Dua minggu lalu saya melihat Comedy Sunday (acara komika Surabaya) dengan bintang tamu Wali Kota Surabaya beserta wakilnya. Acara tersebut secara khusus ditujukan untuk nge-roasting orang nomor satu di Surabaya, yaitu Eri Cahyadi.
Kalau saya lihat sih Cak Eri (beliau enggan dipanggil Pak, ya) sangat santai, nggak tersinggung, dan tetap hahahihi menerima roastingan komika yang membahas dosa-dosa dan gaya kepemimpinannya selama menjadi Wali Kota Surabaya.
Nah, melihat Cak Eri yang nggak tersinggungan (orang Suroboyo kalau tersinggungan justru wagu), saya merasa perlu untuk menambahkan dosa-dosa Wali Kota Surabaya yang belum disinggung dalam acara Comedy Sunday.
Bukan mau menjadi hater, tapi saya nyaris yakin kalau Cak Eri bakal kembali menjabat Wali Kota Surabaya lima tahun ke depan karena lawannya di Pilkada mendatang hanya benda mati bernama kotak kosong. Oleh karena itu, penting kiranya untuk menulis dosa-dosa pada periode pertama supaya bisa diperbaiki pada periode berikutnya. Tentu saja kalau beliau berhasil mengalahkan kotak kosong.
Baiklah, nggak usah fafafufu waswos lagi, mari kita simak daftar dosa Wali Kota Surabaya saat ini.
Daftar Isi
#1 Membuat Peraturan Wali Kota No. 70 Tahun 2024 tentang reklame
Dosa pertama dan masih hangat diperbincangkan warga Surabaya adalah lahirnya Peraturan Wali Kota tentang penyelenggaraan reklame. Peraturan tersebut mengizinkan kawasan hijau Surabaya dipasang reklame.
Jadi begini, wali kota sebelumnya, Tri Risma, selama dua tahun kepemimpinannya berusaha keras untuk menjadikan Surabaya sebagai green city atau kota hijau. Upaya tersebut bisa dilihat dari banyaknya jumlah taman, penanaman pohon di hampir semua jalan protokol, pengolahan sampah, hingga bus yang didesain ramah lingkungan (menerima sampah). Beliau juga melarang pemasangan reklame di kawasan hijau.
Surabaya yang awalnya hanya dikenal sebagai Kota Pahlawan, mulai memiliki identitas tambahan, yaitu kota hijau dan ramah lingkungan. Deretan pohon di jalan protokol dan kawasan hijau itulah yang menjadi identitas dan pembeda antara Kota Surabaya dengan Jogja, Semarang, Ternate, dan kota-kota besar lainnya.
Jika reklame akhirnya boleh dipasang di kawasan hijau, pohon yang hijau, sejuk, dan telah menjadi identitas Surabaya sebagai kota hijau tersebut akan hilang. Pohon-pohon di Jalan Ahmad Yani, Jalan Darmo, dan kawasan hijau lainnya akan berganti dengan barisan reklame warna-warni yang merusak mata.
Jika Pemkot ngebet menambah pendapatan, di Surabaya masih banyak space yang belum dimanfaatkan untuk iklan. Misalnya saja di livery Suroboyo Bus, di gedung-gedung pemerintahan, atau di JPO.
Nggak perlu mengorbankan kawasan hijau, soalnya hiburan kami saat jalanan Surabaya macet hanya pohon-pohon tersebut, Cak. Kalau jalan di Surabaya diisi dengan reklame, kami bisa stres. Sudahlah macet, melihat jalan isinya iklan, eh, di lampu merah masih harus dengar Cak Eri ceramah juga. Budrek, Cak!
#2 Banyak jalan rusak di Surabaya, yang diperbaiki jalan protokol saja
Surabaya memiliki jalan yang lebar dan nyaris semuanya sudah diaspal, termasuk jalan yang menuju perkampungan. Sayangnya, kualitas pengaspalan jalan di Kota Pahlawan masih buruk. Ada banyak jalan seperti Jalan Jagir, Jalan Ketintang, Jalan Margomulyo, dan masih banyak jalan lain yang statusnya bukan jalan protokol, aspalnya nggak rata dan berlubang.
Kondisi jalan rusak di Surabaya sudah dikeluhkan warga Surabaya sejak Cak Eri pertama kali menjabat sebagai Wali Kota. Sayangnya, jalan yang sering diperbaiki hanya di Jalan Ahmad Yani atau jalan protokol. Mentang-mentang jalan protokol banyak dilewati wisatawan, itu-itu terus yang diperhatikan.
Padahal rumah Wali Kota Surabaya itu di belakang kampus Unesa, lho. Bisa-bisanya Jalan Ketintang depan kampus Unesa bergelombang. Sepertinya mobil Cak Wali Kota ini bagus, makanya nggak terasa saat melewati jalan bergelombang.
#3 Pecah Kartu Keluarga (KK) harus pisah rumah
Fenomena setiap kartu keluarga (KK) harus memiliki rumah sebenarnya program yang bagus. Masalahnya, kalau hanya meminta warga pindah rumah, tapi harga rumah di Surabaya dibiarkan mahal ya bukan solusi namanya, tapi menyusahkan warga.
Apalagi dalam prosesnya, NIK warga langsung diblokir “suka-suka” Dispendukcapil Surabaya. Lho, yak opo, seh? Masa setelah pulang dari luar kota NIK warga tiba-tiba diblokir. Jangan terlalu kejam dengan rakyat kecil lah.
Jika pemimpin ingin warga tertib, ada baiknya lihat dulu akar masalahnya. Semua orang Surabaya pasti ingin memiliki rumah sendiri ketika sudah berumah tangga, tapi nggak semua keluarga memiliki privilese langsung dapat KPR rumah, Cak.
Daripada memblokir NIK warga yang kedapatan ada maksimal 3 KK dalam satu alamat (rumah), gimana kalau Wali Kota Surabaya dan developer bekerja sama membuat perumahan murah dengan cicilan yang pas untuk sobat UMK Surabaya. Kalau gaji ngepas UMK Rp5 juta diminta membeli rumah di Surabaya yang rata-rata Rp1 miliaran yo nggak kuat nu, Cak.
#4 Bongkar pasang box culvert dan saluran air
Semua warga Surabaya sebenarnya kesal, tapi bingung harus marah ke siapa ketika melihat proses pembangunan saluran air (box culvert) yang terkesan tumpang tindih. Kami paham, pembangunan box culvert ini agar Surabaya bebas banjir. Tapi, mbok ya proses pembangunannya memperhatikan kepentingan rakyat juga. Jangan ngawur dan asal-asalan. Mosok materialnya ditinggal, digeletakkan di pinggir jalan hingga bikin macet.
Nggak hanya itu, pembanguan saluran air ini bolak-balik, nggak efisien. Misalnya di Jalan Ngagel. Pertama-tama katanya memperbaiki jalan, sudah diaspal bagus, lalu aspal yang bagus tersebut dibongkar lagi karena mau memasang box culvert. Setelah dipasang box culvert, sekarang di jalan yang sama dibongkar lagi nggak tahu untuk membangun apa. Yang jelas ada bego sedang beroperasi di Jalan Ngagel tersebut.
Maksud saya, memangnya nggak koordinasi dulu antar-departemen, supaya pembangunan jalan dan saluran air di Surabaya bisa sinergi dan nggak bongkar pasang sehingga jalanan nggak macet lama, plus bisa menghemat anggaran karena sekali jalan?
#5 Wali Kota Surabaya saat ini kurang berpihak pada transportasi umum
Kota Surabaya memang sudah memiliki Suroboyo Bus, Trans Semanggi, dan feeder Wirawiri. Namun, transportasi umum di Kota Pahlawan masih jauh dari merata, bahkan halte busnya masih banyak yang ala kadarnya. Mosok ada halte yang mepet dengan rel kereta, kalau penumpang turun malam dan belum terbiasa dengan daerahnya bisa langsung keserempet kereta, Cak.
Cak Wali Kota saat ini masih belum berpihak dengan transum, terbukti dari jumlah anggaran transum di Surabaya yang relatif kecil (Rp73 miliar) di tahun 2023. Nominal tersebut jauh lebih sedikit dari anggaran transum Kota Semarang, lho.
Saran saya selaku warga Surabaya yang hobi naik bus umum, daripada membangun transportasi sekadar untuk gengsi-gengsian seperti kereta tanpa rel. Akan lebih baik jika Cak Wali Kota pada periode berikutnya menggunakan dana tersebut untuk memperbaiki halte, menambah armada Suroboyo Bus beserta feedernya, dan memperpanjang rute Suroboyo Bus agar warga yang di kampung-kampung tertarik untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum.
Itulah dosa-dosa Wali Kota Surabaya yang tercatat di memori saya. Jika warga Surabaya lainnya merasa ada yang perlu ditambahkan, silakan isi di kolom komentar. Siapa tahu Cak Eri membacanya dan memperbaikinya di periode mendatang.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Pemkot Surabaya Tak Serius Urus Transportasi Umum, Bukannya Makin Bagus, Malah Makin Remuk!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.