Tapi saya lebih tertarik perkara manusia sebagai objek hukum memahami dan menjalankan hukum ini. “Orang baik tidak akan membutuhkan hukum agar mereka bertanggung jawab, sedangkan orang jahat akan mencari jalan menghindari hukum,” kata Plato.
Ujaran si bapak filsafat ini saya rasa pantas dalam tragedi hukum di Pengadilan Negeri Karawang. Seorang istri dituntut oleh jaksa 1 tahun penjara karena kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bukan karena kekerasan fisik ala aparat yang membanting demonstran, tapi kekerasan psikis terhadap suami. Kekerasan yang dimaksud adalah: memarahi dan mengusir suami karena menelantarkan keluarga dan mabuk-mabukan.
Singkat cerita, pasangan V (Istri) dan CYC (suami) sedang dalam proses perceraian. CYC yang warga naturalisasi WNI tidak terima dengan gugatan cerai ini. V sendiri menggugat karena CYC dinilai menelantarkan keluarga dengan menganggur dan menghabiskan uang untuk pulang ke Taiwan negara asalnya.
Kasus berlanjut dan lempar gugatan terjadi. Puncaknya CYC menggugat V karena melakukan KDRT psikis. Dan seperti yang saya jelaskan, karena V marah terhadap kebiasaan CYC mabuk-mabukan.
Saya yakin, Stevie Wonder saja bisa melihat tragedi yang nggatheli ini. Apalagi bicara moral susila masyarakat kita. CYC memang pantas dicerai bahkan diperkarakan karena sikap abai pada keluarga. Tapi hukum sepakat bahwa V pantas dituntut karena marah-marah pada sikap bajingan si suami.
Hukum memang seperti Themis si dewi hukum: buta dan siap menebas pelanggar. Dalam kasus ini, V sudah memenuhi kriteria untuk diperkarakan. Dan secara hukum, V telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 45 ayat 1 Juncto pasal 5 huruf b UU Penghapusan KDRT.
Secara hukum, V bersalah. Secara hukum, CYC adalah korban. Apakah ini berarti UU Penghapusan KDRT memang buruk? Relatif sih, toh dulu UU ini diharapkan bisa menghapus KDRT yang menjadi endemik dalam kehidupan sosial Indonesia.
Tapi hukum bukanlah barang sepele. Tidak semudah Anda melabel seseorang bajingan tengik berdasar opini pribadi. Tuntutan kepada V telah menjalani proses legal dan layak di mata hukum. Inilah kerja hukum di seluruh dunia. Selama melanggar hukum, maka hukuman akan menjadi konsekuensi. Tidak peduli seberapa ndlogok kasusnya.
Pencuri kayu yang kelaparan dipenjara sesuai hukum. Penyebar chat mesum atasan dituntut sesuai hukum. Sedangkan koruptor Bansos dihukum ringan karena sistem hukum. Dari sekian banyak kasus, kita melihat bahwa hukum bekerja dengan cara yang sering berlawanan dengan nurani.
Nah, maka menjadi penting bagi masyarakat untuk melek hukum. Kita berhak menggugat dan mengajukan banding tanpa pandang bulu. Karena memang hukum memandang semua individu sama. Bahasa kerennya sih equality before law. Ini adalah dasar hukum legal di seluruh dunia, dan tercantum di Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
Pengetahuan terhadap hukum menjadi penting, kalau berlebihan disebut wajib. Setiap warga negara harus paham bagaimana hukum bekerja atas mereka. Harus paham bagaimana mereka terikat terhadap hukum, bahkan karena tanpa sengaja lahir di sebuah negara.
Idealnya, sih demikian. Tapi realita bicara lain. Akses menuju pengetahuan atas hukum tidak mudah. Bahkan bisa dibilang barang mewah. Masyarakat yang termarjinalkan tentu sulit untuk memahami hukum. Selain tidak adanya akses, hidup mereka sudah sesak oleh ketimpangan sosial. Jangankan memahami hukum, memikirkan besok makan apa sudah menghabiskan segala daya mereka.
Akses menuju bantuan hukum juga sangat terbatas. Selain perkara sulitnya akses tadi, memang lembaga bantuan hukum juga sering kewalahan. Kesadaran kolektif masyarakat memang belum terbentuk, atau lebih tepatnya dihalangi untuk terbentuk. Karena apa? Ya karena segala kesesakan dan ketimpangan yang struktural dan kultural.
Dan belum cukup merepotkan, memang hukum masih rentan dipermainkan. Seperti ungkapan Plato di awal, selalu ada cara untuk mengakali hukum. Apalagi dengan sumber daya kapital yang disempurnakan oknum nakal. Contohnya ya kasus V ini. V sudah memiliki kuasa hukum, dan dia tetap terjerat hukum yang terdengar tak adil ini. Hanya terdengar ya, karena kalau menurut hukum legal memang sudah adil.
Inilah red flag terhadap hukum Indonesia. Memang, hukum tidak bisa memuaskan semua orang. Tapi hukum menjadi alat mengerikan ketika masyarakat yang buta hukum disempurnakan dengan rentan dipermainkan oknum.
Lalu mau ke mana kita? Apakah kita akan bertahan dalam pusaran ketimpangan hukum ini? Atau menanti ada revisi dari otoritas yang terlampau bebal dan ndlogok? Atau kita akan berani bergerak sendiri seperti Ojol melawan Gacoan?
Sumber Gambar: Unsplash