Saya pikir tak berlebihan jika ada orang bilang salah satu daya tarik Jogja adalah menawarkan banyak sekali kemungkinan, terutama bidang karier. Sebab, banyak perusahaan yang melirik kota ini. Alasannya? Tentu saja karena bisa mendapat banyak tenaga profesional dengan harga yang tak terlalu tinggi. Yak betul, UMR-nya jadi daya tarik tersendiri.
Tak heran jika banyak mahasiswa perantau memilih bekerja di Jogja sehabis lulus. Meski upahnya tak setinggi kota lain, namun mereka tetap saja bertahan di Jogja. Setelah mendapat ilmu yang cukup, mereka angkat kaki dari Jogja untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Namun, tetap saja ada banyak hal yang tak bisa dilakukan di kota ini, meski di atas saya bilang kota ini banyak kemungkinan. Nggak nyambung? Dibikin nyambung aja lah sebisanya.
Dan di artikel ini, saya ingin membahas hal-hal yang tak bisa dilakukan di kota ini, meski kota ini sudah maju dan menawarkan banyak kemungkinan.
#1 Pendidikan seadanya
Orang-orang Jogja agaknya menganggap serius predikat Kota Pelajar yang tersemat pada kotanya, setidaknya menurut saya. Sebab, saya amat jarang menemui orang yang putus sekolah atau hanya mentok SMP. Ini berlaku untuk orang yang belum tua-tua amat lho ya.
Banyak orang tua yang berusaha keras agar anaknya mendapat pendidikan setinggi mungkin. Setidaknya anak mereka harus lulus SMA, apa pun halangannya.
Mau kalangan menengah ke atas atau mereka yang ekonominya sedang terbatas, pendidikan di kota yang dijuluki kota pelajar telah menjadi satu hal yang penting.
Kenapa sampe segitunya? Pendidikan dianggap sebagai pengantar menuju hidup yang lebih baik. Setidaknya, kemungkinannya terbuka lebih lebar. Apalagi, ini Jogja, kota segala kemungkinan. Bener kan?
Intinya, warga Yogya itu malu kalau pendidikannya rendah. Yah, setidaknya tamat SMA, SMK atau bahkan strata satulah.
#2 Lewat di depan orang tanpa permisi
“Lha, kok, jalan muter, he?” Seorang ibu bertanya ke anaknya yang harus melewati jalan tak biasa dan jaraknya lebih jauh. Si anak nyengir ketika ditanya.
“Biar nggak mesti nyapa-nyapa, Bu.” Begitu alasannya. Karena tidak enak lewat di depan orang, tetangga tanpa say hello, basa basi bilang nderek langkung, permisi dan perkataan sejenis, si anak rela memilih jalan memutar.
Hm, sebagai penduduk asli Yogya, saya harus mengakui hal ini. Sepertinya tidak sopan lewat di depan orang, baik dikenal atau tidak, tanpa bilang nyuwun sewu, nderek langkung, atau permisi.
Well, setidaknya menganggukkan kepala atau sedikit membungkukkan badan adalah hal yang biasa, hampir wajib atau setidaknya sunnah muakkadah bila harus lewat di depan orang.
#3 Nemu toko yang buka sebelum jam tujuh
Jujur saja, saya baru sadar hal ini ketika ada teman asal Blitar yang bilang pada saya tentang hal itu. Saat itu kami sedang berkendara mencari toko pagi-pagi demi sebuah acara.
Sepanjang jalan, terlihat deretan toko kompak tutup. Belum satu toko pun yang buka sampai kami tiba di Pasar Kranggan. Alhamdulillah, pasar menyelamatkan kami pagi itu.
Itu pengalaman beberapa tahun lalu. Sekarang? Sama saja hehehe. Belum lama ini, pagi-pagi, saya harus membeli sesuatu dan butuh toko kelontong. Dan sepanjang jalan yang saya lalui, tidak ada toko yang buka.
Ada sih toko yang buka 24 jam, tapi belakangan kok saya susah nemunya. Dan nggak setiap tempat ada kan? Alfamart dan Indomart aja belum buka 24 jam seperti Jusuf Kalla dulu kala.
Well, itulah tiga hal yang tidak bisa dilakukan di Jogja. Namun, hal ini tak mengurangi daya tarik Jogja atau hal-hal yang indah di Jogja. Bagaimanapun, kota ini memang menarik, kan?
Penulis: Naledokin
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Surat Cinta untuk Wali Kota: Pak, Malang Macet, Jangan Urus MiChat Saja!