Sebagai alumni UIN Malang, saya sudah melewati berbagai fase kehidupan mahasiswa yang absurd dan menyebalkan. Dari bangun subuh dengan mata masih separuh merem tapi harus ikut kegiatan asrama, sampai drama soal dosen yang menyusahkan.
Anehnya, setelah bertahun-tahun lulus, justru hal-hal menyebalkan itu yang bikin kangen. Entah kenapa, memori tentang masa-masa penuh perjuangan itu malah terasa hangat dan bikin ingin nostalgia. Nah, inilah tiga hal menyebalkan di UIN Malang yang justru bikin saya kangen.
Menjadi mahasantri, fase terberat mahasiswa UIN Malang
Sampai hari ini, saya masih merinding ketika mendengar mars MSAA (Mahad Sunan Ampel al ‘Aly), terutama di bagian, “Wajahidu fillahi haqqo jihadihi.” Bukan karena saya paham betul artinya, tapi karena lagu itu otomatis membawa saya kembali ke masa-masa berat sebagai mahasantri.
FYI, mahasiswa baru di UIN Malang wajib tinggal di mahad selama satu tahun. Jadi, kalau ada yang sok-sokan bilang UIN Malang itu kampus bebas, jelas mereka belum merasakan hidup di MSAA.
Waktu masih jadi mahasantri, saya merasa ini fase terberat dalam hidup. Abot banget. Bayangin saja, dari sebelum subuh sudah dibangunkan, kemudian lanjut kegiatan sampai jam 7 pagi. Setelahnya siap-siap kuliah sampai siang. Dan sorenya masih ada kelas bahasa.
Tidak berhenti sampai sana. Malamnya ada kegiatan Mahad lagi, dan dilanjutkan kelas bahasa sampai jam 8 malam. edyan, bukan? Itu belum kalau ada tugas kuliah. Selain itu, kami juga tidak boleh membawa kendaraan, dan beberapa peraturan asrama lainnya yang membelenggu.
Tapi ya itu, ternyata justru kenangan tentang “penderitaan” inilah yang paling membekas. Kadang kangen juga, sih, hidup bareng teman-teman sekamar, rebutan kamar mandi, dan curhat panjang lebar soal dosen killer, atau drama menyoal pengurus mahad dan kehidupan terkini.
Budaya santri yang bikin canggung
Salah satu hal yang paling bikin saya bingung saat awal masuk UIN Malang adalah budaya santri yang begitu kental. Misalnya, setiap ketemu dosen harus cium tangan. Atau saat kelas selesai, semua mahasiswa tetap duduk manis di tempatnya sampai dosen benar-benar keluar ruangan. Nggak ada tuh yang langsung kabur karena sudah pengin ke kantin. Saya pun mau buru-buru keluar rasanya berdosa.
Bagi teman-teman yang dari pesantren, semua itu biasa aja. Bahkan mereka terlihat luwes menjalaninya. Tapi buat saya yang nggak pernah mondok, semua itu terasa serba salah. Mau ikutan, kikuk. Mau cuek, takut dikira nggak punya tata krama.
Rasanya seperti harus menyesuaikan diri dengan aturan tak tertulis yang semua orang tahu, kecuali saya. Tapi lama-lama, ya ikut juga. Karena ternyata budaya itu nggak sekadar mencari berkah saja. Setelah dilakukan, entah kenapa membuat hati lebih dan pikiran menjadi lebih adem. Entahlah, saya juga tidak paham kenapa bisa demikian.
Tapi, yang pasti, budaya seperti itu memang memunculkan kehangatan dan kenyamanan tersendiri. Pun kalau direnungkan, budaya itu juga membuat saya tumbuh menjadi manusia yang seperti ini: yang menghormati orang bukan atas dasar transaksional, melainkan karena adab dan bentuk penghormatan semata.
Menyandang status mahasiswa UIN
Salah satu hal paling menyebalkan saat jadi mahasiswa UIN adalah: ya, status itu sendiri. Begitu orang tahu kita kuliah di UIN, langsung deh muncul asumsi: “Wah, pinter ngaji ya?” Atau lebih parah lagi, “Pasti alim, dong?”
Masalahnya ketika KKN, kami otomatis diandalkan buat semua urusan masjid. Dari jadi imam, muazin, sampai ceramah. Padahal, saya cuma mahasiswa biasa yang kebetulan kuliah di UIN Malang, bukan lulusan pesantren dengan hafalan 30 juz. Mau nolak, takut dikira nggak mau berkontribusi. Mau nurut, ya akhirnya malah jadi beban tersendiri.
Pun ketika praktik mengajar (karena saya jurusan pendidikan), kami juga dibebankan mengisi khutbah jumat. Sebuah kegiatan yang memberatkan. Tapi tetap kami jalankan sekuat-kuatnya. Yah, namanya juga anak UIN.
Dulu saya merasa hal ini menyebalkan. Tapi sekarang, saya sadar kalau justru pengalaman itu yang bikin UIN Malang beda dari kampus lain. Di sana, kita nggak cuma belajar akademik, tapi juga belajar banyak hal tentang kehidupan. Dan jujur, meskipun dulu merasa berat, sekarang malah kangen masa-masa itu.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA UIN Malang dan UIN Jogja, Saudara yang Perbedaannya Kelewat Kentara




















