Siapa yang kalau pergi ke mall di beberapa kota besar seperti Semarang dan Jogja, nyosornya langsung ke Uniqlo? Padahal, di pusat perbelanjaan tersebut masih banyak brand atau outlet lain yang menjual pakaian, dari merek luar seperti H&M sampai ke local brand semacam This Is April. Bisa jadi, para pembeli tersebut memang sudah loyal dengan brand asal Jepang itu dan tidak tertarik lagi mencoba merek fesyen lain. Buat baju kok coba-coba, mungkin begitu pikir mereka.
Loyalitas yang dibangun dari sebuah merek nyatanya memerlukan upaya yang tidak main-main. Kesuksesan Uniqlo ini tentunya tidak didapat semalam saja seperti membangun candi dibantu dedemit. Terhitung lebih dari tiga dasawarsa sejak pertama berdiri, Uniqlo mampu melakukan ekspansi di banyak negara dan membawa namanya sebagai salah satu perusahaan fashion terbesar di dunia.
Lalu, apa sih yang bikin brand ini sukses banget? Nah, saya menemukan beberapa hal yang bikin brand ini melejit lewat analisis amatir saya. Meski amatir, tapi bukan berarti nggak valid.
#1 Model bisnis yang berbeda
Menurut CEO Uniqlo, Tadashi Yanai, model bisnis Uniqlo tidak bisa disandingkan dengan H&M dan Zara. Tadashi mengatakan bahwa selama ini banyak orang salah mengira Uniqlo sebagai merek fast fashion. Terlepas dari banyaknya kontroversi yang beredar mengenai pernyataan ini, buktinya, Uniqlo memang lebih menekankan terhadap fungsi dibandingkan perputaran fashion. Sesuai slogannya “Made for All”, tujuan mereka adalah untuk memproduksi pakaian bagi semua orang, bukan hanya mereka yang masih berada pada rentang usia muda ataupun yang sadar fashion.
Visi tersebut tertuang jelas dari desain pakaiannya yang nggak neko-neko. Tujuannya, balik ke awal, supaya bisa dikenakan oleh semua orang dengan berbagai latar belakang seperti pekerjaan serta usia mereka. Konsep fungsional tersebut juga terlihat jelas dari diversifikasi produk yang ditawarkan. Berbeda dengan para pesaingnya yang juga banyak meluncurkan fashion items berupa aksesoris dan footwear, Uniqlo justru tidak melirik peluang tersebut. Sebaliknya, porsi pakaian dalam yang dibuat terbilang cukup banyak. Artinya, perusahaan paham betul bahwa produk mereka pasti akan terbeli karena merupakan staple fashion items alias kebutuhan, bukan pemuas tren belaka.
Ditambah lagi, inovasi yang dilakukan tidak diterapkan banyak dalam desain mereka. Malahan, Uniqlo getol melakukan perbaikan dalam teknologi serta bahan yang digunakan untuk produk mereka. Tentunya, hal ini menjadi keunggulan Uniqlo untuk bersaing di kancah industri fashion. Pasalnya, belakangan ini, tren budaya hidup minimalis tengah digemari banyak orang, termasuk dalam hal berpakaian.
Ngomong-ngomong, konsep minimalism juga asalnya dari Negeri Sakura, kan, ya? Apakah ada kaum penggemar kanal misteri yang berpendapat ini semacam konspirasi? Hehehe. Pokoknya, yang pasti, Uniqlo bersikeras kalau mereka berkeinginan menciptakan non-disposable clothing alias bajunya bukan sekali pakai saja. Dengan kata lain, kualitas dan desainnya nggak bakal lekang dimakan usia.
#2 Standar pelayanan yang sama dengan negara asalnya
Kalau kita masuk ke outlet resmi Uniqlo, pasti sering mendengar sapaan “Welcome to Uniqlo”, kan? Sapaan tersebut bisa dibilang SOP di semua outlet resmi mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa pelatihan yang diterima oleh staff mereka bertaraf internasional. Sebagaimana image orang Jepang yang kita kenal sebagai pekerja keras, pelanggan pasti tidak akan menemui pegawai yang sibuk ngobrol sesama rekannya saat jam kerja. Sebaliknya, mereka selalu terlihat sibuk sekaligus cekatan membereskan setiap tumpukan baju yang kurang rapi.
#3 Kolaborasi yang jitu
Alih-alih bekerjasama dengan para fashionista, Uniqlo justru terlihat beberapa kali berkolaborasi dengan atlet global seperti Roger Federer dan Adam Scott. Strategi yang agresif ini terbilang cerdas mengingat kesadaran masyarakat akan kesehatan juga meningkat, apalagi sejak hadirnya pandemi.
Konsumen, secara sadar maupun tidak, akan mengasosiasikan dirinya sebagai pribadi yang aktif dan sehat seperti para influencer tersebut. Bukankah pakaian sering kali dijadikan alat oleh individu sebagai cara mencitrakan diri atau membangun image yang ingin mereka terima dari lingkungan? Nah, bisa dibilang itulah cara mereka menggaet pelanggan baru dari ceruk yang jarang terlihat.
Selain itu, Uniqlo juga sempat berkolaborasi dengan Disney, Sanrio, ataupun Sesame Street, dan itu merupakan taktik yang jitu. Uniqlo sadar, pasar terbesar mereka saat ini adalah Generasi Y atau milenial yang berada pada usia produktif dan bisa menghasilkan uang sendiri. Mencetak gambar tokoh kenangan masa kecil pada kaos yang diperuntukkan konsumen dewasa akan menyentuh ingatan mereka untuk memutar kembali memori masa kecilnya. Sisi emosional inilah yang dimanfaatkan untuk menarik minat beli calon konsumen mereka.
Begitu tadi sepintas analisis amatir tentang kesuksesan Uniqlo di industri fashion. Mahal atau murahnya suatu harga sepotong kaos itu relatif. Namun jelas di sini bahwa Uniqlo tidak sekadar menawarkan t-shirt atau produk lainnya bagi pelanggan mereka. Value yang mereka tawarkan tidaklah main-main, dan itulah yang bikin brand ini makin jaya.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Strategi Uniqlo, H&M, Zara, dan Brand Fast Fashion Lain yang Bikin Kalap Belanja