Hype stand up comedy di Indonesia dimulai pada 2012. Pada 2012 banyak daerah-daerah yang membuat komunitas stand up comedy. Komika Indonesia ini rutin menyelenggarakan open mic di kafe atau food court sehingga mulai banyak orang mencoba untuk memegang mic lalu melontarkan banyolan di panggung kecil dengan harapan mendapatkan tawa dari penonton.
Keberadaan stand up comedy di Indonesia juga bukan tanpa masalah. Tidak sedikit komika Indonesia yang tersandung kasus seperti ujaran kebencian dan isu SARA. Apalagi jika video stand up comedy tersebut sudah telanjur tersebar di YouTube dan menjadi cuplikan dalam konten dakwah, komika Indonesia dan penonton yang tertawa sudah jelas mendapatkan cap sebagai manusia yang tersesat.
Komika di Indonesia bisa diibaratkan seperti lagu Banda Neira, yang patah tumbuh yang hilang berganti. Tidak sedikit komika Indonesia yang dulu dielu-elukan, kini jarang tampil sebagai stand up comedian baik di TV ataupun di panggung besar.
Sebagian dari komika Indonesia yang jarang mendapatkan panggung, kebanyakan memilih karier sebagai konten kreator, penulis, sutradara, dan bahkan kembali pada profesinya sesuai disiplin ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia stand up comedy bukanlah pilihan karier, melainkan keterampilan yang bisa dipelajari untuk menunjang profesi yang lainnya.
Berikut ini adalah tantangan para komika Indonesia yang sudah telanjur memilih stand up comedy sebagai jalan ninjanya.
#1 Stand up comedy menuntut adanya kebaruan
Berbeda dengan musisi di mana dirinya masih bisa mengcover lagu orang lain dan kau akan terkenal. Seorang musisi yang membawakan lagu lama tentu masih akan tetap dielu-elukan oleh penggemarnya. Misalnya saja Ari lasso menggelar konser dengan personel Dewa 19, sudah pasti penonton akan menunggu penampilan Ari dengan lagu “Kangen” yang dikenal sebagai lagu sepanjang masa.
Sedangkan stand up comedy, merupakan seni yang menuntut kebaruan. Artinya seorang komika akan sulit membawakan materi lelucon atau jokes yang pernah ia bawakan di tempat yang sama dan dengan penonton yang sama pula.
Stand up comedy sendiri memiliki formula dasar set-up punchline. Di mana tugas seorang komika adalah mematahkan asumsi penonton sehingga menimbulkan efek keterkejutan yang dapat membuat tawa.
Selain itu, jika seorang komika ketahuan membawakan materi yang tertulis pada buku 1001 cara mati ketawa ala orang Jepang, bersiaplah untuk tersisih dari panggung stand up comedy. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi para komika selain tetap menyusun jokes dan mencoba membawakannya di panggung open mic.
Di sisi lain, komika baru berdatangan dari berbagai kalangan. Sudah pasti kedatangan komika baru ini akan menjadikan persaingan tersendiri di kalangan komika untuk mendapatkan Gig alias pertunjukkan yang dibayar.
Untuk itu, saya menyarankan kepada para komika untuk mempelajari keterampilan lain seperti menulis, akting, atau apa pun agar tetap survive di tengah gempuran komik baru yang lebih segar. Basic dari stand up comedy sendiri setidaknya menjadi modal bagi komika untuk merambah “dunia lain” selain panggung komedi tunggal.
#2 Stand up comedy adalah hiburan dengan segmentasi terbatas
Raditya Dika pernah mengatakan bahwa stand up comedy bukanlah komedi cerdas, melainkan komedi yang relevan.
Saya pernah liat komika cewek asli Wonosobo di mana ketika manggung ia menggunakan kata “elu-gue” dalam materinya dengan logat Wonosoboan. Alhasil bukan lucu yang didapatkan melainkan penyuluhan yang menjemukan. Selama 3 menit dirinya tampil, tidak ada riuh tawa dari kursi penonton. Padahal tugas utama seorang komika adalah melucu.
Saya juga pernah menonton comic pro sekelas Sammy @notaslimboy yang membawakan stand up comedy dengan durasi selama 1 jam. Namun, selama 40 menit saya dan sebagian besar penonton yang merupakan mahasiswa justru mengantuk saat blio membawakan materi tentang politik. Pecah tawa penonton baru muncul pada 5 menit terakhir saat Sammy menutup penampilannya dengan blues material alias materi porno.
#3 Pertunjukan stand up comedy membutuhkan venue dan crowd khusus
Tentu kita pernah melihat pertunjukan stand up comedy secara outdoor, di mana ada sebagian komika yang berhasil memecahkan tawa dan ada yang ngebom alias garing tanpa tawa sama sekali.
Untuk membuat pertunjukan komedi yang benar-benar profesional, ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi, salah satunya adalah venue. Di mana venue untuk pertunjukkan komedi tunggal ini adalah ruangan yang tertutup, bukan panggung terbuka seperti konser dangdut koplo di alun-alun.
Perihal venue ini tentu bukan tanpa alasan. Bayangkan saja seorang komika tampil secara outdoor dan saat itu ngepasi hujan deras. Hal ini tentu saja akan membuat komika yang tampil harus beradu suara dengan derasnya hujan dan para penonton akan lebih memilih mencari tempat yang teduh daripada fokus pada penampilan komika.
Tempat tertutup ini juga diharapkan dapat memantulkan suara tawa penonton, sehingga jalannya pertunjukkan akan menjadi lebih gerrr.
BACA JUGA 8 Komika Stand Up Comedy Indonesia di SUCI Kompas TV dengan Opening Paling Ikonis atau tulisan Dhimas Raditya Lustiono lainnya.