Akhirnya, setelah enam tahun penuh perjuangan, saya resmi dinyatakan lulus dari Universitas Negeri Malang (UM). Enam tahun yang kalau dijabarkan, empat tahun kuliah S1, dua tahun kuliah S2, dan sisanya adalah masa-masa galau menunggu wisuda sambil mikir, “Abis ini hidup mau lanjut ke mana?”.
Bagi saya, UM bukan sekadar kampus. Ia adalah kawah candradimuka yang menempa saya dari mahasiswa polos jadi pejuang revisi, dari penghafal teori jadi pengabdi jurnal. Kadang ingin cepat-cepat lulus, tapi di sisi lain rasanya belum rela meninggalkan tempat yang sudah seperti rumah kedua. Sambil menunggu wisuda yang entah kapan pengumumannya itu, saya ingin meromantisasi beberapa hal sebelum benar-benar lulus dari UM.
#1 UM Malang, kampus nyaman meski mulai mahal
Berbicara soal biaya pendidikan yang makin hari makin bikin kening berkerut, rasanya UM masih tergolong ramah di kantong. Setidaknya dibandingkan beberapa kampus lain yang uang kuliahnya bisa bikin jantung berdebar kencang.
Tahun 2019, saya termasuk beruntung. UKT saya hanya Rp3.750.000. Kalau dibagi enam bulan, berarti per bulan cuma sekitar Rp625.000. Itu pun tanpa uang gedung karena saya masuk lewat jalur mandiri prestasi. Murah meriah tapi tetap berkelas.
Akan tetapi waktu berjalan dan ekonomi pun berubah. Di tahun 2025, berdasarkan data di website seleksi UM, UKT sudah terbagi menjadi tujuh golongan dengan rata-rata biaya sekitar enam jutaan per semester. Kecuali Fakultas Kedokteran yang dari dulu memang punya dunia sendiri, hehehe.
Dulu, UM Malang sering jadi bahan candaan di kalangan mahasiswa. Katanya kuliah di UM itu hemat, tapi tetap elegan. Sekarang? Yah, mulai terasa juga yang namanya inflasi akademik. Harga naik, parkiran makin penuh, dan biaya IPI (Iuran Pengembangan Institusi) untuk jalur mandiri angkanya sudah tembus puluhan juta.
Meski begitu UM Malang masih punya pesona tersendiri. Kampus ini mungkin pelan-pelan jadi mahal, tapi tetap terasa hangat dan menyenangkan untuk ditinggali.
#2 Akses kampus
Salah satu hal paling menyenangkan di UM adalah aksesnya yang super fleksibel. Kampus ini bisa dijangkau 24 jam lewat Jalan Semarang—meskipun sekarang katanya sudah ada aturan maksimal sampai jam sepuluh malam. Dulu, mau rapat tengah malam, nugas bareng, atau sekadar kabur dari kebisingan kos, tinggal melipir ke kampus saja. WiFi-nya ngebut, stopkontaknya banyak, dan selasarnya kadang terasa lebih nyaman daripada kamar sendiri.
Selepas magrib, suasana UM Malang justru semakin hidup. Di sepanjang jalan dan selasar, kamu bisa menemui mahasiswa yang lagi diskusi serius, lembur proker, ngerjain penelitian PKM, atau sekadar nugas sambil ngemil gorengan. Bahkan ada juga yang latihan silat di halaman fakultas—campuran antara semangat, lelah, dan suara jangkrik.
Di masa saya kuliah S1, sekitar 2019–2022-an, gerbang Jalan Semarang masih benar-benar buka 24 jam lewat pintu kecilnya. Meskipun gedung-gedung sudah dikunci, banyak selasar yang tetap bisa diakses lengkap dengan lampu dan colokan listrik yang menyala setia.
Pemandangan paling ikonik adalah mahasiswa yang memutuskan nginap beneran di kampus. Mereka datang membawa bantal dan selimut, menjadikan lantai selasar sebagai kasur dadakan. Dan ketika azan subuh berkumandang dari Masjid Al-Hikmah, mereka beranjak, ikut berjamaah, lalu baru pulang ke kos di pagi hari. Rasanya seperti hidup di kampus penuh semangat dan solidaritas—tempat di mana perjuangan, kelelahan, dan tawa bercampur jadi satu, 24 jam non-stop.
#3 Banyak beasiswa yang tersedia di UM Malang
Saya masih ingat masa-masa S1 dulu, saya bukan berasal dari keluarga berada, jadi urusan biaya kuliah bukan hal sepele. Demi bisa lanjut kuliah, saya harus pintar-pintar cari “cuan halal” lewat berbagai jalur beasiswa.
Waktu semester 3 saya beruntung dapat beasiswa dari YBM BRI Smart Scholarship selama satu tahun. Lalu semester 5 lanjut dapat Djarum Scholarship. Dua-duanya bukan hanya meringankan beban finansial, tapi juga memberi semangat buat terus bertahan di perkuliahan yang kadang lebih berat dari skripsi itu sendiri.
Serunya lagi, UM Malang juga cukup royal pada mahasiswanya yang berprestasi. Kalau ikut lomba dan menang, hadiah dari penyelenggara masih bisa diklaim ke kampus. Jadi, selain dapat uang dari panitia, bisa juga dapat bonus dari UM yang nominalnya kadang sampai jutaan rupiah. Nggak heran kalau ada teman yang suka bercanda, “Kita harus sampai balik modal kuliah dari lomba, Bro, biar kuliah di UM jadi investasi yang nyata!” Hahaha.
Satu lagi yang paling berkesan, setelah lulus S1, saya justru dapat beasiswa S2 di prodi dan kampus yang sama. Sebuah privilese yang nggak semua orang bisa dapat, karena penyelenggara beasiswa biasanya nggak asal kasih dana studi. Misalnya LPDP yang mensyaratkan kampus dan prodi minimal harus terakreditasi A.
Nah, di sinilah UM Malang punya nilai plus. Mayoritas program studinya sudah terakreditasi A, jadi mahasiswanya punya peluang lebih besar untuk melanjutkan studi lewat jalur beasiswa. Kalau dipikir-pikir, UM Malang bukan cuma kampus yang nyaman buat belajar, tapi juga tempat yang membuka banyak jalan bagi mahasiswanya untuk terus naik kelas secara akademik, finansial, maupun mental.
#4 Rujukan di dunia pendidikan
Saya mulai benar-benar memahami makna slogan kampus Excellence in Learning Innovation ketika menempuh studi S2. Saat berjejaring dengan rekan-rekan dari berbagai kampus, saya baru menyadari betapa banyak pengalaman belajar di jenjang S1 di Universitas Negeri Malang (UM) yang ternyata tidak semua kampus memilikinya. Misalnya dalam hal pengelolaan jurnal internasional, prosiding, dan penyelenggaraan seminar internasional, mahasiswa sudah dilibatkan sejak awal perkuliahan. Pengalaman ini membuat kami tidak lagi kebingungan ketika melanjutkan studi ke jenjang berikutnya.
Tidak heran jika Program Studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) UM Malang menempati peringkat pertama di antara prodi sejenis dalam hal pengelolaan jurnal di SINTA (Science and Technology Index) selama tiga tahun terakhir (2022–2025) dengan indeks 4.321. Prestasi tersebut tidak terlepas dari banyaknya kegiatan akademik seperti Seminar Nasional Bahasa Arab Mahasiswa (SEMNASBAMA) dan Konferensi Nasional Bahasa Arab (KONASBARA) yang dihadiri peserta dan pemakalah dari berbagai negara. Meskipun bukan kampus yang berlabel keislaman, UM Malang tetap mampu menunjukkan keunggulan di bidang bahasa Arab yang kerap identik dengan pendidikan Islam.
Semua fasilitas itu akan hilang, tapi cinta pada UM Malang nggak hilang
Sekarang, ketika masa kuliah benar-benar usai, saya mulai merasa kehilangan. WiFi kampus yang dulu jadi penyelamat saat kehabisan kuota, selasar tempat curhat dan diskusi, perpustakaan tempat kabur dari panasnya Malang, semua akan tinggal kenangan.
Tapi cinta pada UM Malang nggak akan hilang. Dalam hati kecil, saya berharap suatu hari bisa kembali ke sini. Entah untuk lanjut S3, atau siapa tahu jadi dosen. Karena pada akhirnya, UM Malang bukan sekadar tempat belajar tapi tempat tumbuh, jatuh, dan belajar bangkit lagi.
Enam tahun di UM Malang mengajarkan banyak hal. Bahwa ilmu bukan sekadar nilai di transkrip, tapi tentang perjalanan mencari makna. Bahwa dosen killer bisa jadi orang paling berjasa. Dan bahwa WiFi kampus yang kencang bisa menyelamatkan hidup lebih dari yang kita kira.
Jadi, buat kalian yang masih di UM Malang, nikmati setiap detiknya. Karena nanti, setelah lulus, kalian akan sadar betapa berharganya setiap revisi, setiap diskusi, dan setiap malam panjang di kampus yang (katanya) cuma tempat kuliah.
Penulis: Arya Wahyu Pratama
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Alasan Saya Dulu Memilih Kuliah di UM Malang dan Nggak Memilih Universitas Brawijaya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
