Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Budaya Pekewuh yang Hanya Mitos di Masyarakat Kita

Primasari N Dewi oleh Primasari N Dewi
6 Agustus 2021
A A
Budaya Pekewuh yang Hanya Mitos di Masyarakat Kita terminal mojok
Share on FacebookShare on Twitter

Kata siapa masyarakat kita punya sikap pekewuh dan bisa nggak enakan sama orang lain? Lha, jelas-jelas saja ada banyak pemandangan sampah yang menumpuk di pinggir sawah, kok. Sampah, lho, sampah. Itu sawah woy, yang menghasilkan beras yang setiap hari kita makan. Kok ya tega-teganya buang sampah di sana?

Kresek sampah beraneka warna berbeda ukuran menumpuk tak berdaya di pinggir sawah. Kadang penasaran siapa pemilik sampah itu. Yang jelas pasti bukan milik si empunya sawah, ngapain juga buang sampah di sawahnya sendiri, kan? Meski tahu sampah itu pasti dari orang-orang yang nggak bertanggung jawab, saya beneran ingin lihat muka mereka. Kira-kira mukanya punya malu nggak?

Pernah suatu hari tumpukan sampahnya hilang dan tempat itu menjadi bersih. Namun, tak berapa lama buntelan-buntelan kresek mulai bermunculan lagi. Numpuk lagi. Pernah pula salah satu kresek itu isinya tercecer dan ada popok bekas yang ada tahinya. Bayangkan, ada tahinya, lho!

Kejadian seperti ini pernah dibahas di forum Info Cegatan Jogja karena beberapa tertangkap layar CCTV. Pernah juga dibongkar sampahnya dan ketahuan siapa yang punya, lalu akhirnya sampah itu dikembalikan. Apa iya perlu dipermalukan di muka umum seperti itu dulu baru mau tobat? Eh, siapa tahu malah buang sampahnya pindah ke tempat lain lagi. Masa iya warga pemuda setempat harus berpatroli mengurusi sampah tak bertuan seperti ini? Gila sih ini, bukankah seharusnya kesadaran manusia itu sendiri untuk pekewuh “membuang sampah kok di tempat orang lain”?

Berkali-kali kejadian seperti ini terulang dan sepertinya memang nggak ada efek jera. Jangankan membicarakan efek kelestarian alam dan bumi yang bla bla bla, saya saja sangsi apakah mereka ini punya hati dan perasaan atau minimal menempatkan diri seandainya popok bertahi itu mendarat di depan rumahnya. Apa iya mereka nggak akan marah dan merasa terhina? Wong kok sak udele dhewe, seenaknya sendiri.

Kalau perkara sampah ini boleh dibandingkan dengan Jepang, penanganan sampah di sana bisa menjadi contoh yang baik. Hampir nggak pernah ditemukan sampah berserakan di tempat umum. Tetapi di balik bersihnya Jepang, urusan sampah di sana itu memang beneran sangat pelik. Kebetulan saya pernah tinggal di Jepang dalam waktu yang cukup lama dan dulu pernah ditegur ibu kontrakan karena sebagai orang baru saya dianggap nggak bisa memilah sampah. Ibu tetangga mendapati kresek sampah saya ada plastiknya padahal jadwal buang sampah hari itu adalah sampah organik. Gegar budaya pertama saya: masa iya gara-gara sampah saya diusir dari kontrakan? Ya bisa saja.

Sebenarnya saat registrasi ke kantor Wali Kota dan mendapat KITAS di Jepang, kita diwajibkan untuk mencari tahu soal persampahan ini. Segala cara memilahnya, cara membuangnya, hingga tempat dan jadwal pembuangan sampahnya. Gara-gara sampah juga, kita bisa dianggap sebagai orang yang nggak punya etika dan nggak berbudaya. Terlebih sebagai orang asing, bisa jadi kita akan merasakan diskriminasi dan stereotip miring gara-gara sampah.

Kalau dipikir-pikir, kok bisa ya orang Indonesia dengan entengnya melakukan hal seenak mereka sendiri yang jelas-jelas mengganggu kenyamanan orang lain? Apa iya seandainya kita memiliki sikap ewuh-pekewuh, kejadian- seperti buang sampah di sawah orang lain itu tak akan terjadi?

Baca Juga:

Rumah Joglo Memang Unik, tapi Nggak Semua Orang Cocok Termasuk Saya

8 Kosakata Boyolali yang Susah Diterjemahkan Warga Lokal dari “Horok” Sampai “Nine”

Sikap pekewuh bisa diartikan nggak enak hati yang membuat orang jadi takut untuk menyakiti hati atau merugikan orang lain. Poin utamanya adalah memikirkan orang lain. Kalau saya begini, merugikan orang lain nggak, ya? Kalau saya digituin dan nggak suka, ya jangan sampai melakukan hal sama kepada orang lain. Kita berusaha menempatkan diri kalau kita di posisi orang lain. Segampang itu sebenarnya.

Di Jepang juga ada budaya seperti ini, istilahnya “meiwaku” (mengganggu). Meiwaku sebenarnya dikonotasikan baik sebagai sikap nggak mau mengganggu orang lain. Sebelum Perang Dunia, berawal dari zaman Edo, masyarakat Jepang mengenal istilah “haji” (malu) yang membuat orang untuk memikirkan diri sendiri sebelum bertindak, jangan sampai memalukan diri sendiri dan keluarga. Setelah Perang Dunia, “haji no bunka” (budaya malu) ini berubah menjadi “meiwaku no bunka” (budaya mengganggu). Bisa dimaknai dengan sebelum melakukan sesuatu, kita memikirkan orang lain terlebih dahulu, apakah perbuatan kita akan membuat orang lain merasa terganggu atau nggak. Sikap ini juga ditanamkan ke anak-anak Jepang sejak sekolah. Masyarakat Jepang sendiri paham bahwa ketertiban masyarakat itu dibentuk dari kesadaran setiap individu dan mematuhi peraturan itu dilakukan agar nggak “mengganggu” kenyamanan orang lain.

Seandainya Indonesia juga bisa menerapkan sikap pekewuh seperti ini, mungkin nggak akan ada kasus membawa anjing jalan-jalan ke mal karena akan pekewuh seandainya anjingnya berak dan menggonggong sehingga mengganggu pengunjung mal lainnya. Atau mungkin mahasiswa pekewuh saat terlambat mengumpulkan tugas dosen karena kalau terlambat, dosen dan teman-teman akan rugi waktu, dll. padahal sudah diberi waktu panjang untuk mengerjakannya. Atau pekewuh saat tahu sudah positif Covid-19, tapi nggak betah isolasi mandiri di rumah dan ngotot salat Jumat di masjid sehingga satu jamaah pun harus ikut dites dan satu kampung ikutan lockdown?

Lha gimana, figur publik atau pejabat elit kita saja mencontohkan untuk sak udhele dhewe, sama sekali nggak tahu malu, kok. Sudah jelas salah, tetapi selalu mencari pembenaran dan malu untuk mengakui perbuatan salah mereka. Seandainya mereka punya sikap pekewuh pasti akan berpikir dua atau tiga kali lipat bahwa mereka punya tanggung jawab moral sebagai orang yang menjadi contoh bagi masyarakat, kalau berbuat seperti ini pasti masyarakat akan kecewa.
Ah, apa iya kita ini termasuk masyarakat yang harus diancam, ditakut-takuti, dan dipermalukan terlebih dahulu, barulah kita bisa memikirkan dan menghormati hak orang lain? Apakah culture masyarakat kita yang seenaknya sendiri itu susah untuk diubah?

Diancam akan didenda 500 ribu kalau ketahuan membuang sampah sembarangan saja nggak menakutkan kok bagi mereka. Toh pakai masker dan pas gelap buangnya, jadi nggak akan ketahuan wajah pelakunya. Toh yang lain juga melakukannya dan saya cuma ikut-ikutan. Ditegur malah berantem. Akhirnya orang yang berniat untuk sama-sama mengajak kebaikan pun mundur teratur. Ini seperti lingkaran setan yang tak akan berhenti berputar. Tetapi, bukankah dengan setidaknya bersikap pekewuh akan menjadikan kita sedikit punya perasaan dan berpikir berkali-kali lipat sebelum merugikan orang lain? Siapa tahu, kan?

Sepertinya perjalanan kita memang masih panjang untuk menjadi masyarakat yang berbudaya dalam arti sebenarnya. Butuh integritas total dari seluruh elemen masyarakat, termasuk penanaman sikap ini ke anak sejak kecil dan mereka akan melihat kita orang dewasa sebagai teladannya. Nah!

BACA JUGA Mukena Adalah Budaya Indonesia, Bukan Syariat Islam dan tulisan Primasari N Dewi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 21 September 2021 oleh

Tags: BudayaJawaNusantara Terminalpekewuh
Primasari N Dewi

Primasari N Dewi

Guru bahasa Jepang tapi suka drakor.

ArtikelTerkait

K-pop dan budaya populer

K-Pop, Koplo-nomic, dan Perang Budaya Populer

27 November 2021
Lek-lekan Nganten, Kegiatan Bergadang Paling Berbahaya di Kampung Saya terminal mojok (1)

Lek-lekan Nganten, Kegiatan Bergadang Paling Berbahaya di Kampung Saya

8 Agustus 2021
es teh

Tak Ada Es Teh di Batam?

6 September 2019
6 Istilah Menempel dalam Bahasa Jawa, Mulai dari Nemplek hingga Rengket. Beda Konteks Beda Penggunaan Mojok.co

6 Istilah dari Kata “Menempel” dalam Bahasa Jawa, Mulai dari Nemplek hingga Rengket. Beda Konteks Beda Penggunaan

3 April 2024
mukena adalah budaya indonesia bukan islam mojok

Mukena Adalah Budaya Indonesia, Bukan Syariat Islam

11 Januari 2021
Jauh-jauh KKN UGM ke Maluku, Isinya Malah Orang Jawa Semua, Serasa di Bantul!

Jauh-jauh KKN UGM ke Maluku, Isinya Malah Orang Jawa Semua, Serasa di Bantul!

25 Agustus 2024
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Malang Nyaman untuk Hidup tapi Bikin Sesak Buat Bertahan Hidup (Unsplash)

Ironi Pembangunan Kota Malang: Sukses Meniru Jakarta dalam Transportasi, tapi Gagal Menghindari Banjir

5 Desember 2025
Pengakuan Pengguna Tumbler Lion Star: Murah, Awet, dan Tidak Mengancam Masa Depan Karier Siapa pun

Pengakuan Pengguna Tumbler Lion Star: Murah, Awet, dan Tidak Mengancam Masa Depan Karier Siapa pun

29 November 2025
Bukan Hanya Perpustakaan Daerah, Semua Pelayanan Publik Itu Jam Operasionalnya Kacau Semua!

Bukan Hanya Perpustakaan Daerah, Semua Pelayanan Publik Itu Jam Operasionalnya Kacau Semua!

1 Desember 2025
Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang Mojok.co

Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang

3 Desember 2025
Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

1 Desember 2025
Ketika Warga Sleman Dihantui Jalan Rusak dan Trotoar Berbahaya (Unsplash)

Boleh Saja Menata Ulang Pedestrian, tapi Pemerintah Sleman Jangan Lupakan Jalan Rusak dan Trotoar Tidak Layak yang Membahayakan Warganya

3 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.