Awal tahun 2000-an, belajar bahasa Jepang merupakan hal yang langka di Indonesia. Namun seiring perkembangan zaman dan teknologi, makin banyak orang yang mulai tertarik dengan bahasa Jepang dan mempelajarinya.
Dorama Jepang macam Long Vacation dan anime yang semakin banyak diputar di televisi Indonesia juga menjadi daya tarik tersendiri. Jerome Polin, lagu parodi yamet kudashi, dan tulisan dalam produk-produk Erigo juga semakin menggoda orang untuk penasaran dengan bahasa Jepang.
Nah, berkecimpung di dunia per-bahasa Jepang-an adalah hal yang sudah saya lakukan sejak belasan tahun silam. Saya mengajar bahasa Jepang sejak tahun 2008. Mulai dari ngajar di tempat kursus, sekolah, kampus, sampai LPK (Lembaga Pelatihan Kerja) sudah saya jabanin. Meski sangat menikmatinya, ada juga hal-hal yang bikin jadi guru bahasa Jepang itu nggak enak.
#1 Ditanya bahasa anime
Paling keki itu saat ditanya murid iseng arti “ikeh-ikeh kimochi”. Atau saat ditanya arti “baka” (bodoh), “teme” dan “kisama” (kamu), “kuso” dan “chikuso” (sial). Eh, buset, ngapain dah tanya-tanya gitu?
Kosakata tersebut memang kosakata dalam bahasa Jepang, sih. Sebagai seorang guru bahasa Jepang, saya nggak lugu-lugu amat dan paham dengan maksud pertanyaan itu. Sebenarnya kata-kata tersebut adalah bahasa kasar yang sebaiknya dihindari ketimbang bikin ilfeel orang Jepang. Coba bayangkan, seandainya tiba-tiba kamu dikatain “goblok” atau “jancuk”, ilfeel juga, kan?
Namun, kalau ditanya kosakata yang levelnya biasa seperti “hontou ni” (benar-benar), “souka” (oh begitu), “kawaisou” (kasihan), “mendoukusai” (merepotkan), “nani” (apa?), “daijoubu” (tidak apa-apa), “gomen/gomennasai” (maaf), atau “sugoi” (hebat) masih bisa saya jelaskan. Biasanya saya beri tahu konteks penggunaannya juga.
Ya kali tiba-tiba saja bilang, “Souka, souka” ke bos. Ada ragam bahasa sopan dan biasa dalam bahasa Jepang, lho. Mirip-mirip sama bahasa Jawa gitu. Jadi, kalau mau bilang “oh begitu” ya bilangnya “sou desu ka”.
Biasanya guru bahasa Jepang akan mengajarkan bahasa dasar yang sopan, sih. Malah terkadang guru bahasa Jepang sendiri juga nggak paham-paham amat kosakata yang sering keluar di anime kalau dia jarang nonton. Bahasa anime kan bahasa percakapan gaul semacam “ih gelay”, “afgan lo”, “halu bet”, dll. Coba tanya orang tuamu, mereka paham bahasa Indonesia gaul gitu juga nggak?
#2 Dikira wibu
Dulu saat ditanya kenapa masuk jurusan Sastra Jepang dan belajar bahasa Jepang, saya selalu dikira otaku atau wibu. Nyebelin banget nggak sih, padahal saya beneran nggak paham soal begituan. Bahkan saat teman-teman membicarakan anime Hunter x Hunter kala itu, saya cuma bisa bengong. Akan tetapi, karena kebutuhan “listening”, mau nggak mau saya sedikit mengikuti anime yang populer. Padahal jiwanya sih tetap nggak bisa menyatu.
Nah, setelah jadi guru bahasa Jepang, saya juga berusaha menyesuaikan para murid untuk pendekatan melalui anime yang ngetren bagi para wibu atau Jerome Polin yang suka belajar. Setidaknya dengan begini, saya jadi tahu minat dan antusiasme para murid belajar bahasa Jepang. Nyatanya bahasa Jepang nggak semudah cuma ngomong “niichan” (mas) atau “onegaishimasu” (tolong), kan?
#3 Dikira sudah pernah ke Jepang
Dulu sebelum lanjut studi ke Jepang, saya sering banget ditanya apakah sudah pernah ke Jepang. Sebel juga sih ditanya begitu. Katanya belajar bahasa Jepang dan jadi guru, tapi kok malah belum pernah ke Jepang? Lha, memangnya masalah gitu?
Kalau sudah kuliah dan lulus, punya sertifikat ujian kemampuan bahasa Jepang, setiap hari ketemu orang Jepang, dan mendengarkan berita atau video berbahasa Jepang terkini, bukankah itu sudah cukup? Meski ada minusnya juga sih lantaran nggak bisa bercerita pengalaman saat berada di Jepang.
Pengalaman budaya seperti ini memang menarik bagi para murid agar mereka lebih termotivasi untuk belajar. Kadang kalau saya jawab pernah dua minggu stay di Jepang (untuk konferensi atau piknik misalnya) pun, tetap saja dikejar, “Kok cuma sebentar sih, Bu?”
Angel wes angel…
#4 Minta tolong dikenalin orang Jepang
Poin terakhir nggak enaknya jadi guru bahasa Jepang adalah suka diminta murid untuk ngenalin ke orang Jepang. Gara-gara bisa bahasa Jepang, dikira para guru ini punya banyak teman orang Jepang kali, ya? Kalau punya sih pasti ada beberapa orang lah, karena tiap wilayah kan didampingi guru native speaker dari Jepang.
Tapi, kalau ada yang minta dikenalin ke orang Jepang tentu agak gimana gitu. Paling susah juga kalau ada murid yang kepo dengan teman Jepang di akun media sosial saya. Kadang saya malah jadi nggak enak sendiri kalau ada orang yang mengaku teman atau murid saya agar bisa add friend teman saya yang orang Jepang asli tersebut. Duh, padahal urusan privacy ginian orang Jepang agak sensitif, lho. Tentu beda sama kita yang supel dan ramah. Orang Indonesia mah nggak pernah ketemu pun bisa-bisa saja akrab berteman di dunia maya.
Itulah kira-kira 4 hal nggak enaknya jadi guru bahasa Jepang. Yah, namanya juga kerjaan, sudah risikonya begitu. Enak nggak enak, dinikmati saja, toh yang penting saya bisa nonton anime tanpa subtitle. Eh.
Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi