Banyak orang beranggapan berkendara di Jogja itu spesial. Salah satu narasi yang beredar, warga lokal (warlok) di Kota Pelajar itu jarang membunyikan klakson. Katanya, klakson di Jogja itu simbol menyapa, bukan luapan amarah. Sebagai warlok, saya mengakui hal itu benar adanya.Â
Belum lagi cerita soal pengguna jalan di Jogja yang relatif lebih mau mengalah hingga pengendara yang cenderung nyantai. Hal-hal itu dianggap unik sehingga banyak orang terpukau dengan adab berkendaranya orang Jogja.
Tidak heran kalau sekarang ini semakin banyak ditemukan konten-konten di media sosial tentang perbandingan suasana lalu lintas di Jogja dan daerah lain. Tujuannya sudah pasti, menunjukkan keistimewaan kehidupan lalu lintas di Kota Pelajar.
Akan tetapi, sebenarnya ada banyak hal lain yang jarang orang bahas tentang berkendara di Jogja. Kalau saya boleh bilang, budaya jarang klakson tak sepadan dengan banyaknya perilaku buruk pengendara Jogja saat di jalan.Â
#1 Jogja bak sirkuit bagi beberapa pengendara
Kalau kalian perhatikan dengan seksama, beberapa jalan di Jogja terdapat begitu banyak polisi tidur. Kemunculan polisi tidur di beberapa titik itu karena banyaknya kebut-kebutan di jalan tersebut.Â
Iya, kalian tidak salah dengar. Orang Jogja itu banyak yang ngebut. Sebagai warlok yang hampir setiap hari merasakan atmosfer jalanan Jogja, menemukan orang yang kebut-kebutan di jalan bukanlah hal sulit. Bahkan, nggak peduli di jalan raya maupun jalan kecil, pasti ada saja oknum yang berkendara dengan kecepatan tinggi.
Saya sampai terheran-heran, jalan sesempit area Wijilan sampai harus dipasangi polisi tidur karena banyak pengendara kebut-kebutan dis itu. Hal ini menunjukkan bahwa orang Jogja nggak melulu nyantai saat di jalan. Tidak sedikit juga yang ugal-ugalan. Bahkan, ugal-ugalannya tidak melihat situasi dan kondisi jalan.Â
Baca halaman selanjutnya: #2 Lampu merah …




















