Pantai Gunungkidul memang indah-indah, tapi ada tanda bahaya yang perlu diperhatikan agar tawa kalian tak berubah jadi duka
Kabar duka yang menimpa siswa-siswi SMP 7 Mojokerto di Pantai Drini Gunungkidul, Selasa 28 Januari lalu, sampai hari ini masih menyisakan duka mendalam bagi keluarga. Belasan siswa yang terseret arus itu, empat di antaranya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Sebuah berita yang tentu menyakitkan dan menyesakkan dada.
Pantai selatan Gunungkidul, Yogyakarta, memang masih menjadi primadona bagi para wisatawan. Setiap hari libur, saya sering menjumpai rombongan bus-bus besar dari berbagai instansi sekolah. Barangkali keindahan alam dan pasir putih yang menawan di sepanjang pantai selatan, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung luar daerah.
Di balik keindahan dan kemolekannya, harus diakui bahwa pantai-pantai di Gunungkidul sebenarnya menyimpan bahaya yang setiap saat bisa mengancam. Salah satu ancaman laut di pantai selatan yang baru-baru ini ramai diperbincangkan adalah rip current atau arus karau. Fenomena inilah yang disebut-sebut menjadi penyebab belasan pelajar di SMP 7 Mojokerto terseret arus hingga ke tengah laut.
Daftar Isi
Bahaya rip current di Pantai Gunungkidul
Buat yang (mungkin) belum tahu apa itu rip current, saya coba jelaskan. Sederhananya, rip current merupakan arus air laut yang bergerak dengan cepat menjauhi pantai. Kondisi ini terjadi karena pertemuan ombak yang sejajar dengan garis pantai. Pertemuan tersebut menyebabkan arus balik dengan kecepatan yang sangat tinggi. Situasi tersebut bisa menyeret orang hingga ke tengah laut.
Kemunculan rip current yang datang tiba-tiba memang cukup sulit diprediksi. Namun, menurut BMKG, ada beberapa ciri-ciri yang bisa kita lihat. Seperti warna air yang cenderung gelap, air lebih tenang, dan posisinya berada di antara dua ombak yang dipecah. Gampangnya, rip current tidak membentuk buih setelah gelombang pecah.
Sekilas arus rip current tampak tenang. Orang yang sedang berenang mungkin tidak sadar bahwa dirinya sedang terperangkap arus rip current yang memiliki kecepatan 2 meter/detik itu. Kondisi inilah yang diduga dialami belasan pelajar SMP 7 Mojokerto yang tenggelam di Pantai Drini beberapa waktu lalu. Para korban kehabisan tenaga dan kesulitan saat melawan arus, sehingga (mohon maaf) kelelap sampai ke dasar laut.
Ancaman di balik air laut yang tenang
Sampai di sini kita tahu bahwa di balik air laut di pantai Gunungkidul yang tampak tenang itu, ada arus balik yang begitu cepat. Maka untuk menyelamatkan diri dari situasi ini, para pakar menyarankan agar tidak melawan arus. Melainkan harus tetap mengikuti arus, kemudian berenang ke samping supaya bisa keluar dari rip current. Setelah itu, baru bisa menuju ke arah bibir pantai.
Lalu, bagaimana dengan orang yang nggak bisa berenang?
Jawaban mudahnya, jangan mandi atau bermain air di laut. Itu saja. Kalau pengin bermain air, tentu harus mengenakan pelampung. Sepengetahuan saya, beberapa pantai di Gunungkidul sebenarnya sudah menyediakan pelampung. Hanya saja (mungkin) jumlahnya terbatas dan harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan petugas pantai.
Selain itu, pastikan untuk mencari informasi soal karakter laut dan ombak di pantai tersebut. Saat membawa rombongan, saya pribadi lebih suka bertanya kepada para nelayan atau pedagang di sekitar soal keadaan laut hari itu. Biasanya, para nelayan lokal justru lebih peka dan tahu betul dengan kondisi laut di pantai selatan.
Ada jurang laut di pantai Gunungkidul
Selain rip current, ada beberapa hal yang perlu teman-teman waspadai ketika “bermain” air laut di pantai Gunungkidul. Salah satunya adanya cekungan yang curam di dasar laut. Warga lokal menyebutnya jurang laut. Nggak sedikit pantai di Gunungkidul yang terdapat cekungan-cekungan di dasar laut yang tak terlihat ketika kita sedang berada di bibir pantai.
Sejak remaja saya sering diwanti-wanti oleh orang tua agar waspada dengan jurang ini. Cekungan ini sangat berbahaya ketika gelombang sedang pasang. Pasalnya, arus bawah di jurang ini sangat kuat dan bisa menyeret orang hingga ke tengah. Para wisatawan yang suka berenang di pantai, wajib menjauhi area ini.
Nggak terlalu sulit sebenarnya mendeteksi jurang laut di sekitar pantai Gunungkidul. Umumnya, jurang ini memiliki dataran lebih rendah dibandingkan dataran lainnya. Selain itu, karakter air laut akan tetap tergenang saat posisi surut.
Supaya wisatawan nggak mendekati area mematikan ini, biasanya pihak pengelola pantai sudah memberi sebuah tanda atau pathok. Tanda ini bisa berupa tiang panjang, banner, atau semacam bendera di area jurang laut. Jadi, perhatikan tanda-tanda zona terlarang ini ketika teman-teman sedang berkunjung ke pantai selatan.
Mitos seputar pantai Gunungkidul
Terlepas dari ancaman rip current dan jurang laut di pantai Gunungkidul, ada kepercayaan lokal yang saya rasa (juga) nggak boleh diabaikan begitu saja. Kepercayaan ini berupa pantangan-pantangan saat berkunjung atau berada di kawasan pantai selatan Gunungkidul.
Mungkin salah satu mitos yang populer di kalangan masyarakat adalah mengenai larangan mengenakan pakaian berwarna hijau. Konon, Nyi Roro Kidul, yang dikenal masyarakat Jawa sebagai penguasa pantai selatan itu amat menyukai warna ini. Penjelasan sederhananya, (konon) pengunjung yang mengenakan pakaian berwarna hijau dikhawatirkan akan ditarik oleh Nyi Roro Kidul ke tengah laut.
Ada juga anjuran bagi wisatawan agar membasuh kaki atau wajah terlebih dahulu sebelum meninggalkan pantai di Gunungkidul. Sebagian warga meyakini bahwa hal tersebut bertujuan agar seseorang terhindar dari musibah, baik selama di pantai maupun saat perjalanan pulang.
Selain itu, warga Gunungkidul, khususnya yang tinggal di pesisir pantai juga memercayai suatu pantangan. Kali ini cukup spesifik. Yang mana para nelayan dilarang melaut pada hari pasaran Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Konon, orang yang (tetap) nekat melaut akan tertimpa musibah. Sampai hari ini, kepercayaan tersebut masih ditaati oleh para warga dan nelayan di sekitar pantai Gunungkidul.
Pantangan dan anjuran yang nggak boleh diabaikan
Saya sadar sepenuhnya bahwa kepercayaan lokal berupa pantangan-pantangan tersebut nggak bisa diterima begitu saja oleh logika. Yang jelas, saya pribadi cukup meyakini bahwa di balik setiap mitos, ada pesan tersirat yang mungkin suatu hari nanti bisa dijelaskan dengan akal sehat. Nggak ada salahnya juga menghormati serta menghargai nilai-nilai lokal setempat. Toh, semata-mata demi kabaikan bersama juga.
Akhirnya, seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah daerah, petugas pantai, maupun wisatawan, harus bekerja sama agar kejadian tragis seperti ini nggak terulang lagi. Secara pribadi, saya turut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya untuk keluarga korban dan seluruh pelajar di SMP 7 Mojokerto. Semoga empat pelajar itu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Selamat jalan, swarga langgeng.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pantai di Gunungkidul Tak Seindah Dulu: Kebanyakan Promosi Padahal Banyak yang Perlu Dibenahi