Baru-baru ini, dunia kerja dihebohkan lagi dengan informasi geger yang itu-itu saja. Nggak akan jauh-jauh dari lowongan kerja perusahaan yang persyaratannya bikin geleng-geleng kepala. Wajar saja jika khalayak—yang tentu saja sebagian di antaranya para pencari kerja—mangkel sekaligus takjub mengetahui daftar persyaratan yang nggak ngotak banget itu.
Barangkali kalian melewatkan informasinya, sini, biar saya kasih kisi-kisi. Pertama, lowongan kerja untuk posisi IT programmer di salah satu perusahaan under BUMN yang daftar kualifikasinya membikin bulu kuduk para pekerja IT merinding. Kedua, info lowongan magang yang salah satu syaratnya harus punya pengalaman magang.
Khusus untuk poin pertama, banyak warganet yang senewen dan ikut meramaikan dengan memberi komentar, “Nggak sekalian cari avatar saja? Biar bisa mengendalikan elemen air-api-udara-tanah secara bersamaan?”
Sedangkan untuk poin kedua, kok bisa-bisanya, sih, syarat magang di suatu perusahaan, harus punya pengalaman magang terlebih dahulu? Pak/Bu, orang yang pengin magang itu justru mau cari pengalaman. Aduh, gitu aja masa mesti diingatkan, sih.
Bisa dipahami jika banyak ungkapan kekesalan tanpa filter di kolom komentar. Lha, gimana. Yang dicari IT Programmer, tapi persyaratannya kok agak nganu. Memang, sih, ada embel-embel “nilai tambah” di belakang persyaratannya. Namun, sulit dimungkiri bahwa, hal tersebut jadi terkesan memberatkan bagi sebagian pencari kerja yang ingin mencoba peruntungan untuk melamar di posisi tersebut.
Sebagian mungkin masih bertanya-tanya dan penasaran. Di antara kedua informasi tentang lowongan kerja perusahaan yang persyaratannya nggak ngotak itu, sebetulnya lumrah dan sah-sah saja nggak, sih, dilakukan untuk keperluan seleksi karyawan?
Sebelum klean-klean larut dalam luapan kekesalan sendiri, saya akan coba beri sudut pandang lain terkait hal tersebut, dari sisi HRD atau perekrut. Bukan untuk membenarkan persyaratan lowongan kerja yang nggak ngotak, lebih kepada memberi insight dan memberi jawaban kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Pertama, sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui
Beberapa di antara kalian mungkin sudah familiar tentang lowongan pekerjaan yang persyaratannya terkesan rangkap jabatan dan kudu banget bisa mengerjakan apa pun. Posisinya untuk apa, latar belakang pendidikannya apa, tapi harus punya kemampuan apa. Selain membagongkan, trik seperti ini digunakan agar satu orang bisa mengerjakan banyak hal di kantor. Sadis, sih. Namun, memang begitu realitasnya.
Tentu saja, tidak ada salahnya bagi kalian yang ingin mencoba melamar di posisi yang persyaratannya semacam ini. Kuncinya, ada pada saat interview. Manfaatkan untuk berdiskusi dan banyak bertanya kepada HRD. Dan jika beruntung lalu diterima, cek kontrak kerja dengan teliti. Apakah deskripsi pekerjaan semenyeramkan seperti yang terlampir pada iklan lowongan kerja? Atau justru, persyaratan tersebut hanya untuk mengetes mental para pencari kerja saja?
Kedua, mempersempit pelamar kerja yang mendaftar untuk suatu posisi
Bagi HRD atau recruiter, screening CV dari mulai puluhan, ratusan, bahkan ribuan, sudah menjadi makanan sehari-hari yang mengenyangkan—meski tidak selalu lezat dan nikmat. Untuk meminimalisir membludaknya pelamar kerja, trik yang digunakan adalah dengan cara melampirkan persyaratan yang lebih spesifik, rinci, dari suatu posisi yang sedang dibutuhkan. Bagaimana pun, beberapa strategi harus dilakukan. Apalagi jika target pemenuhan karyawan sangat ketat.
Itulah kenapa, sering kali ada beberapa persyaratan yang cukup ajaib. Salah satu harapan dan tujuannya—selain memang kemampuan tersebut yang dibutuhkan—agar hanya pelamar kerja yang memenuhi kualifikasi yang melamar untuk posisi tersebut.
Kendati demikian, jika kalian pengin coba kirim lamaran dan nggak semua persyaratannya terpenuhi, sah-sah saja dilakukan. Toh, pada akhirnya, yang bertanggungjawab mengecek lamaran kalian adalah HRD perusahaan.
Ketiga, mengaplikasikan konsep ekonomi ala Adam Smith
Teori ekonomi “Dengan modal sekecil-kecilnya, mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya,” ala Adam Smith, betul-betul dipraktikan untuk poin ini. Betapa tidak. Jika persyaratan kerja bejibun dan bikin pusing setengah mampus, tapi diimbangi dengan benefit/income yang mumpuni, mungkin para pelamar kerja atau calon karyawan, sedikit mendapatkan angin segar. Meskipun ada perasaan mangkel tipis-tipis, “Ya, setidaknya pusing yang dirasakan seimbang dengan benefit yang didapat.”
Namun, kalau benefit nggak seimbang, tentu saja harus diwaspadai. Dalam hal ini, selama proses perekrutan berlangsung, sangat disarankan untuk berdiskusi/negosiasi sampai mencapai kesepakatan soal benefit apa saja yang didapat. FYI, selain pengin menggunakan konsepnya Adam Smith, beberapa perusahaan juga melakukan hal ini karena penyesuaian budget. Soal ini, sih, sudah masuk ke dalam dapur perusahaan, ya.
BACA JUGA Seandainya Lionel Messi Karyawan Kantoran yang Kontraknya Nggak Diperpanjang dan artikel Seto Wicaksono lainnya.