Jauh sebelum masa krisis ini, emak-emak di desa saya, di Jember, sudah mengenal tindakan survive. Yakni, mengisi waktu luangnya dengan menggeluti pekerjaan di bidang tanaman tembakau. Tampaknya, musim tembakau di sini adalah “sang penyelamat mereka”.
Menjadi orang Jember itu kadang susah, kadang juga enak. Lantaran di satu sisi, orang lain belum tentu tahu di mana sebenarnya kabupaten ini berada. Namun di sisi lain, enaknya adalah urusan per-tembakau-an Jember yang nggak bisa dipandang remeh. Kalaupun saya tanya ke orang-orang yang ngurusin perdagangan nasional dan internasional, pasti mereka tahu Jember itu apa.
Sebagai salah satu daerah penghasil tembakau super di Jawa Timur, masyarakat Jember pasti punya trik and tips dalam mengolah hasil tembakaunya. Sebab, mulai dari tahap pembibitan, penanaman, panen, hingga tahap industri rumahan seperti pengasapan (oven) pun masih dikelola dengan cara yang mengesankan. Bahkan, kedelai hitam Malika pun akan minder ketika melihat bagaimana orang Jember merawat tembakaunya.
Pasalnya, menjadi bagian dari petani tembakau, saya rasa hal ini cukup menyenangkan. Di samping memantapkan potensi Kabupaten Jember sebagai penghasil tembakau terbaik, di musim tembakau ini secara nggak langsung para petani telah menciptakan lapangan pekerjaan baru untuk ibu-ibu rumah tangga di sekitar saya. Memang, sih, semua pengolahan tembakau di sini masih dilakukan secara manual. Tapi, justru dengan cara manual itulah yang membuat tembakau di sini berkualitas.
Menoleh dari hal-hal sebelumnya, tentu produksi tembakau di sini nggak bisa dilepaskan dari peran emak-emak tadi. Blio-blio inilah yang sebenarnya memiliki peran besar dalam mengolah daun tembakau menjadi komoditas yang siap produksi.
Nah, jika biasanya bapak-bapak yang ngerumat tembakau di sawah, maka kali ini giliran emak-emak yang bertugas mengolahnya di rumah. Sehingga, dari sini, musim tembakau disinyalir menjadi ladang penghasilan tambahan mereka.
Wes, nggak usah banyak cincong, berikut ini pembagiannya.
#1 Bagian ngundhuh mbako
Ngundhuh mbako atau memanen daun tembakau nyatanya di desa saya masih memiliki nilai ekonomis tersendiri. Apalagi, pelaku yang ditunjuk untuk ngundhuh mbako ini adalah kaum emak-emak. Meskipun aktivitas ini tergolong abot, kenyataannya, di desa saya geng emak-emak ini selalu menjalankannya dengan penuh kegembiraan.
Biasalaah, emak-emak kalau lagi ngumpul itu pasti…? Yak, betul, diskusi pemerintahan. Hehehe.
Lalu, pertanyaannya, jika di sini emak-emak yang bertugas mengundhuh mbako, lantas ke mana perginya geng bapack-bapack? Apakah mereka sedang menyusun jokes-jokes yang akan dimuat di Twitter? Atau di mana?
Eits, jangan salah paham dulu. Tugas bapak-bapak dalam aktivitas ini adalah mengusung. Bukan mengusung calon kader partai, lho, ya. Tapi, ngusungi mbako atau bahasa kerennya adalah membawa daun tembakau yang sudah dipetik menuju gudang yang telah dipersiapkan.
Sebab, menurut emak-emak, bapak-bapak disinyalir memiliki tenaga yang kuat dan perkasa. Sehingga dalam setiap pekerjaan di sini, baik kaum emak-emak maupun bapack-bapack memiliki pembagian porsi yang pas. Serta yang terpenting dari semua aktivitas itu, mereka memiliki penghasilan tambahan yang cukup.
Yah, kira-kira bisalah buat beli paket kuota internet, biar kalau fesbukan nggak ngadhat di tengah jalan. Xixixi.
#2 Bagian nyujeni mbako
Setelah daun tembakau berhasil diusung bapak-bapak menuju gudang dengan selamat dan tanpa celaka, ibu-ibu yang bertugas nyujeni tembakau pun sudah siap menunggu. Mungkin beberapa orang akan asing mendengar istilah ini.
“Ha? Nyujeni? Opo iku, Rek?”
Istilah nyujeni sebenarnya merujuk pada aktivitas menusukkan/memasukkan daun tembakau ke dalam tali rafia menggunakan jarum. Biasanya, setiap satu tali rafia ini memiliki panjang sekitar 2,3 meter-an. Setelah itu, talinya pun diisi dengan daun tembakau. ya, kira-kira sekitar 50-an lembar.
Nah, pada proses ini, alat bantu yang digunakan ibu-ibu pun dibuat secara khusus, namanya jarum sujen. Atau sebuah jarum besar berbentuk pipih yang memiliki panjang kurang lebih 30 sentimeter-an. Sehingga istilah nyujeni ini sebenarnya berasal dari jarum yang dipakai emak-emak itu.
Namun, dalam aktivitas ini kaum emak-emak nggak selesai begitu saja, lho. Setelah selesai nyujeni tembakau sampai resik, mereka akan melanjutkannya ke tahap ngeler (baca seperti “bebek”). Yakni, suatu aktivitas mengurai daun tembakau yang ada di dalam tali rafia, agar ketika diasap/dioven dalam gudang (biasa terbuat dari welit/daun tebu kering), daunnya nggak menempel dan terasapi dengan sempurna.
Biasanya, untuk 100 tali rafia yang sudah disujeni emak-emak, dihargai minimal Rp10.000 hingga Rp15.000, tergantung harga pasarannya. Terkadang, emak-emak di desa saya dalam satu kali nyujen bisa menghasilkan 100 hingga 200 tali sekaligus.
Lumayan, kan? Bisa buat beli daster, kata mereka.
#3 Bagian ngrempos mbako
Setelah itu, aktivitas ini dilakukan setelah daun tembakau selesai diasapi selama kira-kira tujuh hari. Bagi daun tembakau yang sudah memiliki warna coklat keemasan, atau kalau kata Chef Arnold sudah golden brown, maka itu sudah siap dirempos.
Tenang, saya akan jelaskan ngrempos itu apa.
Istilah rempos/ngrempos adalah kegiatan memindahkan daun tembakau kering dari tali rafia ke tali lain yang lebih kuat (emak-emak di sini menyebutnya tali rami). Gunanya untuk mengelompokkan daun tembakau yang bagus dan yang kurang bagus. Yah, semacam sortir gitu lah. Serta untuk mempermudah para pengepul dalam membawa daun tembakau ke gudang produksi yang lebih modern, biasanya pabrik besar.
Meskipun pekerjaan ini terbilang cukup gampang, yang paling sulit adalah ketelitiannya. Makanya kenapa pekerjaan ini menunjuk emak-emak sebagai pelakunya? Sebab mereka memiliki kekuatan super yang nggak dimiliki oleh siapa pun, yakni ketelitian dan ketelatenan yang luar biasa.
Lah, kok, gitu? Laki-laki juga teliti kali. Eits, tunggu dulu. Wong barangmu hilang saja yang nemuin pasti emakmu, kok. Hehehe.
Nah, untuk upahnya sendiri, kira-kira, ya, samalah dengan upah ketika ngundhuh mbako, yakni cukup untuk menraktir keluarga makan ke KFC.
Tapi, KFC gadungan, lho, yang biasanya buka di depan ruko itu.
#4 Bagian mbeber mbako
Ini dia bagian paling ultimate. Mungkin, dari segala pekerjaan emak-emak sebelumnya, bagian ini menjadi satu-satunya bagian yang paling uangelll puolll. Biasanya, emak-emak yang bertugas mbeber (baca juga seperti “bebek”) ini ialah mereka yang sudah dilatih khusus selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun.
Nggak, nggak, biasanya cuma beberapa hari saja, kok. Wqwqwq.
Sebab, pekerjaan mbeber ini bertujuan menata daun tembakau yang sudah dirempos tadi menjadi lembaran-lembaran yang tersusun rapi, elegan, dan wow. Memang, lagi-lagi, emak-emak yang bertugas di bagian ini adalah mereka emak-emak pilihan.
Bahkan saking pilihannya, mereka memiliki privilese tersendiri, yakni tugasnya di pabrikan atau di gudangan. Sehingga dalam pengerjaannya pun nggak asal pilih pekerja, harus trial dulu.
Selain itu, dalam prosesnya pun, setiap lembaran harus terhindar dari daun tembakau yang sobek, cacat, dan bolong. Karena tahap inilah yang menentukan apakah kualitas tembakau sebagai bahan baku rokok dikatakan layak atau nggak.
Pokoknya, kalau kalian ngerokok (3S)—Samsu (Djie Sam Soe), Surya (Gudang Garam Surya), dan Super (Djarum Super)—kok tembakaunya rasanya enak, ya, berarti itu buah tangan dari emak-emak di sini. Hehehe.
Nah, sebanding dengan tingkat kesulitannya, upah yang didapat emak-emak ini pun lumayan tinggi untuk per hari dan per jamnya.
Bisalah untuk beli skincare setiap bulannya. Tapi, yo ngapain, mending buat arisan, ya, Mak? Walah-walah.
Dengan begitu, musim tembakau adalah musim yang sangat di nanti-nanti oleh geng emak-emak di desa saya. Alasannya, selain menjadi ladang penghasilan tambahan, mereka juga bisa saling bercengkrama dengan emak-emak yang lain.
Hmmm, bercengkerama? Saya curiga, nih. Hahaha, bercanda, kok, Mak.
BACA JUGA Gudhang Bhekoh, Gudang Tembakau ala Jember yang Sering Dikira Rumah Adat dan tulisan Adhitiya Prasta Pratama lainnya.