Makam Raden Bagus Khasantuko berada di Godean, Sleman. Makam ini unik karena tak punya juru kunci. Menurut catatan, Raden Bagus Khasantuko merupakan keturunan Raja Mataram Islam yang keluar dari keraton untuk menyebarkan agama islam.
***
Suatu ketika saya pernah diberi nasihat oleh seorang juru kunci makam kuno: “Kalau njenengan memang mau mendatangi pasareyan kuno, tidak usah didaftar, ikuti kata hati aja,” begitu pesannya.
Tentu saja saya hanya mengiyakan perkataan itu tanpa memikirkannya secara serius. Hingga suatu malam, rasa bosan melanda. Berbagai agenda coba saya pikirkan. Mengajak kawan nongkrong, nonton film, atau pergi tidur. Namun, menjelang pukul 9 malam otak malah menghadirkan satu opsi baru: ziarah.
Menarik. Tak pakai lama, jadilah saya bersiap untuk melakukan ziarah malam. Kali ini, makam di daerah Godean menjadi tujuan saya. Namanya Makam Raden Bagus Khasantuko.
Secara pribadi saya tidak punya pertautan khusus dengan makam itu. Yang saya ketahui adalah makam itu sering dikunjungi peziarah dari berbagai kota dan tenar sebagai salah satu tempat wisata religi.
Malah, di bulan tertentu, bus peziarah mudah terlihat di tepi jalan Godean tepatnya di Dusun Senuko I, Sidoagung, Godean, Sleman. Melawan malam, saya menziarahi tempat itu setelah sesapan kopi terakhir.
Anak raja
Nama Raden Bagus Khasantuko mulai terang bagi saya setelah menulis soal pemakaman ulama di Gunungpring, Muntilan, Magelang. Nama ini ternyata masih mempunyai hubungan darah dengan salah satu ulama terkenal asal Muntilan yang juga dimakamkan di komplek Gunungpring, Kyai Dalhar atau Mbah Dalhar Watucongol, seorang ulama besar dari Pondok Pesantren Darussalam Watucongol.
Merujuk ke informasi di laman resmi Kabupaten Magelang tentang pesantren ini, Kyai Dalhar adalah cicit dari sosok bernama Hasan Tuqo. Jika diurutkan, Hasan Tuqo memiliki anak bernama Abdurrauf. Abdurrauf memiliki anak bernama Abdurrahman dan nama terakhir ini memiliki anak Kyai Dalhar.
Di masa Perang Jawa, Abdurrauf menjadi salah satu anak buah Pangeran Diponegoro. Konon, Abdurrauf diserahi tugas mempertahankan daerah Muntilan. Nama ini disebut sebagai pendiri cikal bakal Pondok Pesantren Darussalam Watucongol.
Laman tersebut juga menyebutkan bahwa Hasan Tuqo memilih hidup menyepi dan menyebarkan agama Islam di daerah Godean, Yogyakarta. Nama desa tempat sosok itu tinggal disebut Tetuko.
Nama Hasan Tuqo dan Khasantuko sekilas mirip. Hasan dengan Khasan dan Tuqo dengan Tuko. Bandingkan pula nama Senuko dan Khasantuko yang sekilas terdengar mirip. Pada akhirnya, berbagai sumber mengatakan bahwa 2 nama tadi adalah orang yang sama.
Membuka kisah Bagus Khasantuko—yang dalam berbagai sumber disebut mempunyai nama ningrat Bagus Kemuning—membuat saya teringat dengan kisah Kiai Nur Iman di Mlangi. Mereka disebut dengan latar belakang mirip: anak raja namun enggan tinggal di keraton dan lebih memilih menyebarkan agama.
Papan informasi di area makam Raden Bagus Khasantuko menuliskan bahwa sosok ini merupakan salah satu anak dari Raja Mataram Islam, Amangkurat III atau Amangkurat Mas (berkuasa dari 1703-1705). Sementara informasi di laman Kabupaten Magelang menambahkan bahwa Bagus Khasantuko memilih keluar dari lingkungan keraton untuk menyebarkan agama dan enggan hidup dalam alam kepriyayian.
Sebagai makam kuno, peziarah di Makam Raden Bagus Khasantuko lebih dekat ke kelompok peziarah Islam. Ini mirip dengan tren peziarah di Makam Wotgaleh dan Makam Kyai Nur Iman Mlangi yang lebih tenar sebagai tokoh penyebar agama Islam.
Kehidupan malam di makam
Senin (20/6/2022) malam, waktu menunjukkan hampir pukul 22.00 WIB. Tidak berlebihan jika tempat ini disebut sebagai destinasi wisata religi. Area halaman makam ternyata luas dan tertata rapi.
Suasana malam itu bisa dibilang ramai. Di bawah naungan lampu temaram, pengunjung berkumpul di berbagai lokasi seperti di musala, sendang, angkringan, dan area parkir.
Makam Raden Bagus Khasantuko berada di atas sebuah sendang. Ada 3 tingkatan lantai dari sendang menuju makam. Makam berada di bawah sebuah pohon preh dan berpagar besi.
Saat saya naik, seorang peziarah sedang khusyuk berdoa beralas sajadah. Tampak pula sebaran bunga yang masih segar di bagian atas makam.
Mata saya menangkap bahwa makam itu berukuran besar. Lebih besar daripada makam pada umumnya. Kepala nisannya bergaya hanyakrakusuman.
Di sudut makan sisi utara, terdapat 2 lampu taman sebagai penerangan. Sementara di bawah makam utama, terdapat 2 makam yang disebut warga sekitar sebagai anak buah Bagus Khasantuko semasa hidup. Terdapat sebuah pendopo kecil di dekat 2 makam tersebut.
Saat saya melintas, 4 orang sudah saling berhimpit berselimut sarung di pendopo itu. Sementara, seorang pria lain duduk termenung sembari memegang sebuah botol air yang ia isi di area sendang beberapa waktu sebelumnya.
Tidak seperti makam kuno lainnya, tidak ada juru kunci di Makam Raden Bagus Khasantuko. Beberapa warga mengatakan bahwa makam berada di bawah pengelolaan Dusun Senuko I. Pengelolaan ini bisa dilihat dari keberadaan tukang parkir di area makam yang berjaga 24 jam.
Saya lantas menuju ke musala yang diberi nama Musala Khasantuko. Seorang tukang parkir menyambut dan mempersilakan duduk. Ia memperkenalkan diri sebagai Maman, seorang warga dusun lain namun sering ikut menjaga parkir di area makam. Saya pun mulai menggali cerita tentang makam ini dari dirinya.
“Saya sejak muda memang suka main ke tempat seperti ini,” kata Maman.
Ia mengatakan sudah mulai ikut mengelola parkir bahkan sebelum fasilitas di sekitar makam di bangun. Menurut penuturannya, dulu, tempat sekitar makam ini adalah persawahan.
Mulanya, saya mengira bahwa musala yang ada di dalam kompleks makam adalah bangunan lawas peninggalan Raden Bagus Khasantuko. Namun, Maman menjelaskan bahwa musala ini dibangun bersamaan dengan pembangunan fasilitas lain di area makam.
Sementara tentang sendang yang konon tidak pernah kering dan disebut warga sebagai Sendang Bagusan, Maman tidak tahu menahu cerita sejarahnya.
Saya hanya bisa menerka dan membayangkan, jangan-jangan kisah sendang ini mirip dengan sendang peninggalan tokoh di tempat lain dalam cerita rakyat di Jawa: si tokoh hendak wudu, tidak ada air, lalu menancapkan tongkat, dan jadilah mata air.
Saat Maman terlihat kian mengantuk, saya pamit undur diri dan berpindah ke angkringan. Dari kejauhan, tampak 3 orang tidur di tempat parkir sebelah selatan. Televisi di depan mereka menampilkan penyanyi dangdut.
“Njaluk kopi siji!” seru seorang pria di angkringan. “Mumet aku nang ngomah,” terangnya tanpa diminta.
“Lha ngopo, Kang?” tanya si ibu penjual angkringan.
“Ndelok bal-balan kok malah mumet. Tak pateni tinggal rene wae!”
Segelas teh panas saya pesan. Di angkringan, seorang pria terkantuk-kantuk sambil melihat video di gawainya. Ia sandarkan gawainya di segelas kopi.
Dari kejauhan, saya melihat 2 mobil berhenti. Beberapa orang muncul dengan sarung dan kerudung, dari obrolan mereka, saya menyimpulkan bahwa mereka datang dari kalangan santri.
Malam belum habis di Makam Raden Bagus Khasantuko dan saya belum ingin pulang. Namun, satu tempat lain seakan memanggil hati saya. Sebuah makam lawas berjarak 3 kilometer dari Senuko.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi