Wahai, Saudaraku, apakah kamu tersadar di angkringan itu ada makanan nyempil bernama tahu bacem?
Di kota tempat saya tinggal masih banyak dijumpai angkringan. Sungguh bersyukur karena dari angkringan-angkringan itu saya bisa menemukan aneka macam lauk pauk yang bisa mengenyangkan perut. Hanya berbekal kisaran sepuluh ribu rupiah saja, atau kalau lagi pengin-penginnya ya lima belas ribu, saya bisa melewati malam yang panjang tanpa perut yang meronta-ronta.
Tentu kisaran harga itu menyesuaikan dengan model angkringannya. Yang saya maksud di sini angkringan konvensional. Yang penerangannya masih pakai lampu minyak atau yang remang-remang, di pinggiran jalanan, di kampung-kampung. Bukan kafe-kafean yang ngaku-ngaku angkringan. Kafe-kafean karena kopinya tidak senikmat kopi di kafe dan kalau disebut angkringan kok ya isinya sundukan frozen food doang. Udah gitu mahal lagi, es teh kok limang ewu, peok wis. Berbeda dengan prinsip cari lawuh saya, kalau ada yang murah kenapa mesti milih yang mahal.
Walaupun menunya beraneka macam, saya di angkringan cukup bisa untuk menahan hasrat beli-beli lauk agar tidak melebihi budgeting saya. Sepuluh ribu yang saya bawa biasanya menghasilkan satu gelas es teh kampul tiga ribu, dua sego kucing dua ribuan, dan tiga bakaran seribuan untuk menemani sego kucing supaya tidak hambar-hambar amat. Kalau masih belum puas tinggal mesen lagi satu mangkuk Indomie rebus lima ribuan tanpa telur, tapi wajib dikasih irisan lombok.
Kalau sudah di angkringan, yang isinya bermacam-macam itu, kita pasti memiliki menu-menu andalan kita sendiri. Mulai dari minuman macam wedang jahe, wedang uwuh, es teh kampul, kopi, susu, dan wedang tape. Sampai ke makanan macam sego kucing, Indomie, sundukan, gorengan adem, kacang, rambak, puyuh goreng-bakar, dan baceman punya peminatnya masing-masing. Termasuk juga saya, yang sungguh sangat memfavoritkan yang namanya bebakaran.
Saya memfavoritkan bebakaran karena itu adalah ciri khasnya angkringan. Bagi saya, tidak bisa disebut sebagai angkringan kalau tidak menyediakan layanan khusus bagi pelanggan untuk membakar macam-macam lauk yang dibelinya. Saya agak kecewa ketika melihat angkringan yang memakai kompor gas sebagai pemanas ceretnya karena tidak bisa membakar lauk yang saya inginkan. Kalaupun bisa dibakar, rasanya tidak senikmat dan se-aromatik yang dibakar di atas arang sampil dikepet-kepeti bakulnya.
Semua bebakaran hampir saya doyan. Mulai dari model sundukan usus, daging ayam, telur puyuh, brutu, keong, jeroan, sampai model frozen food, dan gorengan adem kalau dibakar apalagi ditambah kecap di atasnya selalu bisa bikin saya ngiler walaupun sebatas melihatnya sekalipun. Saya juga kadang-kadang heran dengan magis kecap ini, kok bisa yah menambah cita rasa nikmat tersendiri bahkan di gorengan adem sekalipun?
Namun, sejauh pengalaman manis-pahit di angkringan ada satu item bebakaran yang menurut saya terpinggirkan padahal nyata-nyatanya itu nikmat luar biasa. Dari sepenglihatan saya item ini jarang dijamah oleh tangan-tangan kelaparan penuh nafsu manusia. Kalaupun diambil itu karena item-item lain sudah habis dan yang tersisa hanya item ini. Item itu bernama tahu bacem dan itu salah satu menu favorit saya sepanjang masa di angkringan.
Saya lihat, tahu bacem di beberapa angkringan yang pernah saya kunjungi tidak pernah dilaporkan habis oleh bakulnya. Kalaupun tidak saya temukan, itu karena lagi kosong atau lagi tidak buat kata si bakul. Bandingkan saja dengan sundukan-sundukan tadi, saya berani bertaruh mereka akan lebih banyak diserbu dan diperebutkan daripada harus mencomot si tahu bacem ini.
Padahal kalau dilihat-lihat juga cukup sexy nan menggoda untuk dilahap. Apalagi kalau tahunya terlihat juicy dan terlihat bercak-bercak sisa bumbu di badannya itu. Harganya dibanding dengan sate usus atau telur puyuh juga lebih murah, beda seribu bahkan lebih di bawah harga mereka. Apalagi kalau dibelah dua, dikecapi lalu dibakar sampai rada-rada gosong, waduh hyung wenake pol. Maka dari itu tahu bacem sering jadi menu andalan saya menemani melahap sego kucing. Kok ya bisa-bisanya diabaikan orang. Ndak habis pikir saya itu.
Namun, lama-kelamaan pikiran saya itu mulai tersadar saat mendapati tahu bacem yang nggak banget. Di beberapa kesempatan di angkringan yang lain, saya mendapati tahu bacem yang bau dan rasanya kecut-kecut gimana gitu setelah dibakar. Padahal dilihat sepintas juga tetap menggoda nafsu makan. Lain waktu saya juga mendapati tahu bacem yang hambar, blas nggak ada rasa manis-manis khas baceman, padahal sekali lagi kalau dilihat ya itu tahu bacem. Lalu ada juga yang keasinan, wah bacem kok asin, sudah murtad dari kodratnya ini.
Perlahan-lahan saya paham. Mungkin inilah mengapa banyak orang yang mengabaikan bacem. Mereka tidak ingin dikecewakan oleh kenampakan luarnya. Tidak mau bertaruh membuat lidah-lidah mereka meludah-ludah karena rasa yang “variatif” itu. Tidak seperti sundukan yang saya kira semua rasanya seragam di segala angkringan, tahu bacem memiliki keanekaragaman rasanya sendiri sehingga sering dipinggirkan dan diabaikan. Saya pun paham kalau dalam dunia perbaceman tidak sembarang jenis tahu dan tidak sembarang bumbu bisa kita buat jadi tahu bacem. Perlu jenis tahu dan racikan yang pas untuk menjadikan baceman sesuai ekspektasi kita.
Namun, meskipun tak sepopuler jenis bebakaran lain, sekali kita menemukan dan mendapati tahu bacem yang cocok. Camkan! Tahu bacem yang dimasak dengan pas tak pernah mengkhianati lidah kita sama sekali.
BACA JUGA Kemampuan Terpendam Bakul Angkringan Adalah Jadi Pendengar yang Baik bagi Pelanggan dan tulisan Kevin Winanda Eka Putra lainnya.