Seminggu sudah PPKM Darurat diluncurkan sebagai “final solution” menghadapi gelombang pandemi yang entah ke berapa. Sebagai produk khas pemerintah yang hanya main kata dan singkatan, PPKM Darurat pun tidak jauh dari polemik. Dan seperti biasa, muncul konflik horizontal antar-masyarakat.
Ada yang mendukung PPKM sampai memaki-maki mereka yang “melanggar”. Sebagian mempermasalahkan PPKM dan memaki-maki mereka yang berseru untuk tetap di rumah. Sebagian semangat untuk tetap di rumah dan WFH, dan sebagian tidak mampu WFH karena berdagang. Wes, nggak beda dengan masa PSBB dulu.
Tapi, saya enggan masuk dalam konflik horizontal ini. Mau bacot seperti apa pun, konflik horizontal hanya memperindah ketimpangan sosial yang makin menjadi. Saya ingin membahas bagaimana separuh babak PPKM ini berjalan. Apakah PPKM Darurat telah menjawab situasi darurat ini? Atau malah memperkeruh situasi yang sudah embuh ini.
Baiklah, mari kita bersama mereview bagaimana PPKM Darurat kali ini berjalan. Dan untuk mereview ini, saya menilik tiga tempat: Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jogja. Untuk dua lokasi pertama, PPKM Darurat yang dilaksanakan memang jadi buah bibir. Kalau Jogja, memang saya yang gatal untuk nyinyir pada provinsi Do It Yourself ini.
Seperti yang sudah-sudah, PPKM Darurat melibatkan berbagai elemen. Dari polisi, tentara, Satpol PP, ormas, sampai polisi militer. Nah buat yang terakhir ini memang membuat dahi berkerut. Apakah PPKM Darurat benar-benar membutuhkan kekuatan polisi militer?
Menilik fungsi polisi militer, tugas kesatuan ini masih dalam fungsi teknis TNI. Gampangnya, Polisi Militer menjadi “polisi” di dalam TNI. Jadi beda cakupan wewenang dengan polisi reguler. Tapi, saya pikir tidak perlu berlarut-larut membahas kehadiran polisi militer dalam PPKM. Anggap saja mereka mengawasi kerja TNI saat menertibkan PPKM. Tapi, apa TNI perlu hadir saat PPKM? Makin ruwet kan?
Mari melihat bagaimana gabungan otoritas ini menyelenggarakan PPKM. Seperti biasa, ada penggrebekan pusat keramaian dan patroli keliling. Saya pikir ini terjadi di semua daerah. Tapi, yang menjadi sorotan adalah perilaku represif aparat di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di Banyumas, aparat menyemprotkan desinfektan untuk membubarkan pedagang kaki lima. Yap, bukan air biasa tapi desinfektan. Meskipun terlihat dalam sebuah video para pedagang sudah pergi dari lapak, tapi perilaku ini tetap dikritik. Pertama jelas perkara nurani. Toh pedagang yang berjualan itu memang harus tetap jualan untuk memutar roda ekonomi mereka. Dan yang pasti, mereka tetap keluar modal.
Yang kedua adalah masalah desinfektan. WHO dulu sudah mengecam proses desinfeksi jalanan yang pernah populer di Indonesia. Alasannya selain tidak efektif, ada potensi berbahaya bagi kesehatan. Paparan desinfektan berlebih bisa menjadi masalah pernafasan. Lha ini malah seperti dibaptis dengan desinfektan. Mungkin biar terlihat keren, tapi ra cetho sih logikanya.
Di Semarang, sempat viral tentang pembongkaran dua lapak pedagang karena dipandang melanggar PPKM. Yang dibongkar bukan lapak kayu dan knockdown ya, tapi lapak permanen. Bangunan bata sebagai lapak ini benar-benar dibongkar dengan palu godam. Banyak orang menyayangkan perilaku yang dipandang arogan ini.
Jelas arogan lah. Menghancurkan bangunan permanen tidak lebih adalah shock therapy dari otoritas. Tapi, apa perlu segitunya? Apakah ada dampak signifikan dari kampanye destruktif ini pada kedisiplinan PPKM? Saya lihat sih tidak, karena pelanggaran tetap terjadi di Semarang pasca-penghancuran lapak ini.
Masih banyak lagi kasus represif macam di Semarang. Tentu dengan karakter yang berbeda. Anda bisa melihat banyak video tindakan ini di media sosial.
Selain penyitaan, ada juga sanksi denda bagi pelanggar PPKM. Yang bikin geger adalah denda lima juta kepada pedagang bubur di Tasikmalaya. Benar, lima juta rupiah! Sedangkan gerai McD di Bandung kena denda 500 ribu rupiah karena menimbulkan kerumunan saat Mcd X BTS kemarin rilis.
Padahal, dampak kerumunannya beda level. Seberapa ramai sih keramaian di warung bubur dibandingkan keramaian di McD yang viral itu. Tapi bagi masyarakat, besaran dendanya kok terbalik ya? Harusnya McD yang didenda jutaan karena keramaian yang lebih besar.
Nah selain penyitaan barang dagangan serta denda, ada lagi tindakan ra cetho saat PPKM. Yaitu penutupan jalan dan pemadaman lampu penerangan jalan. Dipelopori oleh Malang, kedua metode ini dipandang bisa menekan mobilitas masyarakat. Logikanya sih, kalau jalan ditutup dan lampu dipadamkan maka masyarakat akan tetap di rumah.
Jogja pun ikut ambil bagian dalam tindakan ra cetho ini. Saya sendiri meluangkan waktu untuk merasakan sendiri tindakan penutupan jalan dan pemadaman lampu jalan ini. Dan yang saya lihat bukanlah jalanan sepi, namun masyarakat yang bingung mencari jalan lewat. Akhirnya jalanan kampung yang biasanya sepi jadi jalur alternatif.
Dari kesemua ketidakjelasan PPKM Darurat dilaksanakan, saya penasaran PPKM ini untuk apa dan siapa. Kalau memang untuk rakyat, mengapa malah seperti menambah ruwetnya penanganan pandemi.
Ketika menyalahkan pedagang, saya malah bertanya-tanya mengapa mereka tetap berdagang. Dan jelas alasannya untuk melanjutkan hidup. Sebab, PPKM tidak pernah menjamin kebutuhan pokok masyarakat. Dari PSBB, PPKM, sampai PPKM Darurat selalu dilanggar dengan alasan yang sama: karena kita tidak punya uang.
Nah, sudah tiga kali gagal kok tidak belajar. Yang dibutuhkan masyarakat adalah jaminan hidup layak dan tenteram. Ketika masyarakat butuh memenuhi kebutuhan hidup, ya wajar kalau PPKM dilanggar. Lha tidak semua bisa WFH atau berbasis daring jhe. Dan sekalipun bisa, apakah dampak ekonomi dari PPKM ini dijamin? Ya jelas tidak. Lha bansos saja dikorupsi kok.
Kemudian bicara tindakan represif otoritas, apakah seperlu itu. pembangkangan PPKM bukanlah ajang adu galak antara aparat dan rakyat. Sudah jelas kan alasan pelanggaran selalu urusan perut. Teror seperti penyemprotan desinfektan dan penghancuran lapak tidak akan membuat perut kenyang. Yang ada malah rasa kecewa dan skeptis pada PPKM Darurat.
Pamer ketegasan ini memang salah sasaran. Saya setuju dengan upaya pembelian dagangan oleh aparat yang juga viral kemarin. Memang dagangan laku yang dibutuhkan mereka. Kalau pamer ketegasan sih hanya jadi ketakutan. Masalahnya, ketakutan yang bercampur dengan situasi tidak menyenangkan bisa berbalik jadi amarah lho.
Dan perkara pemadaman lampu dan penutupan jalan, saya hanya bisa facepalm. Lha dampak dari upaya ini apa sih? Apakah masyarakat itu dianggap laron yang mengerumuni sumber cahaya? Yang ada malah potensi kecelakaan serta aksi kriminal seperti pencurian dan penjambretan. Malah nambah perkara kan?
Mau sampai kapan PPKM yang besok apa lagi namanya akan dilakukan? Apakah seluruh Indonesia diarahkan untuk DIY alias Do It Yourself? Bertahan hidup sendiri dengan pembatasan ala Hunger Game. Atau akan tiba saatnya otoritas minta maaf dan benar-benar lockdown yang didanai seutuhnya? Saya hanya bisa menjawab “hamboh”.
BACA JUGA Tudingan Bupati Banjarnegara tentang Rumah Sakit yang “Rebutan” Pasien Covid-19 Blas Ra Mashoook! dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.