Ada yang unik di Rumah Makan Padang Jaya 1977. Selain menjual masakan Padang, rumah makan ini juga menjual koleksi kaset tua yang jumlahnya mencapai ribuan. Sembari makan sepiring nasi rendang kamu juga bisa lihat koleksi album musisi dari tahun 60-an.
***
Siang itu, Selasa (18/1) langit Kota Semarang tampak mendung. Padatnya kondisi Jalan Bubakan yang berada di sekitar Museum Kota Lama, Semarang, bikin pening. Karena belum makan, saya langsung tancap gas mencari warung makan.
Saya teringat, ada satu rumah makan Padang yang unik di sekitar Bubakan. Warung ini tak hanya menyajikan nasi dengan lauk khas Padang, tapi juga punya koleksi kaset tua atau jadul (zaman dulu) yang jumlahnya tak terkira!
Ya, warung tersebut adalah Rumah Makan Padang Jaya 1977. Lokasinya ada di komplek Ruko Bubakan A16, Jalan Agus Salim, Kota Semarang. Dekat bundaran Bubakan. Seperti rumah makan Padang pada umumnya, muka depan rumah makan terdapat beberapa mangkuk dan piring ditata sedemikian rupa dengan beragam sajian khas kuliner Khas padang di dalamnya.
Begitu masuk, pandangan saya langsung tertuju pada lauk rendang. Aromanya membius. Sembari memesan seporsi nasi rendang lengkap dengan es teh, saya lantas melihat suasana di dalam rumah makan.
Alamak, sejauh mata memandang, hamparan kaset tua bertumpuk di dalam Rumah Makan Padang 1977. Warna-warni sampul dari kaset tua yang ada di dalam Rumah Makan Padang Jaya 1977 itu menghiasi setiap sudut bangunan. Seluruh koleksinya ada dalam kondisi baik.
Bola mata saya pun dibuat berlarian ke sana kemari melihat satu persatu kaset tua yang ada. Kagum, takjub, sekaligus heran campur aduk melihat ribuan kaset tua yang ada di dalam rumah makan padang itu.
Terbesit dalam benak saya, kaset tua yang berjubel di dalam rumah makan Padang ini apakah koleksi pribadi atau dijual? Jika memang koleksi pribadi hebat betul pemiliknya.
Sembari menunggu hidangan, saya bertanya apakah pemilik Rumah Makan Padang Jaya 1977 ada di dalam. Mungkin sudah rezeki, orang yang saya ajak bicara dan mengambilkan nasi rendang dan es teh yang saya pesan adalah sang pemilik Rumah Makan Padang Jaya 1977.
Tak menunggu lama, sang pemilik Rumah Makan Padang Jaya 1977 membawakan langsung pesanan saya ke meja. Setelah melahap pesanan nasi rendang dan segelas es teh, sang pemilik Rumah Makan Padang Jaya 1977 kembali menghampiri saya. Dia adalah Denny Kurniawan (49).
Menurut pria ramah itu, Rumah Makan Padang Jaya 1977 dan ribuan kaset tua di dalamnya adalah hal yang kebetulan. Ia berujar karena insiden terbakarnya Kapal Tampomas pada 1981 silam, ribuan kaset tua ditempatkan ke Rumah Makan Padang Jaya 1977.
Lantas, apa hubungannya insiden terbakarnya Kapal Tampomas kala itu dengan ribuan kaset yang ada di rumah makan ini? Denny pun menceritakan lebih detail mengenai hal ini.
Denny merupakan penerus kedua Rumah Makan Padang Jaya 1977, ia mewarisi ribuan kaset tua dari sang ayah. Sang ayah bernama Amir yang kini berusia hampir 80 tahun. Selain mengelola Rumah Makan Padang Jaya 1977, Amir juga pecinta musik sekaligus penjual kaset pita dari dekade 70-an.
“Selain membuka rumah makan padang, dulu ayah saya penjual kaset. Bahkan acap kali keliling berbagai daerah di Indonesia untuk menjual kaset, tak jarang ke Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, hingga Papua,” kata Deny.
Dilanjutkannya, selain berdagang kaset, sang ayah juga cinta dengan musik yang membuatnya sering singgah ke beberapa daerah. Pasca insiden kebakaran Tampomas silam, barang dagangan ayahnya kini berada di Rumah Makan Padang Jaya 1997. Jadilah selain menjual makanan khas tanah Minang, warung ini juga menjual kaset yang jumlahnya ribuan.
“Saat itu ayah saya berusia sekitar 30 tahun, ribuan kaset berbagai genre musik dari pop, rock, dangdut, jazz, keroncong, campursari hingga dongeng anak dijualnya,” jelas Denny.
Denny mengungkapkan, ribuan kaset tua yang ada di rumah makan miliknya adalah keluaran lintas generasi. Dari era 60-an, 70-an, 80-an, 90-an dan yang paling terbaru keluaran tahun 2000an.
Album koleksinya dari musisi dalam dan luar negeri. Inka Kristie, Koes Ploes, Nia Daniati, Panbers, hingga masa kecil Adi Bing Slamet dan Bondan Prakoso. Selain itu, ada juga album-album dari Louis Amstrong, Chuck Berry hingga The Doors. Lengkap.
“Kaset yang ada di sini itu macem-macem ya dari tahun 60-an sampai yang paling baru tahun 2012 itu kaset band Ungu,” kata Denny.
Ia bercerita mengenai para pembeli kaset yang menyambangi rumah makan miliknya. Tak hanya orang-orang lanjut usia. Namun, ia justru tertegun kaget tatkala seorang paruh baya bersama anak kecil membeli album grup band kawakan Panbers.
“Yang minta kaset bukan kakeknya, malah cucunya yang bilang pengen beli kaset Panbers,” tutur Denny.
Pengalaman yang membuat Denny berkesan lainnya adalah ketika seorang pembeli asal luar kota, sengaja datang ke Semarang hanya untuk membeli kaset di rumah makannya. “Pernah dulu ada pembeli dari luar kota, dia bilang datang ke Semarang cuma mau beli kaset ditempat saya,” ucap Denny.
Lebih lucunya lagi, ketika sang pembeli ingin menjajalnya untuk di dengar. Tape recorder yang ia miliki saat itu sedang rusak. Lantas si pembeli berinisiatif memutarnya di mobilnya sendiri.
“Waktu itu, pembeli mau mencoba nyetel kaset kebetulan tape recorder saya rusak, eh kok dia bilang mau di coba setel di mobilnya. Pikiran saya, niat betul dia sampe desain mobil ada tape recordernya,” papar Deny sambil tertawa.
Untuk urusan harga, Denny tak mematok harga tinggi. Tak seperti para kolektor lainnya yang bisa menjual sampai ratusan ribu untuk satu kaset. Ia menjamin harganya masih ramah dikantong pembeli. Denny membandrol harga satu kaset sebesar Rp18 ribu hingga Rp20 ribu.
“Saya jual kaset juga tidak mahal, cuma Rp18 ribu paling mahal itu Rp20ribu,”katanya.
Denny juga menjelaskan, alasan mengapa dirinya tak menjual mahal kaset miliknya. Sebabnya ia hanya ingin menghabiskan stok yang berjubel di dalam Rumah Makan Padang Jaya 1997.
Selain itu, Denny juga mengaku meski memiliki puluhan ribu kaset tua di rumah makannya, bisnis utamanya adalah usaha Rumah Makan Padang. Ia tak punya niat untuk menjualnya secara online. Lantaran akan memakan banyak waktu ketika dirinya harus mencari kaset tua pesanan satu persatu di tumpukan.
“Saya jual juga untuk menghabiskan stok saja, kalau hanya mengandalkan jual kaset ya enggak cukup buat makan, belum lagi kalau ada pesanan terus harus cari itu ditumpukan. Duh, waktu saya bakal habis disitu,” pungkasnya.
Menikmati sepiring nasi rendang dengan menikmati suasana pemandangan kaset-kaset tua rupanya asik juga. Seteleh bergelut dengan lalu lintas Jalan Bubakan yang padat, kini pikiran saya tenang setelah perut kenyang.
Reporter : Anin Kartika
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Sriono Edy Subekti, di Balik Kopi Bowongso dan Penyesalannya Membuka Jalur Pendakian dan liputan menarik lainnya di Susul.