Warung Bu Spoed, sudah berusia sekitar 100 tahun. Warung yang tak begitu besar ini menyajikan menu-menu sederhana yang bertahan hingga empat generasi. Warung makan di Yogya yang dikenal juga dengan sebutan Warung Mbah Galak, pernah menolak utusan Sultan HB IX yang mau memborong tahu dan tempe bacem dari warung ini.
****
Rasa penasaran tentang warung makan di Yogya yang sudah berusia 100 tahun membawa saya mendatangi Warung Bu Spoed di Jalan Ibu Ruswo No.32, Gondomanan. Sayang, begitu saya sampai ternyata warung Bu Spoed telah tutup selama tiga hari belakangan dan akan buka lagi besok.
Keesokan harinya, saya mencoba untuk kembali ke warung makan Bu Spoed. Lega, warung itu masih buka dan tak terlalu ramai. Hanya ada satu-dua orang yang mengantre pembayaran. Namun, ketika melihat meja makan, saya garuk-garuk kepala, kok kosong?
Oh ternyata, saya hanya terlambat beberapa menit sebelum habis. Walau sedikit kecewa, tapi tak apa-apa karena hari itu saya bisa bertemu dengan Sari Dwijayanti, pemilik sekaligus penerus Warung Bu Spoed ini. Senyuman ramah menyambut kedatangan saya yang kesiangan.
“Waduh Mbak, maaf udah habis jadi belum bisa sambil ngincip,” ucapnya dengan selipan perasaan tidak enak hati sembari mempersilahkan saya duduk di dalam.
Saya nyengir sambil terheran-heran, padahal ini masih pukul 12 siang. Berarti lebih cepat 3 jam dari jadwal warung ini biasanya tutup, “Nggak papa, Mbak. Cepet banget habis, ya?”.
Sari tertawa kecil, ia mengaku warung ini sering tutup lebih awal dari jadwal. Banyak orang- orang yang sering kesiangan atau istilah jawanya ‘kecelik’ begitu sampai sini. Padahal selama kepengurusan Sari, ia telah menambah banyak ragam menu masakan, kurang lebih ada 60 menu sayur dan lauk- pauk yang dihidangkan tiap harinya. “Paling banyak ada 60, bisa kurang tiap harinya soalnya tempatnya ndak cukup. Menu banyak pun juga cepet habis,” ujar perempuan berumur 33 tahun itu.
Julukan ‘Spoed’ dan Mbah Galak dari pelanggan
Berdiri pada tahun 1920-an, warung yang didirikan oleh Mbah Harjo, mbah buyut Sari, ini tak melayani makan di tempat. Hanya bungkus atau take away. Warungnya sederhana, hanya berada di dalam rumah Mbah Harjo dan suami. Seperti layaknya rumah zaman dulu, hanya bilik-bilik dari anyaman bambu dijadikan tembok rumah.
Menu yang dihidangkan pun juga sederhana, tak terlalu banyak karena dikerjakan sendiri oleh Mbah Harjo. Sejak remaja, kedua tangan Mbah Harjo telah lincah meracik bumbu dan rempah-rempah di dapur untuk menghasilkan berbagai masakan lezat. Terik daging, empal goreng, paru krispi, hingga oseng-oseng lombok peto jadi masakan unggulan yang sering dicari pembeli saat seratus tahun yang lalu.
“Oseng-oseng lombok peto itu semacam masakan lombok ijo diiris tipis dicampur dengan tempe kecil-kecil,” ungkap Sari begitu menyadari kernyitan bingung dari saya. Baru dengar.
Saya mengangguk sambil membayangkan seperti apa bentuknya, “hm, kayak oseng?”
“Beda banget. Kalau oseng kan tempe nya yang dimakan, lombok jadi pelengkap. Kalau ini lomboknya yang dimakan,” Sari bergumam, menu itu memang belum dikeluarkan lagi dari generasi ketiga hingga sekarang. Ia sendiripun sudah lama sekali tidak merasakannya.
Selain masakan-masakan lezatnya, warung ini juga terkenal karena kecepatan tangan Mbah Harjo ketika melayani pembeli. Nama “Warung Bu Spoed” yang dipakai hingga sekarang pun diberi oleh para pembelinya dulu. Spoed, plesetan kata dari speed yang memiliki arti cepat. “Karena orang jaman dulu sulit bilang speed, maka disebut Spoed atau dibaca sput sput,” ujar Sari.
Tapi saking lamanya warung ini berdiri, Sari mengaku hanya mendengar cerita tersebut dari mulut ke mulut para pembelinya yang masih setia hingga sekarang. Ada juga versi cerita yang menyebutkan kata “Spoed” berasal dari kata “Pit” yang berarti sepeda dalam bahasa jawa.
“Kebetulan, dulu suami Mbah Harjo juga punya bengkel sepeda di sebelah warung makannya, bisa juga nama spoed pelesetan dari pit,” Sari melanjutkan, dirinya tak berpikir terlalu panjang terkait darimana sebenarnya nama spoed berasal. Yang jelas, Sari sangat bersyukur dengan nama yang mampu membuat warung mbah buyutnya mampu bertahan hingga empat generasi
Tak hanya terkenal dengan sebutan Bu Spoed, ungkapan “Warung Mbah Galak” pun sempat muncul untuk menamai warung yang dulu berada Pojok Beteng Utara Timur tersebut. Warung Bu Spoed pindah karena area Beteng Keraton Yogayakarta dipugar.
“Nggak cuma Mbah Harjo, anak Mbah Harjo atau simbah saya juga terkenal galak, tapi setelah generasi mama sampai saya udah nggak galak lagi,” kenang Sari.
Pernah suatu ketika saat bersama simbah, Sari sedang menemani beliau untuk memotong bumbu-bumbu. Pintu pun dibukanya satu supaya cahaya dapat masuk. Tiba-tiba ada seorang pembeli yang datang dan berkata pada simbah, “Bu, mau beli,”
Tanpa melirik pembeli, simbah dengan judesnya menjawab, “Belum buka!!”
Saat mendengar itu, Sari langsung merasa tidak enak hati dengan si pembeli. Padahal hanya kurang satu jam warung tersebut buka, beberapa masakan pun sudah ada yang siap. Akhirnya, si pembeli memutuskan untuk menunggu di luar hingga buka.
Namun sisi positifnya, nilai-nilai kedisiplinannya itulah yang dipraktikan oleh Sari hingga sekarang, apalagi soal waktu. “Saya modif dengan cara yang lebih halus, kalau belum waktunya buka ya saya tutup pintunya. Mau berapa banyak pelanggan menunggu di luar, nggak papa,” akunya
Menu habis dan rezeki secukupnya
Hingga sekarang ada seorang pelanggan yang masih setia mendatangi warung makan Bu Spoed sejak zaman Mbah Harjo. Ia adalah seorang kakek tua berumur sekitar 80-an. Walau kulitnya sudah mengeriput, otaknya masih mampu mengingat semua menu dan rasa masakan warung ini dari generasi pertama. Setiap datang, pria tua itu harus menaiki bangku kecil untuk melihat rupa-rupa masakan yang dihidangkan. Konon, berpuluh-puluh tahun yang lalu, tiap selesai mandi sore sang kakek yang dulunya masih kecil, sekitar TK-SD, diajak oleh asisten rumah tangganya untuk memilih makanan di warung milik Mbah Harjo.
View this post on Instagram
Menu-menu di Warung Bu Spoed.
Rupa-rupa masakan telah dijajalnya, hingga ia paham betul apa saja menunya dan bagaimana rasanya. Kebiasaan itu tak hanya dilakukan oleh sang kakek saat masih kecil, ketika warung Bu Spoed dipindahtangan oleh anak Mbah Harjo, Cucu Mbah Harjo, hingga sekarang oleh Cicit Mbah Harjo alias Sari pun ia selalu menyempatkan diri untuk menikmati hidangan warung ini.
“Beliau nggak pernah komplain soal rasa masakan, karena masih sama. Cuma ya, sering komplainnya: kok gak ada masakan ini itu ya?” ucap Sari sambil menirukan gaya kakek.
Sari mengakui, ada beberapa masakan legendaris yang memang sudah lama tak dikeluarkan lagi. Tapi, perihal rasa masakan yang ada, ia jamin mirip dengan masakan asli dari Mbah Harjo. “Sampai sekarang kami masih mempertahankan cara tradisional dari mbah buyut. Semua bumbu kami uleg, dirajang, diparut manual menggunakan tangan bukan blender atau lainnya,” katanya.
Sari melanjutkan, tradisi itu memang membuat ia dan para pegawainya kewalahan karena harus membuat masakan dalam skala besar dengan cara serba manual. Tapi apa boleh buat, semua itu ia lakukan demi menjaga cita rasa masakan mbah buyutnya. “Kalau kata orang jawa, bikin bumbu dengan cara manual itu lebih mantep. Kalo pake alat, nanti beda rasanya,” ujarnya sambil mengelap keringat di dahi. Raut wajahnya terlihat lelah karena sedari pagi ikut mengurus masakan di dapur.
Kegiatan ini ia lakukan setiap hari. Meski telah memiliki lima pegawai, dari pagi hingga siang Sari tetap harus riweuh. Sebab, semua resep andalan yang ada disini adalah resep rahasia keluarga. Tak ada yang boleh tahu selain keluarga besar Mbah Harjo. Paling-paling, ketika membuat bumbu- bumbu masakan dan ungkepan, Sari hanya dibantu oleh sang suami, mama, dan budenya. Pegawai yang lain hanya sekedar menggorengnya saja.
“Padahal bikin beberapa menu ungkep itu harus satu-dua hari Mbak. Kayak empal, saya bumbui pagi ini, baru bisa dihidangkan besok siang,” ucapnya. Tak heran, ketika saya mencicip empal goreng di keesokan harinya, tekstur dagingnya sangat empuk dengan rasa yang merasuk.
Sari bergumam sambil melirik etalase makanan yang mulai dibersihkan karena telah habis sejak berpuluh menit yang lalu, “Kalau makanan sudah habis pun, tidak akan kami restock di hari itu juga. Pesan Mbah Harjo, rezeki itu secukupnya. Jika hari itu sudah habis, yasudah berarti rejekinya memang segitu,” kata Sari.
Itulah yang membedakan warung Bu Spoed dengan lainnya, jika banyak warung lain yang bisa membuatkan masakan kembali jika salah satu menu cepat habis. Maka, warung Bu Spoed tidak mau dan tidak akan. Walau sekedar mengosengkan kembali, menggorengkan kembali beberapa menit, mereka tak akan melakukannya. Menurut Sari, itu adalah prinsip sederhana yang diturunkan Mbah Harjo pada tiap generasi-generasinya, dan ia berjanji untuk menjaga itu.
Ujian telur ceplok untuk Sari
Berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya yang telah dipersiapkan sejak dini untuk menjadi penerus, Sari termasuk yang tidak terencana. Dulu, setelah menyelesaikan studi nya, Sari langsung merantau ke luar Jogja untuk mengadu nasib. Beberapa pekerjaan dan kota telah ia jajal, menjadi pegawai bank ataupun pegawai pabrik. Namun, rasa keinginannya untuk pulang ternyata lebih kuat dibanding dengan niatnya sejak lama untuk mencoba suasana perantauan. “Saya dulu bosan di Jogja terus, tapi akhirnya saya pengen pulang ke Jogja,” ujarnya tersenyum lebar.
Pengalaman merantau tak pernah disesali. Beberapa bulan ia sempat hidup di tanah sunda, mengantarkan Sari bertemu dengan laki-laki yang menjadi suaminya, sekaligus sebagai partner usaha Warung Bu Spoed yang ia kelola. “Mitos orang Jawa gak boleh sama Sunda, kurang berlaku sama saya. Sekarang saya malah bisa inovasi bikin masakan Sunda-Jawa di sini,” Sari nyengir.
Akhirnya, dengan beberapa pertimbangan ia memutuskan kembali ke Jogja dan bertemu dengan sang mama. Sari bertekad untuk belajar dari nol supaya meneruskan usaha Mbah Harjo. Termasuk belajar memasak. Sebab, penerus usaha Mbah Harjo minimal harus tahu tentang resep setiap masakan Mbah Harjo. Hanya penerusnya dan keluarganya lah yang boleh memasak resep rahasia turun temurun dari Mbah Harjo.
“Tes pertama saya itu masak telor ceplok, astaga saya benar-benar gak bisa masak waktu itu. Telor ceplok aja gagal total,” Sari tertawa mengingat betapa histerisnya dia saat mengikuti ujian pertama mamanya.
Masuk ke dapur, bau asap, dan keringat yang bercucuran saking panasnya tak pernah dirasakan Sari selama ia bekerja kantoran. “Ah! Lengket semua waktu itu Mbak di dapur, tiap detik panggil mama. Ya gini lah, biasa pake AC,” Sari tertawa lagi.
“Apalagi dulu di tes pake arang, karena disini masak memang menggunakan arang semua,” lanjutnya.
Ujian telor ceplok akhirnya terlewati setelah melakukan beberapa kali percobaan. Tidak gosong, keasinan, atau kurang matang, semua rasa pas. Step selanjutnya pun Sari jalani lagi, beberapa jenis masakan sederhana hingga rumit perlahan diajarkan langsung oleh Mama Sari yang saat itu masih menjadi pengelola warung makan Bu Spoed. Hingga pada akhirnya, Sari dinyatakan lulus dan mampu memegang amanah sebagai generasi keempat penerus warung makan Bu Spoed.
Selama ujian masak, ada satu hal yang paling Sari ingat. Ketika mencicipi masakan, tak cukup hanya satu lidah, tapi minimal tiga. Walau hanya masakan simple seperti telor ceplok, hasil masakannya selalu diincip oleh sang mama, suami, dan Sari sendiri.
“Lidah dan selera orang kan berbeda, kalau enak bagiku belum tentu buat mama juga enak. Jadi biar gak subjektif amat, sampe sekarang aku selalu praktikin buat minimal tiga orang ngincip masakan di sini,” ujar Sari.
Selain itu, hal yang selalu ia jaga adalah perihal kebersihan. Prinsipnya, setiap yang disajikan bagi pelanggan akan dikonsumsi juga oleh keluarga dan para pegawai. “Mama saya selalu bilang gini, tiap apa yang kamu kasih ke pembeli. Itulah yang kamu kasih buat keluarga dan kamu sendiri,” Sari bercerita.
Hal-hal kecil pun selalu diperhatikan mamanya. Nyuci kangkung harus 3-4 kali, kalau cuma sekali pasti masih terasa kotor dan tak jadi dimasak.
“Ini kamu nyuci berapa kali? Sekali kan? Masih kotor gini, gak usah dihidangin di depan,” ucapan Sari meniru mama nya yang kala itu sempat mengomel dengan salah satu pegawainya.
“Nggak cuma kebersihan makanan Mbak. Kalau mbah buyut dulu selalu ngajarin ke kami semua. Sebelum warung buka, cek juga kamar mandi. Kata beliau, kebersihan warung dilihat dari kamar mandinya,”
Tolak utusan Sultan HB IX yang mau borong masakan
Sejak awal berdirinya, Warung Makan Bu Spoed terkenal di semua kalangan, dari pelajar/mahasiswa, montir, sopir, pegawai, hingga pejabat. Walau sudah melegenda, kata “warung” masih dipertahankan untuk menghindari rasa takut bagi beberapa kalangan yang ingin makan di Warung Bu Spoed.
“Kami bisa saja mengganti dengan rumah makan atau restoran, bangunannya juga sudah lebih bagus. Tapi kami nggak mau, biar tetap merakyat. Coba aja, diganti ‘Resto Bu Spoed’, saya kalau jadi pelajar mikir dua kali lah,” ungkap Sari sambil tertawa kecil.
Perempuan yang dulu sempat bekerja di bank ini mengatakan, dari dulu hingga sekarang ia juga tak pernah pilih-pilih pelanggan. Prinsipnya, siapa cepat dia dapat. Walau ada pejabat tiba-tiba datang, jika memang ada antrean, ya silahkan mengantre. Bagi Sari, semua orang yang makan di Warung Bu Spoed ini sama, sama- sama pembeli.
Sari jadi ingat satu cerita dari simbah atau generasi kedua dari Warung Bu Spoed. Dulu, simbah memiliki satu pembeli langganan, yaitu kepercayaan dari kraton. Pagi hari, seseorang berseragam kraton itu datang ke warung Bu Spoed yang masih berada di tikungan pojok benteng. Beberapa orang sudah mengantre di sana.
“Bu, saya dari keraton,” ucap pria itu sambil mendekati simbah. Simbah yang terkenal galak pun, dengan tegasnya menjawab, “Silahkan ikut antrean, nggih,”
Rupanya, pria itu diminta oleh Sultan Hamengkubowono IX untuk memborong menu masakan kesukaannya, tahu-tempe bacem. Seusai mengantrei, pria yang merupakan tangan kanan sultan mengatakan ingin membeli semua tahu-tempe bacem yang tersedia.
Dengan tegas, simbah menjawab lagi, “Nggak bisa. Ini buat pembeli nanti,” dengan tangannya yang masih sibuk membungkus masakan lain, beliau melanjutkan, “Kalau mau ya, setengah aja. Kalau semua nggak boleh, kasian pelanggan lain yang cari,” kata Sari menirukan simbahnya.
Sari tertawa sambil geleng-geleng mengingat kegalakan simbahnya itu. Padahal kalau dipikir- pikir, tahu-tempe itu akan sama-sama laku, hanya saja lebih cepat karena diborong. Simbah pun masih bisa menjual makanan lain yang masih ada ke para pelanggannya. “Tapi namanya simbah, dia mikir kasian kalau ada pelanggan jauh datang ke sini cuma buat tahu tempe bacem, eh ternyata habis,” ucap perempuan yang juga pernah tinggal di Semarang selama kurang lebih satu tahun itu.
Hingga sekarang, menu ini menjadi menu yang paling cepat habis dan saya sudah membuktikannya sendiri. Selang beberapa hari setelah bertemu dengan Sari, saya datang ke warung yang hanya membutuhkan waktu perjalanan 5 menit dari rumah. Percobaan pertama, saya gagal seperti di awal, pintu warung telah tertutup rapat.
Percobaan kedua, saya gagal lagi, semua masakan telah habis dan pintu warung sudah setengah tertutup. Akhirnya pada percobaan ketiga, saya mencoba untuk berangkat pukul sembilan pagi dari rumah. Saya lega karena melihat warung makan berbanner kuning ini masih buka dan beberapa pengunjung antre di dalamnya. Setelah memarkirkan motor Mio kesayangan di depan warung, saya masuk.
“Pesan apa?” ucap salah seorang pegawai.
“Saya pesen tahu-tempe bacem ya, Mbak,” jawab saya dengan penuh percaya diri.
Dua pegawai celingukan mencari menu yang dimaksud, selang beberapa detik satu pegawai menghampiri saya yang masih berdiri di depan etalase makanan. “Maaf, Mbak. Sudah habis,” ucapnya.
Saya terkejut sekaligus heran, kedatangan saya hanya selisih kurang lebih satu jam warung ini buka. Tapi, masakan incaran sudah habis tanpa sisa satupun. Dengan berat hati, saya memesan menu lain yang tak kalah legendaris: empal goreng.
Baceman ala Warung Makan Bu Spoed sering dicari oleh para pelangganya. Salah satunya sebut saja Irma, ia merupakan mantan anak rantau yang sudah kembali ke kampung halamannya. Saya mengenalnya dari seorang teman, katanya Irma ini salah satu pelanggan dari Bu Spoed.
Bagi perempuan yang sudah lulus kuliah ini, banyak hal yang dirindukan dari Jogja, salah satunya baceman Warung Makan Bu Spoed. “Dulu kontrakanku deket banget sama warung ini, hampir tiap hari beli lauk. Uang 15 ribu bisa buat seharian. Tapi, kalau mau cari yang lebih murah banyak, cuma soal rasa, Bu Spoed juara,” ujarnya.
Jika mengingat dulu hampir setiap ke sana ia selalu mencari tempe dan tahu bacem. Bukan karena tak suka ayam atau menu lainnya, melainkan karena lauk itu lebih murah dibandingkan yang lain, “Yah, mungkin bagiku dulu makan disini udah termasuk mewah, apalagi cobain empalnya. Bisa dihitung jari,” katanya.
Selain Irma, pelanggan lain yang sempat saya temui adalah Rani (28). Ia menjadi salah satu pembeli yang hampir dibilang rutin menyantap masakan Warung Makan Bu Spoed. Makanan favoritnya adalah oseng daun pepaya dan bacem. Ia memang jarang makan di tempat, biasanya selalu pesan bungkus untuk keluarga di rumah. “Andalan kalau males masak,” ucapnya.
Yang disukai Rani dengan warung ini adalah masakan yang bermacam-macam tiap harinya. Selain itu, harganya pun cukup murah di kantong. Soal rasa, Rani tipikal yang agak pilih-pilih makanan, tapi hampir semua masakan di warung makan Bu Spoed ini cocok bagi Rani. “Belum ada setahun saya nemu warung ini, kayak hidden gems gitu,” kata perempuan asal Yogya ini pamit.
BACA JUGA Mahasiswa yang Pilih Jualan di Masa Sulit liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.