Petilasan Gunung Pasar yang berada di Kecamatan Dlingo punya sejarah yang tersembunyi. Di sana terdapat tujuh makam tiban (kijing pitu) yang dipercaya sebagai tanda perjanjian antara Ki Ageng Pemanahan dengan Ki Ageng Giring III ihwal penerus tahta Kerajaan Mataram Islam.
***
Ada 7 buah makam misterius di puncak sebuah bukit di wilayah Kecamatan Dlingo, Bantul. Makam-makam ini konon sebagai tanda dicapainya gentlemen’s aggrement antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring III.
Dua orang tersebut sejatinya merupakan sepasang sahabat yang disebut sebagai murid Sunan Kalijaga. Mereka sama-sama mencari wahyu demi legitimasi menjadi raja Mataram Islam.
Demi melihat makam tersebut, Rabu (15/2/2022) siang, saya menyusuri sejuknya perbukitan Mangunan di wilayah selatan Jogja. Rutenya, dari kota terus ke arah selatan menuju kantor kecamatan (kapanewon) Dlingo.
Selepas kantor Kapanewon Dlingo, lalu berbelok ke sebuah jalan kecil. Dari situ, sejauh mata memandang hanya ada perbukitan kapur dan ladang warga. Akses jalan sempit dengan aspal yang mulai mengelupas.
“Masih lurus 200-an meter, Mas,” jawab seorang petani saat saya bertanya tentang letak 7 makam tadi.
Ia memberikan tanda berupa sebuah tower telepon di tengah kebun warga. “Maju dikit terus nanti naik,” terangnya.
Kisah turunan Gagak Emprit
Jika Dusun Sodo di Gunung Kidul menjadi saksi lahirnya kisah degan (kelapa muda) Gagak Emprit, maka Dusun Koripan I di Kalurahan Dlingo, Kapanewon Dlingo, menjadi saksi lahirnya kisah turunan dari pencarian wahyu keprabon Mataram Islam.
Konon, setelah berhasil meminum degan Gagak Emprit—yang mulanya hendak diminum Giring III—Pemanahan pergi meninggalkan Sodo.
Giring III lantas mengejar Pemanahan untuk bertanya hal penting bagi masa depan tanah Jawa: keturunan siapa yang layak menjadi raja. Sebab, degan yang sering disebut sebagai lambang turunnya wahyu tadi ditemukan oleh Giring III dan diminum tanpa izin oleh Pemanahan.
Keduanya baru berhenti di wilayah Gunung Pasar, Dlingo. Di sini, mereka menyepakati bahwa keturunan Pemanahan akan menjadi raja hingga 7 kali alias berhenti di keturunan ketujuh.
Tujuh makam (kijing pitu) di puncak Gunung Pasar ini konon disebut sebagai tanda dari perjanjian 2 sosok tadi.
Jika kisah degan Gagak Emprit banyak dikisahkan pada literatur-literatur tentang sejarah Mataram Islam maka tidak halnya dengan kisah kijing pitu. Babad Tanah Jawi (W.L. Onthlof, 2017) sama sekali tidak menyinggung soal ini.
Sementara, H.J. De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram hanya menyinggung perjanjian keduanya soal berpindahan tahta Mataram Islam setelah keturunan ketujuh Pemanahan.
Selayaknya kisah-kisah kuno, terdapat beberapa versi tentang kijing pitu. Kali pertama saya mendengar kisah ini adalah dari juru kunci di makam Ki Ageng Giring III.
Ia menjelaskan secara dramatis bahwa 7 makam tadi muncul tiba-tiba. Biasanya disebut dengan makam tiban.
Saya mulanya membayangkan ini seperti kisah sekaran sepen Sultan Agung di Giriloyo. Sebuah makam yang tiba-tiba hadir seakan jatuh dari langit dengan bentuk fisik yang relative besar dibandingkan lainnya.
Kembali ke rute perjalanan menuju makam, setelah melintasi tower di Dusun Koripan I, saya berbelok ke kanan, meniti jalanan dengan batu kapur. Di depan, ada sebuah jalanan menanjak. Motor kemudian saya titipkan ke rumah di dekat jalan naik tadi.
“Mangga, silakan,” sahut si empunya rumah saat saya meminta izin.
Gunung Pasar
Ketika saya menjelajahi internet, sebuah sumber menulis bahwa bukit tempat saya berdiri itu disebut Gunung Pasar. Penamaan ini merujuk pada ramainya aktivitas di tempat tersebut dari para peziarah yang sering berbagi makanan atau berkat.
Memang secara geografis, lokasi ini adalah sebuah bukit kecil yang mirip gunung dengan kontur berbatu. Di sisi selatan bukit tersebut terdapat tangga menuju ke sebuah halaman berlantai semen kasar dengan pagar berupa strimin besi dengan tinggi setengah meter.
Di dalam halaman tersebut terdapat 7 kijing atau nisan. Berjajar dari barat ke timur. Ada pula satu pendopo limasan berlantai semen, satu gazebo kayu, dan satu bangunan yang belum selesai.
Enam makam memiliki gaya nisan hanyakrakusuman polos tanpa tulisan dan ukiran apapun. Sementara satu makam memiliki nisan berbeda, bentuknya mirip dengan makam umum. Lalu terdapat sebuah pohon berpagar kayu.
Tujuh makam ini nyatanya sudah dibentuk dengan semen alih-alih batu utuh ala sekaran sepen di Giriloyo. Beberapa bagiannya dijalari lumut dan punya warna berbeda-beda. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semen dipasang tidak dalam satu waktu bersamaan.
Jawaban dari semua keanehan itu saya temukan di rumah bagian bawah makam, tempat saya menitipkan sepeda motor. Empunya rumah memperkenalkan diri sebagai Parman (53). Kakaknya adalah satu-satunya juru kunci Keraton Yogyakarta di Petilasan Gunung Pasar.
Parman memang bukan juru kunci. Namun ia dipasrahi kakaknya untuk mendampingi dan mengantar peziarah jika sang kakak sedang pergi.
“Kijing pitu itu petilasan atau makam, Pak?” tanya saya.
“Menurut simbah-simbah saya dulu,” Parman memulai ceritanya.
“Kijing-kijing di atas itu adalah petilasan, di sana dimakamkan rambut dari Ki Ageng Pemanahan.”
Sepenuturan Parman, bentuk makam-makam tadi berubah belum lama. Dulunya, itu semua berbentuk tumpukan batu hitam yang direnovasi sekitar setahun lalu.
“Renovasinya sudah pandemi kok, bareng sama pembangunan tangga,” lanjutnya.
Selain meninggalkan 7 makam misterius, 2 tokoh besar di masa awal Mataram Islam tadi juga meninggalkan jejak lain berupa 7 pohon besar di sekitar area makam. Konon, pohon itu muncul dari bekas tongkat Pemanahan saat ditancapkan ke tanah. Kini, hanya tersisa 1 pohon di sebelah barat petilasan.
Enam lainnya telah tumbang satu per satu. Bahkan ada satu pohon yang terbakar misterius.
Parman membenarkan sendiri bahwa petilasan ini sangat sering didatangi peziarah. Tujuannya demi kelancaran hajat peziarah. Seperti menaikkan derajat kehidupan atau pangkat.Para peziarah itu biasanya akan menggelar syukuran bersama warga sekitar makam jika hajat terkabulkan.
“Yang sering ke sini biasanya calon lurah sama calon anggota DPR,” lanjut Parman. Beberapa nama pejabat turut ia sebutkan.
Parman melanjutkan ceritanya tentang aneka pantangan di Gunung Pasar. Konon, bukit ini diberi nama demikian karena sering terdengar suara ramai dari puncaknya.
Kata Parman, batu, tanah, dan kayu dari area bukit ini tidak boleh digunakan oleh orang dari luar dusun Koripan I. Acapkali, ungkap Parman, beberapa peziarah mencuri-curi kesempatan untuk mengambil tanah dari area sekitar petilasan demi tujuan tertentu.
“Bahkan pernah ada kejadian orang meninggal karena membawa pulang tanah dari petilasan, dia kamituwa di dusunnya. Meninggalnya selang seminggu setelah dia ambil tanah,” kata Parman.
Minim perhatian
“Nah itu yang saya juga menyayangkan,” tutur Parman lirih saat saya bertanya soal perhatian pihak-pihak terkait soal tempat ini. Ia bahkan mengatakan bahwa Petilasan Gunung Pasar belum lama berada di bawah kewenangan Keraton Yogyakarta.
“Simbah-simbah saya dulu mengabdinya malah ke Surakarta,” ungkap Parman yang keluarganya secara turun temurun menjadi juru kunci petilasan.
Baru di masa kakaknya status juru kunci berada di bawah Keraton Yogyakarta. Keberadaan berbagai fasilitas di petilasan, sebut Parman, malah datang dari Pemerintah Kabupaten Bantul.
“Kalau sama kabupaten malah diperhatikan,” imbuhnya.
Pencarian saya di internet soal petilasan ini juga menunjukkan bahwa tempat ini belum menjadi sebuah situs cagar budaya. Sebab, tidak muncul informasi tentang lokasi petilasan ini dari laman cagar budaya manapun.
Walaupun demikian, Petilasan Gunung Pasar punya tempat di hati masyarakat Dusun Koripan I. Setiap malam Jumat kliwon, warga mengadakan mujadahan di puncak bukit ini.
Selain itu, kegiatan Rasulan juga biasa dipusatkan di Gunung Pasar,. Tidak di pemakaman umum warga. Ini menarik, sebab, tidak semua petilasan atau makam kuno punya kegiatan demikian. Di waktu dekat, warga juga berencana memperbaiki jalan menuju makam dengan semen.
Semangat dan rasa memiliki warga samar-samar terekam dalam sebuah tulisan di pendopo dekat petilasan. “Warisan Dlingo itu sejarah, bukan sampah” demikian tulisan di sebuah banner yang mulai memudar.
Saat saya pamit, Parman mengundang saya untuk hadir di acara Rasulan esok Juli. Selepas lebaran haji.
Sepanjang perjalanan pulang imajinasi saya berkelana. Bagaimana jika dulu keturunan Pemanahan benar-benar hanya bisa menjabat jadi raja di Jawa selama 7 keturunan? Apakah lantas tempat ini akan menjadi sebuah petilasan bersejarah demi legitimasi hal tersebut?
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Makam di Desa Sodo dan Kisah Pencarian Wangsit Mataram Islam dan liputan menarik lainnya di Rubrik Susul.