Gunungkidul menyimpan banyak potensi dalam bentuk objek pariwisata. Meski daerahnya tak bisa dibilang subur, namun daerah ini diberi berkah berupa pantai yang indah. Memang, di Gunungkidul terdapat banyak sekali objek wisata pantai. Sehingga wajar jika seseorang mengenal Gunungkidul karena pengalaman mengunjungi salah satu pantai, misalnya Pantai Indrayanti. Lumrah sih, tapi apa nggak kepengin mengenal suatu daerah berdasarkan keunikan dan ciri yang lain?
Misalnya, mengenal Gunungkidul dari keunikan bahasa. Beberapa masyarakat di Gunungkidul menamakan buah pepaya dengan istilah “Kamplong”. Bukankah seharusnya keunikan itu memiliki daya tarik tersendiri. Pun seharusnya masyarakat Gunungkidul jangan gengsi memperkenalkan bahasa daerah yang unik. Selain itu kalian juga bisa mengenali Gunungkidul dari upah kerjanya yang sangat rendah. Ini serius, lho.
Tidak sedikit teman dan orang yang berdialog dengan saya mengeluhkan upah yang rendah bin tak layak itu. UMK Gunungkidul memiliki besaran kurang lebih satu juta tujuh ratus tujuh puluh ribu. Namun, berdasarkan pengakuan mereka, mendapat upah sesuai UMK itu sangat beruntung, sebab kebanyakan perusahaan memberikan upah di bawah standar UMK. Sesungguhnya meskipun sesuai UMK, tetap saja nggak layak jika diukur dari standar hidup layak di Yogyakarta.
Soal wisata barangkali Gunungkidul memiliki objek wisata terbanyak dibanding wilayah lain di Yogyakarta. Tetapi soal upah, UMK Gunungkidul berada di urutan paling bawah, kalau di klasemen sepak bola mungkin disebut zona degradasi. Zona bahaya, Lur!
Tidak bisa dimungkiri, Gunungkidul tak segemerlap Sleman dan Kota Jogja. Meski begitu, ketidakgemerlapan tidak bisa dijadikan legitimasi atas UMK Gunungkidul yang begitu rendah.
By the way alias ngomong-ngomong, perihal upah jangan sampai luput dari perhatian kita. Mengingat upah adalah instrumen penting sebagai imbalan—yang seharusnya layak, atas jasa yang dikerahkan oleh pekerja. Seperti yang kita tahu, sebagian besar masyarakat Indonesia adalah berprofesi sebagai buruh. Begitupun masyarakat di Gunungkidul selain menjadi petani, profesi yang dominan adalah buruh.
Kita perlu menyadari, bahwa buruh memiliki peran yang signifikan terhadap berlangsungnya sebuah negara. Tanpa adanya buruh, barangkali negara nggak akan maju. Tak ayal, jika buruh memang memiliki peran besar terhadap berlangsungnya sebuah negara. Kita bisa belajar dari sejarah perjuangan serikat buruh di belahan dunia.
Tapi, kalau dapet upah yang nggak layak seperti di Gunungkidul bahkan di Yogyakarta begini, negara nggak akan maju dan nggak ada gunanya dong. Eh, negara berguna tetapi hanya berguna untuk banyak orang di kursi pejabat. Tidak untuk kita sebagai rakyat jelata.
Begini. Korelasi upah layak dengan negara maju itu ada, kalau kalian bingung dengan paragraf kita. Gampangnya gini, dengan upah yang layak—syukur-syukur tinggi—produktivitas naik dan kelayakan hidup pekerja terjamin. Kemajuan negara hanya menunggu waktu, tak lagi jadi angan. Logika ini sederhana, memang, tapi tidak ada negara maju yang mengupah rendah pegawainya.
Ketika menyoroti keberadan buruh, dalam memoar sejarah dunia membuktikan bahwa buruh menjadi tema sentral sebagai aktor dibalik sebuah gerakan revolusi. Kita bisa lihat keberhasilan revolusi yang didukung peran buruh misalnya Revolusi Kuba dan Revolusi Iran. Maka dari itu, tak patut rasanya jika melihat buruh justru mendapat perlakuan tak manusiawi cum upah yang tak layak.
Sesungguhnya membicarakan ketimpangan di Yogyakarta memang tidak ada habisnya. Para buruh pun sudah kerap melakukan protes. Tetapi, di bawah kendali monarki ketimpangan itu masih langgeng terjadi. Saya pikir, rendahnya UMK Gunungkidul sama sekali tidak mencerminkan wilayahnya yang dikelilingi destinasi wisata yang indah.
Keindahan pantai Gunungkidul mengubur rapat-rapat fakta UMK yang begitu rendah. Ironis rasanya melihat kota yang diberi anugerah justru ternoda oleh upah yang rendah. Suara deburan ombak di laut seakan menutupi suara harapan hidup layak yang surut.
BACA JUGA Upah Kerja Rendah di Yogyakarta, Siapa yang Paling Menderita? dan tulisan Nikma Al Kafi lainnya.