Jakarta sebagai kota metropolitan layaknya panggung pertunjukan. Berbagai macam jenis dan perilaku manusia dapat ditemui dengan segala ‘keanehan’ yang mungkin terjadi. Fenomena bermesraan di depan umum dewasa ini seolah menjadi pertunjukan biasa yang harus ditonton massa khususnya para kaum jomblo yang mau tidak mau pasrah dengan kesendiriannya.
Kalau dipikir-pikir sebenarnya bukan karena status jomblo sehingga berpelukan, berciuman, atau cubit-cubit mandjah menjadi tontonan ‘kurang menyenangkan’ atau bahkan tidak senonoh. Sejatinya ada etika berperilaku di hadapan publik yang seharusnya tidak diabaikan kaum-kaum yang sedang dimabuk asmara hingga lupa tempat begini.
Sebagai ilustrasi, salah seorang teman saya yang sedang menikmati me time-nya di salah satu café di kotanya anak gaul ibukota, Jaksel alias Jakarta Selatan terpaksa harus terlibat secara tidak langsung dengan sepasang sejoli yang rasa-rasanya tidak bertemu bertahun-tahun lamanya atau kemungkinan lain pasangan itu memang gemar mempraktekkan cara menyayangi pasangan di hadapan publik. Dari berbagai macam karakter orang pacaran, dua manusia di hadapan teman saya ini sungguh berbeda. Cara mereka menyalurkan rasa sayangnya terlihat sangat tulus dan menyentuh. Ya, menyentuh segala apapun yang bisa disentuh.
Sekali lagi saya tegaskan, bukan karena status jomblo teman saya itu makanya dia merasa geli dengan pertunjukan tanpa karcis yang sedang ia saksikan di hadapannya. Hanya saja sepertinya norma ketimuran negri ini sudah mengubah arah kiblatnya ke barat.
Hal yang teman saya saksikan mungkin seharusnya ia nikmati di film bergenre romance di bagian scene terakhir saat hendak menggambarkan pada penonton bahwa pasangan itu akan hidup bahagia selama-lamanya. Happily ever after dan ditutup dengan kiss scene terbaik setelah belasan bahkan puluhan take mungkin.
Kadang saya berpikir, apakah adengan intim seperti itu kadang sengaja diperlama dengan take berulang-ulang karena sang aktor menikmatinya? haha. Biarkan itu hanya rahasia di kalangan para aktor peran saja.
Well, kembali ke pembahasan tentang sepasang muda-mudi kasmaran di café tadi, singkat cerita mereka saling beradu untuk memperlakukan satu sama lain layaknya anak kecil yang sedang gemes-gemesnya dan wajib untuk “digemesin”. Berawal dari jarak yang semakin lama semakin mendekat, tangan yang awalnya mencubit-cubit lengan berpindah ke pipi yang tembem saja tidak, teman saya sampai bingung pipi tirus dan penuh make-up begitu apa enaknya sih dicubit-cubit mandjah. Untung foundationnya nggak luntur ya mbak.
Masih bagian dari pemanasan, dari pipi pindah ke rambut. Duh Mas, jangan kelamaan dibelai-belai rambut mbak nya, ntar lepek repot harus keramas dan catokan dulu.
Setelah posisi tidak berjarak dirasa cukup dan sangat nyaman, perlahan adegan klimaks dimulai. Tapi sebelumnya teman saya membuat pengakuan kalau sebenarnya bukan maksud hatinya menjadi saksi atas hubungan suci sepasang kekasih itu. Biarpun menyandang status sebagai kaum jomblo berkelas, tak bisa dipungkiri timbul sedikit rasa yang menyayat hati dan jiwa kesepiannya meronta-ronta. Tapi tetap saja, kalau melihat adengan gratis itu dia malah merasa geli, seperti melihat tingkah bocah yang terjebak di tubuh orang berusia cukup. Dari penampilannya, kedua pasangan itu bukan anak kemarin sore, malah sepertinya sudah “matang” tapi kok urusan cinta masih “polos” ya?
Adegan klimaks sungguh terjadi. Kata orang-orang sih itu bercumbu namanya. Tanpa malu-malu mereka terkekeh kecil seperti sangat menikmati permainan. Dan teman saya menikmati pertunjukannya lewat lirikan sehati-hati mungkin biar nggak diajak ikutan demi menghindari konflik yang berpotensi muncul akibat “tersinggung” dilihatin. Lha, teman saya lebih tersinggung lagi mas mbak. Bagaimana tidak, bisa-bisanya mereka beraksi di hadapan manusia yang bahkan hingga 2019 ini belum mengetahui di mana keberadaan tulang rusuknya saat ini.
Tapi apa benar aturan bermesraan di depan publik itu hal yang patut dimaklumi? Untung saja teman saya umurnya sudah 18+ kalau saja itu disaksikan anak di bawah umur, apa tidak menjadi contoh yang buruk bagi masa depannya? Bagaimanapun semua itu kembali lagi pada individu yang melakukannya.
Kalau memang harus “beraksi”: just get a room, dude! Jangan bikin orang pengen mengganggu orang lain dan cobalah mejaga tata krama karena Indonesia budayanya santun, kalau mau bebas ya jangan di negeri ini, jangan lupa the right man in the right place. Artinya: jangan sok ke bule-bulean deh! (*)
BACA JUGA Things I Learned From Living in Jakarta For the Last 5 Years atau tulisan Devi Simbolon lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.