Siapa sangka di Blora ada beberapa kecamatan dengan nama yang terdengar aneh dan bikin orang heran.
Pernah nggak mendengar nama tempat yang bikin kamu bakal berpikir dua kali, ini beneran nama daerah atau cuma guyonan? Fenomena seperti ini sebenarnya bukan hal aneh di Indonesia. Wajar saja, karena negeri kita punya kekayaan bahasa yang luar biasa. Setidaknya ada lebih dari 718 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Dengan keragaman itu, bukan hal yang mengejutkan kalau tiap daerah punya cara unik dalam menamai wilayahnya. Kadang memang akan terdengar aneh, asing, atau bahkan lucu bagi yang baru pertama kali mendengarnya. Tetapi tentu saja di balik nama-nama itu pasti ada makna dan nilai filosofis yang menyertai.
Hal serupa juga bisa kamu temukan di Kabupaten Blora. Di sini, ada beberapa nama kecamatan yang saya rasa sukses bikin orang awam salah paham atau bahkan senyum heran saat mendengarnya. Dalam artikel ini, saya akan memperkenalkan kecamatan-kecamatan tersebut. Semoga bisa jadi bahan rujukan agar kalian nggak gagal paham jika suatu saat diajak kenalan dengan orang Blora.
#1 Kecamatan Cepu, bukan daerah bagi orang Blora yang suka nipu
Bagi kamu yang sering naik kereta rute Jakarta–Surabaya, nama Cepu pasti sudah nggak asing lagi sebagai salah satu stasiun penting di perjalanan tersebut. Tetapi jangan langsung mengaitkan nama ini dengan lagu “Cepu” dari Dhyo Haw yang bercerita tentang teman munafik yang bersikap manis di depan, ya.
Di luar konteks daerah asalnya, kata “Cepu” kerap dipakai dalam bahasa sehari-hari, terutama di Jabodetabek, untuk menyebut seseorang yang suka melapor atau “mengintip”. Tetapi di Blora, Cepu bukan sekadar kata dengan konotasi buruk seperti itu. Cepu adalah sebuah kecamatan yang punya makna dan sejarah yang jauh lebih bersinar diantara kecamatan lain di Kabupaten Blora.
Kecamatan Cepu sendiri dikenal sebagai salah satu pusat ekonomi penting di Blora, terutama karena keberadaan sumber daya minyak bumi yang menjadi andalan daerah ini sejak lama. Nama Cepu di sini membawa kebanggaan tersendiri bagi masyarakat lokal, jauh dari arti negatif yang sering terdengar di luar sana. Jadi, meskipun nama ini dipopulerkan juga lewat lagu Dhyo Haw dengan makna berbeda, di Blora, Cepu adalah simbol kehidupan dan identitas yang sangat kuat.
#2 Kecamatan Sambong, bukan berarti isinya warga Blora yang sombong
Agar tidak salah paham, nama kecamatan ini memang Sambong, bukan sombong, ya! Kecamatan ini terletak cukup dekat dengan Cepu, hanya butuh sekitar 10–15 menit perjalanan menggunakan motor. Walaupun Cepu lebih dikenal luas, ternyata minyak bumi pertama kali ditemukan justru di Kecamatan Sambong, tepatnya di Desa Ledok. Sayangnya, fakta penting ini sering terlupakan atau kurang mendapat perhatian.
Desa Ledok sendiri merupakan salah satu lokasi ladang minyak tertua di dunia. Sejarahnya bermula sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia pada sekitar tahun 1870-an. Setelah melewati beberapa pergantian kekuasaan, eksplorasi Blok Cepu akhirnya dilakukan oleh perusahaan Royal Dutch/Shell DPM (Dordtsche Petroleum Maatschappij) sebelum Perang Dunia II.
Dahulu, konsesi minyak di daerah ini dikenal dengan nama Panolan. Sumur Ledok-1, yang dibor pada Juli 1893, menjadi sumur minyak pertama di kawasan Blora. Jadi, meskipun namanya belum sepopuler Cepu, Kecamatan Sambong sebenarnya punya peranan penting dalam sejarah panjang industri minyak di Blora.
#3 Kecamatan Randublatung tidak jadi sarang belatung
Mendengar nama Kecamatan Randublatung, mungkin langsung terbayang tempat yang penuh dengan belatung—serangga yang identik dengan sesuatu yang menjijikan dan kotor. Tapi jangan salah, daerah Randublatung justru memiliki pesona hamparan lahan pertanian yang menyejukan.
Randublatung juga menempati posisi kecamatan terluas di Kabupaten Blora dengan luas wilayah mencapai 211,13 kilometer persegi, terdiri dari 16 desa dan 2 kelurahan. Selain dikenal dengan kekayaan alamnya, daerah ini juga merupakan salah satu titik penghasil minyak di Blok Cepu yang cukup penting.
Akan tetapi sejarahnya tidak selalu mulus. Pada tahun 2002, pernah terjadi ledakan di salah satu sumur minyak di Randublatung yang proses pemadamannya memakan waktu lebih dari dua bulan. Meski begitu, Randublatung tetap menjadi bagian vital dalam perekonomian dan kehidupan masyarakat Blora.
#4 Kecamatan Kunduran, tak melulu mundur
Mendengar nama “Kunduran”, mungkin yang terlintas di pikiran adalah ajakan untuk mundur pelan-pelan. Tapi jangan salah sangka dulu, kecamatan ini justru menyimpan banyak cerita dan potensi yang patut diperhitungkan. Terletak di ujung barat Kabupaten Blora dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Grobogan, Kunduran dikenal sebagai daerah agraris dengan hamparan sawah dan ladang yang subur. Letaknya yang strategis membuatnya menjadi salah satu jalur penting penghubung Blora dengan daerah sekitar.
Selain kaya akan potensi pertanian, Kunduran juga punya nilai sejarah yang tidak kalah penting. Kecamatan ini adalah tempat kelahiran Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo, tokoh nasional yang mengusulkan Petisi Soetardjo pada tahun 1936, sebuah langkah penting perjuangan diplomasi menuju kemerdekaan Indonesia. Jadi, meski namanya sering bikin orang geleng-geleng kepala, Kunduran sebenarnya punya kontribusi besar baik dalam sejarah dan kehidupan sosial di Kabupaten Blora.
#5 Kecamatan Kedungtuban bukan cuma kubangan
Nama “Kedungtuban” sekilas memang terdengar cukup nyeleneh. Dalam bahasa Jawa, “kedung” berarti cekungan atau kolam alami, dan “tuban” bisa diartikan sebagai tempat berkumpulnya air. Wajar kalau orang luar mengira daerah ini penuh kubangan.
Meski namanya begitu, Kecamatan Kedungtuban punya sisi menarik yang jauh dari kesan kumuh. Terletak di bagian selatan Kabupaten Blora, kecamatan ini dikenal sebagai salah satu wilayah pertanian yang cukup subur dan menjadi lumbung pangan penting di daerah tersebut.
Menariknya, Kedungtuban juga punya sejarah panjang di dunia perminyakan. Di Desa Ngraho, tepatnya Dusun Kedinding, terdapat sumur tua peninggalan Belanda yang sempat beroperasi hingga tahun 2015. Sumur ini merupakan bagian dari warisan industri minyak yang menjadikan Blora dikenal sebagai salah satu titik eksplorasi migas penting di Jawa Tengah. Meskipun kini aktivitasnya sudah menurun, lokasi ini tetap menyimpan jejak sejarah yang tidak bisa dipandang sepele.
Namun kalau soal jalan menuju Kedungtuban, nah, di sinilah mungkin makna “kubangan” akan terasa sedikit relevan. Beberapa ruas jalan yang rusak di kecamatan ini saat musim hujan bisa berubah menjadi genangan, cukup untuk membuat para pengendara berhati-hati ekstra. Tapi semoga saja kondisi jalan rusak ini segera diperbaiki agar tidak mengurangi nilai strategis dan potensi besar yang dimiliki Kecamatan Kedungtuban.
Itulah beberapa kecamatan dengan nama unik di Blora. Meski terdengar aneh, sebenarnya kecamatan-kecamatan di atas menyimpan potensi dan sejarah yang tak kalah membanggakan. Ini membuktikan pepatah “don’t judge a book by its cover” benar-benar pas untuk mulai diterapkan dalam melihat segala sesuatu. Termasuk saat mendengar nama-nama daerah yang nyeleneh sekalipun.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Blora, Tempat Tinggal Terbaik untuk Orang Bergaji Pas-pasan yang Mendambakan Slow Living.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















