Kalau dibaca judulnya saja, mungkin tulisan ini bakal dianggap memojokkan kegiatan romantisisasi suatu wilayah. Tapi, coba bacalah dulu. Tak ada yang salah dari meromantisisasi sebuah wilayah, sangat amat boleh. Asal paham batasan dan nggak kepolen, tentu sah-sah saja.
Sikap meromantisisasi bukannya tanpa risiko juga. Dalam banyak kasus, sikap ini memang sering memakan korban saat dijalankan dengan berlebihan. Banyak kebijakan kota yang pada akhirnya menjadi sulit diterima akal sehat, tentu akibat gempuran romantisisasi yang terlalu mendarah daging itu. Bahkan, romantisisasi kepolen ini juga dilakukan oleh para punggawa kotanya dengan terstruktur dan lucu.
Metode antikritik, sering kali menjadi pilihan mereka saat menjalankan romantisisasi kolektif nan kepolen. Apalagi saat romantisisasi kepolen itu bertemu dengan pariwisata dan pemasukkan daerah, jelas makin sulit dibendung. Meromantisisasi sebuah kota nyatanya memang mudah, bahkan terlalu mudah. Apalagi bagi wisatawan atau pendatang yang terkungkung dalam tempurung healing nan sempit itu. Banyak realitas yang tak terlihat, dan banyak yang sengaja ditutupi.
Oleh karena itulah, saya ingin berbagi tips agar Anda sekalian tak semudah itu termakan jebakan romantisisasi, atau minimal paham batasannya.
Pertama, memaknai ulang karya-karya yang menggugah nafsu untuk meromantisisasi sebuah wilayah.
Sebentar, saya tidak menyalahkan karya atau memojokkan pembuat karya. Yang jadi masalah adalah, terlalu terbuai dengan karya lalu tak melihat realitas. Karya itu tak selalu cerminan atau proyeksi dari keseluruhan sebuah kota.
Kita harus memaknai ulang, membuka diri untuk menerima itu hanya secuil dari apa yang ada di sebuah kota. Oke, kota itu indah dan merekam banyak memori indah di setiap jengkalnya. Namun, tak menutup kemungkinan jika setiap jengkalnya menyimpan memori kelam juga.
Boleh jadi di satu titik kita terpesona dengam ikon kota itu, namun di sisi yang lain ada eksploitasi pariwisata, kekuasaan mutlak tanpa menerima kritik, kemacetan, kriminalitas, tunawisma, penyerebotan tanah, hingga abai pada kesejahteraan buruh, dan UMR yang mengerikan. Bagaimana pun karya-karya itu memang keren dan romantis, tapi bukan keseluruhan dari cerita yang ada.
Kedua, menyadari jika sedang berwisata.
Namanya juga berwisata, tak usah jadi sok tahu. Bisa jadi yang Anda nikmati hanya secuil kecil dari apa yang terjadi. Ya, sudah berwisata saja, tak perlu fafifu wasweswos. Nggak usah bilang bahwa penduduknya pasti bahagia, kotanya indah, dan tiap hari bisa healing. Bisa saja Anda berpendapat begitu, wong paling cuma seminggu tinggal di situ. Namanya wisatawan sudah sepantasnya disuguhi yang indah dan romantis, nggak mungkin dikasih lihat warganya yang putus sekolah atau tak digaji layak.
Apalagi berkesimpulan bahwa semua murah, dan sudah tentu warganya makmur. Ya, situ nggak kerja dan hidup di sana, wajar berpikiran liar semacam itu. Kebahagiaan dan kesejahteraan tak bisa diukur dengan harga makanan semata, apalagi murah dan mahal itu teramat sangat relatif. Berwisata bukanlah jalan memahami sebuah kota dengan baik. Sebab, apa yang tersaji di brosur dan vlog, memang untuk menjaring wisatawan. Kalau pada akhirnya ketutuk, saran saya nggak usah sambat. Bahaya!
Ketiga, tinggal di sana, buka mata, dan perbanyak srawung.
Banyak yang tinggal di kota yang menurutnya romantis. Namun, mereka masih hidup dalam tempurung. Masih di dalam rumah penuh pepohonan di samping sawah yang permai, sesekali ke pasar untuk nyari konten foto, tapi tetap tutup mata pada apa saja yang sebenarnya terjadi. Tinggal tanpa srawung sama saja dengan berwisata dengan waktu yang lama. Apalagi yang hanya berbekal sering berfoto di pasar, lalu fotonya diupload dengan caption macam, “hidup apa adanya” dan “narimo ing pandum”.
Apalagi yang asli warga sana dan tinggal di sana sejak kecil, namun menutup mata atas apa yang terjadi pada saudara-saudaranya, sungguh nyemoni. Pokoknya kotanya romantis dan tak boleh ada kritik. Bahwa memahami sebuah kota itu butuh proses yang panjang, dan akan makin sulit berubah jika sering menutup-nutupi masalah. Meromantisisasinya dengan porsi yang wajar saja, tak perlu berlebihan adalah jalan yang tepat. Mengakui kekurangan juga tak ada salahnya, agar bisa berbenah.
Mau bagaimana pun, yang akan jadi korban adalah kota itu dan penduduknya di masa depan. Karena menghalau kritik dan masukan dengan berlindung pada romantisisasi kepolen, memang makin usang. Jika tak ada jalan keluarnya, semua masalah yang hanya ditutupi oleh romantisisasi akan meledak juga. Jika akhirnya semua sudah remuk, apa yang mau diromantisisasi lagi?
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Memahami Isi Pikiran Ibu Kita, Megawati