Menikah dan membangun keluarga bersama orang terkasih adalah impian semua orang. Namun, tak bisa dimungkiri, banyak anak muda yang menunda pernikahan. Di Korea Selatan, rata-rata pada usia 31,1 tahun mereka menikah, laki-laki pada usia 32,6 tahun dan perempuan pada usia 30 tahun. Di Jepang, rata-rata usia menikahnya adalah 29,7 tahun, laki-laki pada usia 30,9 tahun, dan perempuan pada usia 29,3 tahun. Anak muda negara Eropa juga rata-rata menikah pada usia 30 tahun-an. Kalau di Indonesia sih rata-ratanya masih usia 24 tahun. Wow, di sini muda juga, ya.
Lantas, apa yang menyebabkan anak muda Jepang dan Korea Selatan memilih menunda pernikahan?
#1 Belum menemukan pasangan yang tepat
Mencari dan menemukan pasangan yang tepat memang menjadi kesulitan tersendiri, ya. Di Jepang dan Korea Selatan sendiri, karyawan muda sudah sangat disibukkan dengan pekerjaan. Setiap hari berangkat pagi dan pulang larut malam karena lembur. Di akhir pekan, terkadang mereka masih direpotkan dengan pekerjaan, atau disibukkan dengan teman atau keluarga. Yang jelas, sulit mendapatkan kesempatan dan waktu berkenalan dengan lawan jenis.
Dulu perempuan Jepang mendamba laki-laki dengan kriteria san-kou, yakni kou-gakureki (tinggi pendidikannya), kou-shuunyuu (tinggi penghasilannya), dan kou-shinchou (tinggi badannya). Kemudian berubah menjadi santei, yakni tei-shison (menghargai perempuan), tei-risuku (pekerjaan mapan), tei-izon (bisa bekerja sama). Terakhir sempat san-te, yaikni te o toriau (saling mengerti dan bekerja sama), te o tsunagu (mencintai), dan te-tsudau (membantu pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak). Kriteria itu berubah karena perempuan sendiri sekarang banyak yang bekerja dan berpenghasilan sendiri, sehingga sekarang pun banyak yang mendamba laki-laki yang lebih pengertian dan mau bekerja sama mengurusi rumah tangga juga pengasuhan anak.
Kalau dulu perjodohan ditinggalkan karena orang cenderung ingin mencari pasangan hidupnya sendiri, sekarang orang kembali menggunakan sistem perjodohan. Selain aplikasi perjodohan yang marak di kalangan muda seluruh dunia, banyak biro jodoh yang mengadakan pertemuan atau tur perjodohan. Dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, semua orang bisa bergabung ke acara seperti ini. Ada juga yang secara mandiri mengadakan pertemuan kecil-kecilan dengan teman di lingkungannya saja. Saling memperkenalkan teman adalah cara yang paling mudah untuk menemukan pasangan. Siapa tahu jodoh, kan?
#2 Faktor ekonomi
Rata-rata gaji anak muda Jepang dan Korea di awal kariernya adalah 25-30 juta rupiah. Dengan biaya hidup di Tokyo dan Seoul yang tak murah, gaji segitu sebenarnya cukup untuk bertahan hidup. Bayangkan saja kalau setiap bulan mereka harus mengeluarkan sekitar 10-15 juta rupiah untuk menyewa tempat tinggal saja. Belum pula kebutuhan lainnnya seperti gas, air, listrik, makan, transportasi, dll. Kalaupun bisa menabung, ada kemungkinan besar mereka akan gunakan untuk membeli mobil dan barang-barang untuk menghibur diri sendiri.
Terutama di Seoul, Korea, memiliki rumah petak apartemen adalah hal yang sangat mahal. Dengan gaji segitu saja, mereka harus mencicilnya beratus bulan. Di Jepang pun sama, memiliki rumah itu sangat mahal. Di kota kecil saja, harga rumah baru itu sekitar ratusan juta bahkan hampir 1 miliar rupiah. Wow.
Mengapa rumah menjadi hal penting? Di Korea, kalau ingin menikah biasanya yang paling diributkan oleh calon mertua adalah tempat tinggal. Hal ini menjadi tolok ukur kemampuan calon menantu untuk membahagiakan putri kesayangannya. Lagipula, kalau menikah dan punya anak, tentunya diharapkan mereka bisa tinggal di tempat yang layak.
#3 Ingin fokus bekerja dan kenaikan karier
Persaingan kerja di Jepang dan Korea Selatan itu sangat ketat. Di Jepang sendiri ada sistem di mana karyawan harus mau dipindah tugaskan ke anak perusahaan atau cabang lainnya kalau ingin kariernya meningkat. Di Korea pun sama, kenaikan kariernya sangatlah susah. Biasanya anak muda akan memilih kariernya naik dulu, baru menikah. Pasalnya, ada kesan kalau sudah menikah tidak bisa lebih leluasa dibanding saat masih single.
#4 Lebih asyik sendiri dan belum membutuhkan pernikahan
Alasan ini sebenarnya sangat bisa dipahami. Ketika pekerjaan sudah sangat menguras tenaga dan waktu, ia akan merasa bahwa gaji yang ia terima layak untuk ia habiskan sendiri. Setidaknya ada sekitar 31,2 % laki-laki dan 30,4% perempuan muda Jepang yang belum merasa perlu untuk menikah. Mereka juga tidak ingin kebebasan dan kesenangannya terganggu karena harus mengurus anak suami.
Yang jelas, banyak anak muda Korea yang kalau punya uang banyak akan memilih untuk membeli barang branded dan bersenang-senang untuk diri sendiri ketimbang repot berpacaran dengan orang lain. Mereka juga memilih untuk memberikan sebagian gajinya untuk orang tuanya sebagai bentuk bakti.
Alasan lain menunda pernikahan yang lain karena tidak ingin kehilangan kebebasan dan kesenangannya saat sendiri. Setidaknya, ada 31,1% perempuan Jepang yang mengatakan hal ini. Bagi mereka, pernikahan bukanlah segalanya dan masih banyak hal lain yang bisa dilakukan selain menikah dan membangun rumah tangga. Banyak sekali pemikiran seperti ini yang berkembang di kalangan anak muda kedua negara tersebut.
#5 Membesarkan anak itu tidak murah
Selain urusan rumah, biasanya yang menjadi pertimbangan saat ingin memiliki anak adalah biaya yang dikeluarkan untuk membesarkannya. Orang Jepang dan Korea Selatan sangat perhitungan soal ini, bahkan di Jepang ada omongan kalau membesarkan satu orang anak dengan layak itu setidaknya membutuhkan uang sekitar 10 juta yen (atau sekitar 1 miliar rupiah).
Tidak hanya biaya, tetapi banyak perempuan Jepang dan Korea Selatan yang mengaku kalau membutuhkan bantuan saat membesarkan anak, termasuk support system dari pemerintah berupa daycare yang memadai. Kalau pasangannya saja tidak mau diajak bekerja sama, tentu hal ini akan menjadi permasalahan tersendiri. Terlebih kalau dua-duanya bekerja, tentunya banyak perempuan yang menuntut adanya kesetaraan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Kebetulan Jepang dan Korea Selatan merupakan negara yang nilai patriarkinya sangat kental.
Apakah di Jepang dan Korea Selatan juga ada mulut julid yang bertanya kapan nikah, kapan punya anak? Sebagian besar, tidak ada. Pemerintah yang sangat bawel saja, tidak diindahkan, kok. Iming-iming tunjangan anak juga tak membuat mereka ingin punya anak meski sudah menikah. Padahal kedua negara ini adalah negara yang tingkat kelahiran anaknya sangat rendah di Asia dan penduduk manulanya sangat banyak sehingga piramida penduduknya terbalik. Walaupun begitu, tetap saja menikah dan memiliki anak merupakan hak pribadi setiap orang dan pasangannya.
Penulis: Primasari N. Dewi
Editor: Audian Laili