Sebagai salah satu kebutuhan dasar hidup manusia, keberadaan rumah tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Namun bukan rahasia lagi bahwa belum semua orang di negeri ini bisa memiliki rumah yang layak. Sebagian masyarakat kita, tak mengalami kesulitan berarti untuk memiliki sebuah tempat tinggal. Namun sebagian yang lain, ada tempat untuk pulang saja –meskipun kalau hujan dikit atapnya bocor dan hujan deras banjir— itu sudah merupakan sebuah anugerah.
Bagi kalian yang tinggal di rumah megah, pemukiman yang layak, yang terjamin kebersihan, kenyamanan dan keamanannya, bersyukurlah. Sebab “rumahku istanaku” adalah 100% milik kalian. Namun bagi kalian yang tinggal di rumah sederhana, yang bangunannya ala kadarnya dan berada di lokasi yang seharusnya tidak untuk hunian, bersabarlah, kita sama!
Biar kalian tahu, saya dan keluarga tinggal di pinggir rel kereta api. Benar-benar pinggir rel kereta api, di mana jarak antara pintu rumah saya dengan rel, kurang lebih hanya 8 meter saja. Ukuran bangunan rumah di kampung tempat saya tinggal, rata-rata sama. Bangunannya ada yang semi permanen ada juga yang sudah permanen.
Tinggal di pinggir rel kereta api tentu tidak sama dengan tinggal di pemukiman sebagaimana mestinya. Terkadang kami harus menghadapi hal-hal unik yang mungkin tidak akan dialami oleh orang lain yang tidak tinggal di tempat yang kami tinggali. Nah, pada kesempatan ini, saya ingin membagikan tiga hal yang saya temui, selama tinggal di pinggir rel kereta api. Apa saja tiga hal tersebut.
Bikin pedang mainan dari paku
Saya termasuk generasi 90-an awal. Mainan-mainan yang saya mainkan dulu, masih mainan sederhana. Saya masih menangi bikin tembak-tembakan dari pelepah pisang. Lalu main perang-perangan dan kejar-kejaran di kebun pisang tempat saya dan teman-teman mengambil pelepah yang saya jadikan tembak mainan itu.
Sebagai anak-anak yang tinggal di pinggir rel, kami punya mainan khas yang mungkin cuma kami yang bisa memainkannya. Permainan ini seru tapi tidak disarankan untuk ditiru, yaitu bikin pedang-pedangan dari paku. Meskipun asyik, permainan ini sebenarnya bahaya. Namun karena masih bocah, kami dulu tidak memikirkan bahayanya. Yang dipikir cuma asyiknya saja.
Biasanya, kami akan memulai membuat pedang dengan mencari paku terlebih dahulu. Kadang kami memakai paku baru, tapi lebih sering pakai paku bekas. Kalau kami ingin paku itu jadi pedang lurus, kami tinggal mengikat saja pangkal paku itu dengan tali, lalu ujung tali yang lain kami ikatkan ke batu-batu rel. Setelah itu, paku tersebut kami letakkan di atas rel. Saat kereta lewat, paku itu akan terinjak kereta dan menjadi pipih bagian ujungnya sehingga menyerupai pedang. Kadang proses ini harus kami ulang berkali-kali karena paku terjatuh dari rel sebelum terinjak kereta atau malah pakunya sudah terinjak tapi hilang entah kemana.
Tenda kondangan di pinggir rel kereta
Pernah melihat video seorang Ustadz sedang ceramah di pinggir rel kereta api lalu kaget hingga loncat dari tempat duduknya ketika kereta lewat? Seperti itulah kira-kira gambaran kalau lagi ada acara entah itu nikahan atau khitanan di tempat tinggal saya.
Ya, seperti pada umumnya di tempat mana pun, di kampung saya juga ada acara pernikahan ataupun khitanan. Yang membedakan dari tempat lain mungkin hanyalah lokasi acaranya. Jika pada umumnya orang menikah di gedung, atau paling tidak di depan rumah mereka yang berbatasan langsung dengan jalan raya, kami mengadakan acara di depan rumah kami yang berbatasan langsung dengan rel kereta. Kami biasanya gotong royong membangun tenda sederhana. Biasanya tenda ini akan ada dua, di sisi timur rel dan di sisi barat. Yang di sisi timur adalah lokasi acara. Tempat manten duduk di kuade dan menerima tamu. Sedang yang di barat berfungsi sebagai dapur. Tempat menyiapkan makanan untuk suguhan tamu juga tempat untuk mencuci piring, sendok dan mangkuk kotor.
Ketika acara berlangsung, biasanya akan ada beberapa orang yang bertugas mengawasi lalu lintas kereta api. Berbekal peluit, orang ini akan mengabarkan ketika ada kereta lewat, sehingga orang-orang yang rewang, yang membawa piring berisi soto dan mangkok berisi es buah hendak menyeberang dari barat ke timur akan tahu, dan berhenti sejenak menunggu kereta lewat. Saat kereta lewat, angin yang muncul akibat laju kencang kereta akan menerpa tenda. Penampakannya persis seperti video yang saya ceritakan di atas. Kami, mungkin sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu. Tapi tamu-tamu dari luar, biasanya akan rela meletakkan piring soto mereka agar bisa menunduk sambil menutupi telinga.
Kereta tangki dan kantong kresek berisi kotoran manusia
Selama tinggal di pinggir rel kereta api, saya mengamati setidaknya ada 3 jenis kereta yang sering lewat di depan tempat tinggal saya. Jenis pertama, adalah kereta penumpang. Ya, kereta penumpang seperti pada umumnya yang kita pergunakan untuk bepergian itu. Jenis kedua, kereta mekanik MTT plasser. Setiap melihat kereta ini, saya selalu teringat alat berat ekskavator karena bentuknya hampir sama dan warnanya pun sama-sama kuning. Terakhir, kereta jenis ketiga adalah kereta tangki.
Kereta tangki memiliki bentuk terbuka, tidak seperti kereta penumpang yang gerbongnya tertutup. Karena terbuka itu, dulu sewaktu saya masih di usia sekolah, saya seringkali melihat ada orang-orang yang nggandol atau nunut kereta jenis ini.
Suatu ketika, pas salah satu tetangga saya mengadakan perkumpulan bapak-bapak, kereta api jenis tangki lewat di perkampungan kami. Sialnya, di kereta itu pas ada orang yang lagi nggandol. Lebih sial lagi, tukang nggandol ini ternyata lagi kebelet pup saat kereta lagi jalan. Mungkin karena sudah di ujung dan nggak nutut kalau harus nunggu sampai stasiun, maka pup lah orang ini di kereta dan pupnya itu ditadahi di kantong kresek.
Usai menunaikan hajat, dilemparlah kresek isi pup ini oleh sang empunya. Entah nasib sial apa yang menghampiri kampung kami hari itu, sehingga kresek isi pup itu tepat mendarat di rumah yang lagi mengadakan perkumpulan bapak-bapak. Tak dapat dihindari, kantong kresek itu pun nyeprot dan isinya nyiprat ke badan sebagian peserta perkumpulan yang duduk di teras rumah. Sontak saja situasi jadi nggak kondusif. Yang duduk di dalam dan selamat dari “bom” itu, ngakak se ngakak-ngakaknya. Sedang mereka yang “ketiban rejeki” bergegas meninggalkan lokasi sambil ngomel-ngomel.
Nah, itulah tiga hal yang saya jumpai selama tinggal di pinggir rel kereta api. Kalau kamu, punya hal unik apa selama tinggal di tempatmu yang sekarang?
BACA JUGA Plus Minus Chattingan Pakai WhatsApp vs Telegram. Mana yang Lebih Bagus? dan tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.