Mahasiswa dan angkringan adalah irisan tipis antara prinsip keuangan dan sisi kelaparan. Artinya, tiap nasi yang masuk ke kerongkongan, itu berpacu dengan jumlah rupiah yang keluar. Angkringan adalah oase di tengah keruhnya tanggal tua dan menyerupai sejuknya Stella rasa jeruk di tengah hiruk pikuk kembang-kempis dompet yang mendekati sekarat.
Tidak hanya sampai sana, angkringan juga menyimpan harta karun bernama para bakulnya. Nasihat, petuah, tingkah, candaan, dan perihal prinsip bernama rasa tangis, bisa ditampung dengan baik dan hormat. Para bakul angkringan juga layaknya seorang peri yang menyamar menjadi bakul nasi teri, kebaikan hatinya layak diapresiasi setinggi-tingginya menggunakan hati nurani.
Namun, para bakul ini menyimpan ribuan ciri-ciri yang luar biasa indahnya. Dari seribu banyaknya, sepengalaman saya malang melintang makan nasi kucing dan sate brutu, setidaknya ada kurang lebih empat ciri yang bisa diintegralkan secara nyata. Berikut saya rangkumkan setelah berdiskusi dengan salah satu bakul angkringan yang pernah menulis di Terminal, Mas Sengget.
Pertama, bakul angkringan pendengar yang baik. Saya pernah muntab karena hal sepele, yakni perihal kenapa Jokowi selalu melemparkan pertanyaan kepada anak-anak SD babagan ikan-ikanan. Maksud saya, kan masih banyak hewan yang harus disorot. Misalkan bisa saja menanyakan jenis-jenis hewan seperti kumbang, jangkrik, dan paus orca. Dari sekian banyak hewan kenapa melulu ikan. Anehnya, nggak ada satu pun yang menjawab ikan cethul atau wader.
Males kan mendengar curhatan nggak jelas saya? Nah, berbeda dengan bakul angkringan di dekat kampus saya, Pak Tumi. Ia dengan kemekelen selalu mendengar curhatan saya yang luar biasa nggak pentingnya. Bersama kunyahan bakwan yang karib, Pak Tumi selalu ikhlas walau pada akhirnya mengeluh juga, “Oalah ngomong apa tho, Mas, Mas!”
Kedua, bakul angkringan enerjik. Sore hari sibuk gegenen, menyalakan bara api pemberontakan di areng dengan kipasan mautnya. Agak maleman, re-stock areng, es batu, sampai nasi kucing yang mulai menipis, tapi pelanggan masih laris manis. Malem sekali sibuk closingan, ngukuti sampah yang tercecer, tegesan yang berserakan, dan ngitungin penghasilan.
Bakul dengan ciri seperti ini bukan nggak asyik diajak ngobrol, tetapi punya maksud filosofis adi luhung bernama menuntaskan hajat kehidupan di bumi. Mendapatkan upah yang berlimpah, harus setali dengan usaha yang penuh gairah. Baginya, kehidupan di bumi untuk kebahagiaan keluarga, kehidupan di akhirat ya urusan personal.
Ketiga, bakul angkringan resah gelisah. Saya pernah menjumpai bakul angkringan ini di salah satu angkringan jalan Imogiri Timur. Bakul angkringan resah gelisah ini ditandai dengan raut wajah kuyu, mata berkantung, pokoknya seperti orang kekurangan darah. Setelah di jam-jam sentimentil seperti jam satu ke atas, dia akan bercerita perihal kesusahannya di muka bumi.
Ibaratnya, jika poin pertama bakul angkringan yang mendengar curhat, bakul angkringan resah gelisah ini sebaliknya. Ia yang menghabiskan waktu bercerita, banyak hal. Mulai dari pembahasan mengenai Atlantis, surga neraka, teori bumi datar, hingga dapur rumah tangga. Sebagai pelanggan angkringan, pekewuh sih nggak, tetapi ada rasa nggak tahu mau jawab apa yang begitu tumpah ruah dari curhatan blio.
Sungguh, asyik sekali berkenalan dengan bakul angkringan tipe yang satu ini. Seakan blio memberikan kisi-kisi kehidupan di masa yang belum saya jamah. Ia berbicara secara halus bahwa kehidupan kadang nggak berjalan semulus yang kita kira. Bakul angkringan yang saya temui, sayup-sayup di sepertiga malam mengatakan, “Suatu saat bumi akan berhenti, tapi kehidupan tetap akan menari-nari dengan nasi teri yang kamu mamah tanpa henti.”
Keempat, bakul angkringan ngajak diskusi. Ini adalah evolusi kedua dari tipe yang pertama. Nggak hanya suka dicurhati dan disambati, tapi bakalan merespons dengan semangat yang nggak kalah menggebunya. Saya pernah berjumpa dengan salah satu bakul angkringan di Imogiri.
Ketika saya sedang nyacati kecepatan maksimal Lightning McQueen, eh, maksud saya Sumber Kencono, rudal darat yang maha ngosak-ngasik itu, blio mendebat bahwa bus itu bukan yang tercepat di muka bumi. Saya lupa blio mengajukan nama bus apa, tapi jawabannya nggatheli sekali, “Bus itu, konon kecepatannya lebih mak wussshhh ketimbang kinerja pemerintah mengusut kasus HAM yang pernah dijanjikan.”
Pulang dari sana, nggak ada tindakan lain selain salim dan mengucapkan puja dan puji syukur kepada kehadirat Tuhan bahwa bakul angkringan, lebih waras daripada beberapa orang yang menggunakan jas dan dasi yang begitu wangun dan elegan. Sembari salim dan uluk salam, saya berbisik dengan mesra, “Panjang umur kelas pekerja.”
BACA JUGA Kemampuan Terpendam Bakul Angkringan Adalah Jadi Pendengar yang Baik bagi Pelanggan dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.