Saya seorang perempuan Bugis. Sejak 13 tahun yang lalu, saya menikah dengan lelaki dari etnis Minangkabau, Sumatera Barat. Selama pernikahan itu, banyak kejutan yang saya temukan. Budaya orang Minang yang berbeda bikin saya terkejut alias cultural shock. Mau tidak mau, saya harus beradaptasi.
Disclaimer dulu ya, ini bukan dalam rangka menjelekkan orang Minang. Justru tulisan ini memberikan pengetahuan buat kalian yang kepikiran menikah dengan orang suku lain. Tradisi dan budaya suku atau daerah lain perlu dipahami agar bisa membuat kita saling memahami. Indonesia kan kaya akan suku dan budaya, kalau nggak saling mengerti dan memahami, terus buat apa kekayaan itu dibanggakan, ya nggak?
Berikut beberapa perbedaan yang saya temukan.
Kebiasaan makan dan memasak yang berubah total
Pertama, kebiasaan saya makan ketan pakai kelapa parut yang diberi garam sedikit atau ketan pakai ikan asin dan sambal. Di Minang, orang makan ketan pakai pisang goreng dan durian/duren. Saya makan pisang goreng pakai sambal atau pisang goreng pakai campuran margarin dan gula pasir diaduk jadi pasta. Ini yang aneh siapa sebenarnya?
Kedua, di Minang, minuman teh itu dibuat dengan cara bubuk teh dimasak bersama air dan gula sampai mendidih, lalu disaring. Kebiasaan saya teh itu dimasukkan ke saringan, disiram air panas di gelas berisi gula. Tinggal aduk, minum.
Ketiga, penggunaan ulekan. Di kampung saya, untuk ulekan kami memakai lesung batu yang dalam. Di kampung suami, ulekan yang dipakai adalah yang datar kayak buat gado-gado dan anak batunya oval kayak buah mangga. Sementara, saya terbiasa menggiling cabe atau bumbu masak dengan ditumbuk.
Keempat, olahan daun-daunan. Bagi saya daun kunyit itu ya hanya daun. Di Minang, daun kunyit itu ya bumbu dapur untuk masak gulai dan rendang, campuran untuk telur dadar dan Indomie. Demikian juga daun jeruk, dan daun-daun lainnya bisa menjadi bumbu masakan, kecuali daun pintu.
Kelima, penggunaan jenis cabe. Sebelum menikah, saya hanya mengenal cabe rawit setan dan lombok besar warna merah dan hijau. Di Minang, cabe harus keriting, mereka tak terima cabe yang di-rebonding.
Perlakuan ke anak dan peran suami yang jauh lebih besar
Pertama, anak saya dianggap anak oleh saudara-saudara suami. Saat anak saya lahir, di keluarga saya, anak itu ya anak kandung saya, dan keturunan saya. Saudara-saudara saya ya menganggapnya hanya keponakan saja. Di Minang, beda tradisi. Anak saya itu ya anak mereka. Jadi kalau anak saya menikah nanti, ya itu anak mereka yang akan menikah. Saya hanya sekadar sebagai ibu kandung saja.
Kedua, peran suami yang lebih besar. Suami saya tak hanya jadi ayah anak saya, tapi juga saudaranya. Di Minang, peran suami jadi lebih besar, jadi bapak bagi seluruh keponakannya.
Jenis panggilan atau sapaan
Pertama soal sapaan kepada keluarga. Di kampung saya, cukup saya menggunakan panggilan om/tante bagi saudara ibu atau bapak saya yang laki-laki atau perempuan. Sementara anak saya yang berayah seorang Minang jauh lebih repot memanggil om/tante nya dari pihak suami saya. Dia harus menghafal nama atau panggilan untuk omnya yang nomor dua, tantenya yang nomor tiga, omnya yang nomor empat, dan tantenya yang nomor lima.
Lalu bagaimana dengan kakek dan neneknya? Ya, pasti berbeda juga. Kakeknya dipanggil Kakek Atuk, neneknya dipanggil Iyak. Ibunya Nenek juga beda. Ada yang dipanggil Uci’ dan Inyiak. Oleh karena saya tidak cukup sering mudik, sampai saat ini saya sering lupa nama sapaan itu.
Kedua, penggunaan gelar suami. Bayangkan, ibu saya mengenal nama suami saya dengan nama aslinya. Lalu, setelah ia menjadi mertua dari suami saya, ibu saya tak boleh lagi memanggil suami saya dengan nama aslinya tapi harus dengan gelar. Ketika ibu saya keceplosan memanggil nama asli, tentu itu pelanggaran bagi suami dan keluarga besarnya. Repotnya bagi ibu saya yang sering lupa, saya pun harus sering-sering memberi kode keras untuk ibu dan bapak saya saya saat mereka ingin memanggil menantunya itu.
Panggilan uni
Bersuamikan orang Minang, Anda otomatis akan dipanggil uni. Ketika saya berkunjung ke pasar, saya dan suami pasti berjumpa dengan perantau Minang. Pedagang yang bercakap-cakap dengan suami saya menggunakan bahasa Minang spontan menyapa saya dengan panggilan “uni”. Otomatis. Di lapak berikutnya lanjut uni lagi, uni lagi.
Bagi orang Minang, bersuamikan orang Minang ya harus langsung lebur dengan budaya mereka. Jadi, sebagai istri Anda harus menjadi pembelajar cepat untuk menyesuaikan diri dalam budaya itu, termasuk kalau Anda dipanggil uni-uni di jalan.
Beras
Saya yang terbiasa makan aneka beras sejak menikah tak dapat lagi menikmati kepulenan nasi-nasi lain. Yang ada hanya beras pera. Ketika ke pasar, orang hanya tahu bahwa beras pera itu dijual khusus untuk pedagang nasi goreng. Ketika saya beli dengan alasan untuk konsumsi makan setiap hari, mereka kaget. Dikira saya pedagang nasi goreng.
Beras pera itu teksturnya keras, dan ketika Anda masuk di RM Padang ya nasinya pasti nggak nempel-nempel amat kayak prangko tapi biasanya agak berserak-serak tapi tidak selekat si pulen. Namun, ada juga RM Padang yang mau mengakomodir selera orang-orang di luar Minang dengan cara mencampur si pulen dan si pera. Nah, kalau di rumah saya ngga ada toleransi, ya harus si pera saja.
Ini baru satu lelaki Minang. Barangkali akan ditemukan kejutan-kejutan lain yang berbeda jika Anda bersuku di luar Minang kebetulan menikah dengan lelaki Minang lainnya. Tapi, saya yakin, suku lain pun punya hal-hal mengejutkan yang bikin orang lain kaget.
BACA JUGA Panduan Pesan Makan di RM Padang Pakai Bahasa Minang. Terminal Mulok #08