Sebelum saya mengenyam pendidikan pascasarjana, tepatnya ketika saya masih menduduki semester akhir di bangku sarjana. Saya melihat banyak para wisudawan dari program pascasarjana di kampus saya itu IPK-nya tinggi-tinggi. Bahkan, IPK mereka terlampau tinggi untuk tataran mahasiswa sarjana.
Bagaimana nggak tinggi, lah wong IPK terendah yang pernah saya tahu di jajaran pascasarjana itu 3,8. Padahal dengan IPK mahasiswa segitu sudah bisa menjadi lulusan terbaik bagi program sarjana. Paling nggak, jadi yang terbaik se-fakultas di kampus saya. Sedangkan untuk rata-rata IPK mahasiswa pascasarjana yang diwisuda itu kisaran 3,85 hingga 3,9. Dan, untuk lulusan terbaiknya punya IPK sampai 3,98 hingga 4,0.
Awur-awuran memang, IPK mahasiswa pascasarjana itu. Nah, ini saya bingungkan, apa iya mahasiswa pascasarjana itu sepinter itu? Atau memang ada sistem kongkalikong dalam standar nilai mahasiswa pascasarjana?
Setelah saya lulus sarjana dan beberapa bulan menyiapkan proposal tesis, akhirnya saya mendaftarkan diri untuk kuliah pascasarjana di kampus negeri paling bergengsi di Surabaya. Ya, tempat yang berbeda dengan kampus saya ketika menempuh program sarjana. Tak begitu membutuhkan waktu yang cukup lama dan setelah melalui tes wawancara, akhirnya saya diterima di program Magister Sosiologi.
Ketika mulai berkuliah di program pascasarjana itulah saya menemukan jawaban atas kecamuk pikiran saya. Ini soal, mengapa IPK mahasiswa pascasarjana itu tinggi-tinggi? Bahkan sangat tinggi, di luar jangkauan mahasiswa sarjana.
#1 Iklim akademik yang full diskusi
Sebenarnya, sistem pembelajaran diskusi sudah ada sejak di program sarjana. Hanya saja, saat itu yang diskusi paling cuma mereka-mereka yang caper, kutu buku, atau semacamnya. Sedangkan mereka yang bodo amat dengan kuliah ya pasti nggak bakal ikut diskusi di kelas.
Berbeda dengan program pascasarjana, yang mana seluruh mahasiswa di kelas itu pasti ikut diskusi, ikut berargumentasi. Bahkan, mereka yang memiliki karakter pendiam pun kalau di kelas pasti ikut nimbrung tukar pikiran. Meskipun ada yang nggak begitu menguasai materi kuliah, mereka pasti ikut bersuara, setidaknya menyampaikan pengalaman atau hasil riset yang pernah dilakukannya semasa sarjana.
#2 Dosennya nggak begitu ribet dengan nilai
Entah kenapa dosen yang mengajar pascasarjana itu nggak begitu mempermasalahkan perihal nilai. Mereka nggak mau ribet dengan nilai-nilai mahasiswa pascasarjana. Bahkan, beberapa dari mereka sejak awal kuliah sudah menjelaskan bahwa urusan nilai itu sesuatu yang gampang di kuliah pascasarjana.
Mengetahui hal ini, saya jadi mikir bahwa ternyata IPK tinggi mahasiswa pascasarjana itu nggak mutlak karena mereka pinter banget. Namun, ya ada unsur-unsur intervensi dosen yang memang nggak mau riweh dengan nilai mahasiswanya. Ya, maklum lah ya, lah wong dosen itu sudah ngajar di sarjana yang padat banget, belum lagi ngajar mahasiswa doktoral juga. Pastinya mereka nggak mau pusing dengan banyak hal.
#3 Tugas kuliah nggak bakal bisa dijawab oleh mbah Google
Jika di program sarjana, saya masih menemui tugas-tugas kuliah atau soal-soal UTS dan UAS yang modelnya menjelaskan konsep, definisi atau pengertian. Pertanyaan tersebut dapat saya temukan jawabannya dengan mudah melalui mbah Google. Tinggal klik-klik bentar saja, sudah bisa menyelesaikan tugas.
Ya, meskipun memang beberapa tugas program sarjana itu ada yang modelnya analisis, tapi itu masih nggak begitu banyak, dan cenderung menjadi tugas dengan skala waktu yang panjang. Masih lebih banyak model pertanyaan yang meminta kita untuk menjelaskan konsep.
Berbeda dengan kuliah di pascasarjana yang seluruh tugas khususnya soal-soal UTS atau UAS-nya itu modelnya analisis dan studi kasus. Jadi, dapat dipastikan bahwa mbah Google nggak bakal bisa menjawab soal mahasiswa pascasarjana. Pasalnya, sejauh ini mbah Google memang masih diprogram untuk menjelaskan, nggak sampai menganalisis.
Jadi, ketika mengerjakan tugas mahasiswa pascasarjana itu benar-benar ngandalin logika dan penalaran si mahasiswanya. Kita akan dinilai sejauh apa tingkat kritis dan alur logika dari mahasiswa tersebut.
#4 Referensi bacaan nggak boleh abal-abal
Sebuah kebiasaan saya ketika menulis artikel semasa kuliah sarjana yakni saya sering menggunakan kutipan tak langsung, dalam artian melalui perantara tulisan lain yang mengacu pada tulisan utamanya. Misalnya gini, misal saja loh ini, “Menurut Jokowi (2018) dalam Luhut (2021) bahwa pemerintah merupakan… bla-bla-bla.”
Di tataran sarjana memang hal ini masih diperbolehkan. Namun, untuk tataran pascasarjana hal ini sangat dilarang. Mahasiswa pascasarjana dituntut untuk membaca sumber referensi langsung dari penulis utamanya, tanpa ada perantara penulis lain. Katanya sih hal ini untuk menjaga originalitas suatu gagasan.
Bahkan saking orinya, ada dosen yang menuntut untuk membaca teks aslinya. Misalnya, kalau teks aslinya bahasa Prancis ya baca teks yang bahasa Prancis itu. Namun, beberapa dosen juga ada yang masih memperbolehkan membaca teks Inggris-nya atau mentok terjemahannya, yang penting masih dipenulis pertama. Jadi, nggak begitu heran kalau wawasan mahasiswa sarjana itu lebih akurat, mendalam, dan luas.
#5 Sudah sesuai dengan minat dan bakat
Jika di program sarjana, mungkin kita masih dapat menemui mereka-mereka yang merasa salah jurusan. Sehingga ketika kuliah mereka syukur masuk, ngisi absen, dan pulang. Rutinitas yang hanya sebagai formalitas untuk mendapatkan gelar sarjana. Untung-untung bisa lulus, soalnya beberapa banyak yang nyerah dan memilih untuk keluar atau pindah jurusan.
Berbeda dengan kuliah di pascasarjana, sebagian besar mahasiswanya nggak ada yang merasa salah jurusan. Mereka memang memiliki minat dan bakat sesuai dengan jurusan yang dipilihnya ketika kuliah pascasarjana. Ya, eman saja ketika kuliah pascasarjana yang bayarnya selangit itu sampai ada persepsi salah jurusan. Kecuali, kalau memang mereka anaknya sultan, puluhan juta bahkan ratusan juta sudah jadi uang jajan sehari-hari mereka, ya sah-sah saja kuliah pascasarjana sesuka hati mereka.
Kalau kuliah sudah sesuai dengan minat dan bakat, tentunya mahasiswanya akan lebih tekun belajar dan nggak asal-asalan ngisi absen belaka. Jadi, ini berimplikasi pada IPK mereka yang cukup tinggi-tinggi itu.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Audian Laili
BACA JUGA Pledoi Mahasiswa Pengejar IPK Tinggi yang Nggak Mau Tunduk sama Quotes Bob Sadino