Tahun lalu, saat saya masih berstatus mahasiswa (akhir), saya sering bilang ke adik tingkat yang galau mikirin tugas kuliah, “Apa yang kamu rasakan sekarang belum ada apa-apanya dengan yang namanya skripsi.” Tapi setelah saya lulus, ternyata skripsi itu hanya bagian kecil dari drama kehidupan manusia. Mungkin jika bertemu dengan adik tingkat saya yang masih galau skripsi, saya akan bilang pada mereka, “Skripsi itu hanya soal berhadapan dengan draft dan dosen, kalau udah lulus kamu harus berhadapan dengan kejamnya kehidupan yang sesungguhnya.
Mengerjakan skripsi itu emang bikin dilema. Mau cepat-cepat lulus, setelahnya nggak tahu mau ngapain. Mau menunda lulus, dikira kuliah gratis! Tapi lebih buruknya seperti saya ini, udah lulus lama, setelah lulus masih bingung mau ngapain. Jika dulu saat mahasiswa kami-–saya dan teman-teman seangkatan-–punya jargon “kuliah susah nggak kuliah payah, huh!” saat ini jargonnya berubah menjadi, “cari kerja susah, nggak cari kerja payah, hem hem”.
Skripsi memang menakutkan, apalagi jika harus berhadapan dengan dosen yang entah kenapa sering berubah jadi voldemort ketika dibayangkan, tapi ketika sudah lulus kamu akan merindukannya. Iya, nggak logis memang dipikirkan ketika masih berjuang menyelesaikan skripsi, tapi itu saya rasakan sendiri. Setidaknya ada 5 hal yang saya rindukan dari skripsi.
Bangun pagi demi jawaban, “Bapak sibuk hari ini.”
Sebagai pengangguran (saat ini), tentu saya punya banyak waktu luang yang saya habiskan dengan rebahan, makan, rebahan lagi, makan, rebahan lagi sampai ketiduran dan merindukan bisa bangun pagi itu hal yang wajar. Apalagi bangun pagi dengan semangat, “Pasti dapat ACC hari ini.” Jelas sensasinya jauh berbeda dibandingkan hanya rebahan.
Meski akhirnya sering kecewa dengan jawaban dosen yang nggak jauh-jauh dari kalimat, “Bapak sibuk hari ini,” atau, “besok aja bimbingannya,” atau palingan mentok, “taro draft di meja Bapak,” yang ujungnya sampai berminggu-minggu nggak dikoreksi. Emang sih saat menjalaninya kamu bisa ngomel, “nggak bakal gue kangen skripsi,” tapi yakinlah ada saatnya kamu bakal kangen skripsi, kalau nggak percaya cobalah jadi pengangguran selama satu tahun!
Nunggu dosen sembari ghibah
Menunggu dosen dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore itu bukan waktu yang sebentar dan nggak mungkin jika hanya dihabiskan dengan duduk-duduk di depan ruangan dosen, pada akhirnya mahasiswa-–saya dan teman-teman saya, khususnya-–akan duduk membentuk lingkaran atau bergerombol dan berujung ghibah. Kami tahu ghibah itu sama seperti memakan saudara sendiri, tapi menghindari ghibah itu hal yang mustahil terlebih dengan suasana yang menyebalkan, membosankan dan nggak ada kerjaan.
Target utama ghibah mahasiswa tentu saja dosen. Mulai dari pengalaman mahasiswa saat bimbingan sampai hal-hal yang nggak bisa ditulis di sini dan pada akhirnya kegiatan ini jadi hal yang sangat dirindukan ketika lulus. Sampai setiap kali chat dengan teman per-ghibah-an akan memulainya dengan, “tau nggak sih…” yang artinya kalimat pembuka ghibah. Halo teman-teman per-ghibah-an, I miss you so much!
Sensasi pejuang deadline
Sistem SKS alias Sistem Kebut Semalam bukan sesuatu yang langka di dunia mahasiswa. Termasuk saya, apalagi pada saat mengerjakan skripsi. Rasanya nggak SKS nggak akan afdhol. Saya pernah mencoba mengerjakan skripsi jauh-jauh hari sebelum jadwal bimbingan dan ternyata tidak membuahkan hasil. Tidak ada satupun ide muncul di kepala saya.
Berbeda ketika saya mengerjakan mepet deadline: jadwal bimbingan jam 9 mulai mengejakan jam 6 pagi, pasti seketika ide-ide cemerlang yang awalnya entah sembunyi dimana tiba-tiba bermunculan. Entah karena dipacu oleh adrenalin yang membuat mau nggak mau harus selesai, tapi sensasinya itu lho nggak akan kamu rasakan jika sudah lulus (dan pengangguran). Rasanya kayak biasanya punya pacar yang bikin posesif lalu tiba-tiba jomblo.
Turun berat badan karena beban pikiran
Saya tidak bilang menjadi pengangguran tidak punya beban pikiran, tapi beban pikiran saat jobless nggak akan membuat kehilangan berat badan seperti saat sedang skripsi dan ternyata bukan hanya saya yang mengalaminya. Teman-teman saya juga mengeluhkan hal yang sama: berat badan terus naik padahal jarang makan dan ternyata ini jadi hal yang dirindukan dari skripsi. Mungkin suatu saat harus ada yang meneliti hubungan turun berat badan dengan skripsi.
Ketika pertanyaan hanya sekadar, “Kapan lulus?” belum, “Kapan nikah? Mana calonnya? Kok masih sendirian?”
Sejak lulus, mendadak ketemu tetangga menjadi hal yang paling dihindari. Kumpul-kumpul keluarga menjadi hal yang harus dilewati. Apalagi jika bukan karena pertanyaan-pertanyaan, “Kapan nikah? Kapan lamaran si itu sudah lamaran? Mana calonnya kok masih sendirian, jomblo ya? Makanya cari calon itu jangan ketinggian.”
Bukannya tidak bisa menjawab, tapi berdasarkan pengalaman pertanyaan itu hanya akan mengantarkan pertanyaan selanjutnya dan paling mentok bisa dijawab dengan, “Doakan saja.” Saat mengalami hal itu, yakinlah kamu akan merasa pertanyaan ‘kapan lulus’ yang sering dilontarkan teman, adik tingkat, keluarga sampai tetangga julid hanya sepersekiannya pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mungkin hanya bisa berakhir dengan pertanyaan, “Kapan mati?”
Meski kenyataannya setelah lulus nggak akan membebaskanmu dari beban hidup, tapi lulus dari kuliah tetap menjadi tanggung jawab. Mau dihindari dan ditunda, tetap saja pada akhirnya harus dihadapi dan dilewati. Nggak mungkin kan perjuangan kuliah selama 3,5 tahun harus tumbang dan nggak lulus karena skripsi.
BACA JUGA Buat Mahasiswa Unesa yang Sedang Galau karena Skripsi Dihapus atau tulisan Desi Murniati lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.