Nama Universitas Negeri Malang atau UM bisa dibilang kurang sering disebut jika bicara soal dunia kampus di Malang. Kalau bicara dunia kampus di Malang, orang-orang pasti akan bicara soal Universitas Brawijaya (UB). UB, selain bertetangga dengan UM, secara kualitas memang berada di atas UM. Ya, meski tidak jauh berbeda sebenarnya. Wajar, sih, sebab UM juga bukan kampus nomor satu di Malang. Jadinya, ia selalu “dianak-tirikan” dan selalu dibanding-bandingkan. Nggak enak, tapi ya mau gimana lagi.
Meskipun bukan yang nomor satu, hampir semua orang tahu, lah, lokasi kampus UM itu di mana. Kalaupun ada yang belum tahu, mudah sekali mencarinya. Tinggal cari aja Mall Malang Town Square (Matos), dan kita sudah bisa tahu di mana UM. Pasalnya, UM hanya berjarak beberapa meter saja di seberang Matos. Saking dekatnya dengan Matos, sampai ada guyonan dari anak-anak yang menyebut UM adalah Universitas Matos.
Sebagai orang yang baru sebulan resmi jadi alumni UM, rasa-rasanya cukup banyak hal yang saya telah lakukan di kampus ini selama empat setengah tahun terakhir. Mulai dari rutinitas kuliah sehari-hari yang kadang membosankan, bertemu dosen yang asyik dan yang megelno, jatuh cinta, baik yang mencintai maupun dicintai (meskipun tidak berakhir bahagia). Semua hal baik atau buruk juga sudah pernah saya alami di kampus ini. Campur aduk, lah,
Sebagaimana campur aduknya hidup, tentu saja ada enak dan nggaknya. Begitu pun dengan kuliah atau jadi mahasiswa di UM, ada enak dan nggaknya. Berhubung ini zaman edan (entah apa korelasinya), maka tulisan ini akan coba menjabarkan beberapa hal yang nggak enak dari menjadi mahasiswa UM. Apa saja nggak enaknya? Simak di bawah ini.
#1 Sering dikira Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Meskipun sudah tenar, nama UM masih sering dipersepsikan keliru oleh orang-orang. Btw, di Malang ada dua kampus yang mempunyai penyebutan yang hampir sama. Ada Universitas Negeri Malang (UM) dan ada Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Nah, perbedaan satu huruf ini ternyata membawa “kesesatan” bagi banyak orang awam dalam penyebutannya. UM itu kampus negeri dan UMM itu kampus swasta. UM itu almamaternya biru, UMM almamaternya merah. Beda, ya.
Bagi mahasiswa UM, pasti sudah sering menghadapi situasi seperti ini: sering dikira kuliah di UMM, padahal di UM. Kalau ditanya kuliah di mana dan dijawab di UM, pasti orang akan mengira UMM. “Kuliah di mana?” “Di UM” “Oh, Universitas Muhammadiyah Malang, ya?” “Iku UMM. Aku di UM, Universitas Negeri Malang, cookkk!!!” Capek, deh.
#2 Sering dikira kampus syariah
Awalnya, saya mengira bahwa hanya saya yang punya pikiran seperti ini. Ternyata, setelah ngobrol dengan cukup banyak orang, mereka juga berpikiran yang sama. Saya sendiri tidak tahu apa korelasi antara stereotip kampus syariah dan UM. Mungkin karena cukup banyak anak pesantren yang kuliah di sini, jadi bagi orang awam (atau bagi mahasiswa UM itu sendiri), stereotip kampus syariah itu menempel sekali. “Mirip UIN,” kalau kata teman-teman.
Bukan berarti tidak suka dijuluki syariah, tapi ya kurang sesuai saja. Maksudnya, ini kan kampus negeri, tidak ada keterikatan dengan agama atau golongan tertentu. Jadi, konsep apa pun itu yang berhubungan dengan suatu agama atau golongan, ya tidak sesuai saja. Masa kita mau lebih UIN daripada kampus UIN itu sendiri. Jangan, lah.
#3 Murah, tapi juga mahal
Salah satu yang dulu pernah terkenal dari UM adalah biaya kuliahnya yang murah. Sampai-sampai ada guyonan bahwa kepanjangan dari UM adalah Universitas Murah. Tapi itu dulu. Sekarang, atau setidaknya tujuh tahun terakhir, UM berubah menjadi kampus yang biaya kuliahnya mahal. Pembangunan jadi salah satu alasan. Dan memang benar, banyak pembangunan di kampus ini.
Bayangkan, saya punya teman angkatan 2012 yang uang kuliahnya hanya 1,5 juta per semester, dan saya juga punya teman seangkatan (2016) yang uang kuliahnya 8 juta per semester. Jomplang, kan? Terus saya bagaimana? Sebagai penerima beasiswa ya saya nrimo ing pandum saja.
Tapi, meskipun uang kuliah di UM sekarang agak mahal, harga makanan di UM yang justru murah, apalagi jika dibandingkan dengan kampus tetangga. Inilah yang dimaksud dengan murah, tapi mahal. Dengan bermodal uang 7-8 ribu rupiah saja, kita sudah bisa makan sepiring nasi pecel dengan tempe, plus segelas teh hangat. Coba saja ke kantin Pak Japan di Fakultas Sastra atau kantin Fakultas Ilmu Pendidikan. Buktikan sendiri.
Itulah setidaknya tiga hal nggak enaknya jadi mahasiswa UM. Sebenarnya, saya nggak banyak menemukan nggak enaknya jadi mahasiswa UM. Sebab di UM ini ya lempeng-lempeng saja. Akses jalannya oke, fasilitas juga cukup oke, cari nilai juga nggak susah-susah banget, lingkungannya juga cukup asyik, apalagi di Sastra seperti saya. Enak, cuma ya tiga hal di atas itu saja yang bikin nggak enak jadi mahasiswa UM. Selebihnya, oke-oke saja.
Ah, baru juga wisuda sebulan lalu, nulis begini kok saya jadi kangen kuliah lagi, ya.
Sumber Gambar: Unsplash