5 Hal yang Tidak Ditemukan di Malioboro Jogja. Baca Ini Sebelum Berkunjung!

5 Hal yang Tidak Ditemukan di Malioboro Jogja. Baca Ini Sebelum Berkunjung!

5 Hal yang Tidak Ditemukan di Malioboro Jogja. Baca Ini Sebelum Berkunjung! (Pixabay.com)

Apa yang terlintas di otak ketika mendengar nama “Jogja?” Pasti Malioboro. Kalau yang terlintas adalah mantan, mending Anda cuci muka.

Malioboro memang jadi landmark utama Jogja. Lokasinya benar-benar di jantung kota, dan punya keunikan yang istimewa. Tentu destinasi wisata utama sekelas Malioboro punya segala yang dicari dan dibutuhkan wisatawan.

Ternyata nggak juga. Ada banyak hal yang tidak dimiliki Malioboro. Maka sebelum mengunjungi jalanan sepanjang dua kilometer ini, Anda harus tahu apa saja yang tidak ada di jalan ini. Daripada Anda overestimate dan berakhir kecewa pada sepenggal jalan penuh cita, cinta, dan lara ini.

Tidak ada toilet umum yang layak di Malioboro Jogja

Sebagai destinasi wisata utama, tentu Malioboro menyediakan toilet umum yang cukup dan layak. Harusnya sih gitu. Tapi, kenyataan berkata lain.

Meskipun ada ribuan orang wira-wiri setiap hari, Malioboro malah minim fasilitas vital ini. Tidak ada fasilitas toilet umum dan layak selain harus numpang masjid atau pusat perbelanjaan.

Pada akhirnya, banyak orang buang air sembarangan di jalan yang harusnya romantis ini. Bahkan sampai memunculkan mitos gang bertaburan bunga makam demi mengusir tukang kencing sembarangan.

Toilet umum layak yang bisa ditawarkan hanya ada dua: di Taman Parkir Abu Bakar Ali dan depan Bank Indonesia. Keduanya ada di ujung Malioboro. Jadi sebelum Anda mengunjungi Malioboro, saya sarankan untuk buang air besar dan kecil dulu. Malioboro memang memanjakan mata Anda, tapi tidak memanjakan kandung kemih dan rektum yang penuh dan muntup-muntup.

Tidak ada tempat parkir di sepanjang jalan Malioboro Jogja

Yang di bayangan Anda pasti kira-kira begini: sebagai landmark Jogja, Malioboro pasti punya akses yang nyaman.

Ah, hentikan mimpi itu. Akses menuju pusat kota Jogja ini cukup ruwet dan macet. Tapi yang lebih menyebalkan adalah perkara tempat parkir. Sepanjang jalan Malioboro memang steril dari lahan parkir. Beberapa pusat perbelanjaan memang menyediakan  tempat parkir. Tapi tentu jadi prioritas pengunjung pusat perbelanjaan tersebut.

Ada sih lahan parkir di dua ujung Malioboro, tapi jauh dan terbatas. Yang cukup dekat adalah parkiran liar. Tentu dengan konsekuensi dari harga mahal sampai risiko rusak dan hilang. Lagipula, tentu Anda tidak mau memelihara praktik ilegal ini kan?

Tidak ada PKL yang dulu jadi ciri khas

Salah satu nilai jual Malioboro Jogja pada masanya adalah jejeran PKL di sepanjang trotoar. Para penjaja oleh-oleh ini membuat “terowongan Malioboro” punya nuansa ala bazaar. Dari kaos, gantungan kunci, sampai miniatur becak yang bisa digenjot ada di sini. Tentu harganya terjangkau dan bisa ditawar. Sebuah keunikan melihat pedagang dan pembeli saling bertahan dalam proses tawar menawar.

Tapi kisah ini tinggal kenangan. Para PKL telah direlokasi di Teras Malioboro yang berlokasi di masing-masing ujung jalan legendaris ini. Yah, harganya masih sama-sama terjangkau dan bisa ditawar. Tapi nuansa yang memorable tadi kini hanyalah cerita lama.

Tidak ada kesenian rakyat seperti era Rendra

Jika Anda berpikir Malioboro Jogja hanyalah sentra belanja oleh-oleh, Anda salah. Malioboro adalah tanur seni yang memproduksi banyak insan luar biasa. Sebut saja Umbu Landu Paranggi, WS Rendra, sampai Cak Nun. Trotoar Malioboro Jogja pernah jadi panggung seni rakyat yang artistik dan juga progresif. Pernah ya, karena kini sudah tidak ada lagi. Panggung seni ini kini direnggut oleh birokrasi dan seni yang “lebih terstruktur.” Biasa, dalihnya adalah kerapian sesuai dengan keinginan segelintir pemangku jabatan.

Dulu model panggung rakyat ini pernah bangkit ketika seniman angklung aktif beraksi di beberapa titik trotoar. Namun kini dilarang karena dinilai bukan budaya Jogja. Yah, saya pikir alasan ini agak memaksakan, karena Jogja adalah rumah bagi berbagai seni dan budaya, dari lokal sampai internasional.

Mungkin yang dianggap seni Jogja hanyalah pawai, flashmob, royal orchestra, dan hip-hop Jawa. Kalau yang lahir dari geliat seni dan bertahan hidup rakyat, itu bukan seninya Jogja.

“Tidak ada kemiskinan di sepanjang sumbu filosofis”

Kenapa saya beri tanda kutip? Karena yang bilang bukan saya. Tapi Pemda Jogja yang berjanji tidak ada kemiskinan di sepanjang sumbu filosofis, termasuk Malioboro. Sebuah janji yang indah dan penuh harapan. Dan pastinya, janji ini akan ditepati oleh para pemangku jabatan di daerah istimewa ini.

Nggak usah bicara masalah korban PHK massal, tunawisma yang tidur di teras toko, dan tukang becak meninggal mengenaskan di sekitar Malioboro. Sebab, memang tidak ada kemiskinan di sepanjang landmark Jogja ini. Ada perputaran uang milyaran setiap musim liburan. Ada bisnis yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Kalau yang tragis-tragis tadi, Cuma bumu realitas Jogja yang nggatheli saja. Pokoknya tidak ada kemiskinan di sepanjang sumbu filosofis, terutama Malioboro!

Itulah hal-hal yang tidak ada di Malioboro Jogja. Sebelum berkunjung, pikir lagi. Saya sih, nggak ada kata-kata melarang ya. Jadi jangan dipelintir. Tapi ya, hal-hal ini juga perlu dipikirkan sih.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Wajah Baru Jalan Malioboro dan Mereka yang Merasa Kehilangan Hal Berharga

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version