Para porter membantu meringankan kerepotan penumpang di stasiun. Hidup mereka bertumpu dari banyaknya barang bawaan para penumpang.
***
Berpasang-pasang mata menatap nanar ke aspal area drop off Stasiun Tugu Yogyakarta. Sementara suara nyaring dari pengeras suara mewartakan akan ada kereta tiba. Kabar tersebut disambut oleh mereka yang sudah menunggu di selasar. Mereka mencari para penumpang dengan seabrek barang bawaan. Mereka mendekat, beberapa beruntung mendapatkan pekerjaan, beberapa lagi harus kembali duduk di selasar.
Dari arah dalam stasiun, suara pengumuman dan deru mesin kereta bersahut-sahutan Berpasang-pasang mata tadi tetap tenang mengamati suasana stasiun. Sesekali mereka berbinar, sesekali kembali nanar.
Sementara itu, di luar sebuah mobil berwarna abu-abu masuk ke parkiran, turun seorang pria muda dengan dua koper. Dua orang mendekat, satu orang kembali ke selasar dan seorang lainnya bergegas masuk dengan raut gembira. Di kedua tangannya tergantung dua koper tadi. Si pemuda membuntut di belakangnya sambil makan roti dengan santai.
Di ruang tunggu, para penumpang sibuk dengan gawainya masing-masing. Di depan mereka aneka barang bawaan berjajar. Mulai dari koper, tas ransel, kardus, hingga ada pula seorang penumpang membawa lukisan cukup besar. Mata-mata di ruang itu sesekali menatap resah ke arah lintasan rel atau jam tangan. Di antara sepi ruang tunggu, para pria berbaju merah, bercelana hitam, dan mengenakan blangkon hilir mudik dengan langkah cepat.
Di bagian depan dan belakang baju, terdapat nomor-nomor berbeda, lengkap dengan nama masing-masing. “PORTER”, begitulah tulisan di belakang baju. Beberapa dari mereka tampak necis dengan sepatu pantofel. Salah satu ciri lain, orang-orang tadi juga mengenakan manset tangan.
“Nunggu kereta datang, jadwalnya sih 5 menit lagi,” ungkap salah satu dari mereka. Tatkala pengumuman stasiun mewartakan kedatangan kereta Gajayana pada pukul 9.15 pagi, mereka bergegas memasuki sela-sela kursi di ruang tunggu. Masing-masing segera mengambil barang milik penumpang dan membawakannya mendekati peron.
Tidak semua dari mereka memiliki tampilan fisik yang kuat. Beberapa sudah berusia senja, sudah berkepala lima. Tapi di tangan mereka, koper-koper besar tampak begitu ringan. Masih sempat pula sebagian dari mereka memanggul tas atau kardus di bahu. Berkat mereka pula, si pemilik barang bisa santai bermain gawai atau mengunggah foto story ke sosial media sembari menanti keberangkatan.
“Terbantu banget, kalau tidak ada porter saya pasti kerepotan bawa ini semua,” ucap seorang ibu dengan barang bawaan satu koper dan dua kardus ukuran sedang.
Dari kejauhan, suara “klakson” kereta menyapa. Ular besi itu melintasi peron dan berhenti beberapa saat kemudian. Cepat saja bagi para porter untuk masuk ke kereta dan menaruhkan barang bawaan sesuai nomor kursi para penumpang. Tidak sampai 5 menit, pekerjaan mereka telah usai. Para penumpang yang telah dibantu mengucapkan terima kasih dan memberikan beberapa lembar uang.
Para porter kembali turun dan menjauhi peron. Petugas kereta ikut turun dan mengecek pintu kereta. Tidak sampai 10 menit, kereta kembali pergi menuju kota tujuan. Para porter itu juga akan “berburu” barang lagi.
Porter dan pekerjaannya
Suraji (51), Suyatno (49), dan Kholis Nurhuda (32) adalah 3 dari 100 porter di Stasiun Tugu Yogyakarta. Di sela kerjanya, mereka berbagi kisah. Kata Suraji, mereka adalah mitra kerja PT. KAI. “Ya tenaga harian lepas, di sini tempat kami kerja,” Kholis menambahkan.
Walaupun demikian, ungkap Suyatno, tetap ada perhatian dari PT. KAI kepada para porter Stasiun Tugu. “Pandemi kemarin kami sering dapat bantuan juga dari pihak KAI. Terus belum lama ini kami juga difasilitasi seragam baru,” imbuh pria asal Bantul itu sambil membanggakan seragam barunya.
Bicara masalah porter, siklus pekerjaan ini mirip dengan dunia perhotelan. Ada musim ramai, ada pula musim sepi. Ketiganya memberikan contoh musim ramai yaitu pada musim liburan di akhir dan pertengahan tahun. Sementara musim sepi, kata Kholis, akan terjadi pada 2 bulan menjelang datangnya bulan Ramadan. “Nah ini sebentar lagi bakal sepi, apalagi ada aturan PPKM baru,” sahut Suyatno.
Kehidupan mereka sesungguhnya belum lama normal. Selama pandemi kemarin mereka benar-benar mengalami masa sulit. Saat itu, hanya ada satu kereta saja per hari di Stasiun Tugu. Tentu saja kala itu susah mencari nafkah karena ketiadaan penumpang. Baru beberapa bulan belakangan ini tangan mereka bisa kembali menggengam tas, koper, kardus, dsb.
Dari 100 orang porter di Stasiun Tugu, jam kerja mereka dibagi menjadi 2 shift, masing-masing selama 12 jam mulai dari pukul 10 malam hingga 10 pagi. Menurut Suyatno, masing-masing shift berisi 50 orang dan dibagi berdasarkan nomor seperti tertera pada baju. Pagi itu misalnya, porter yang bertugas adalah nomor 1-50.
Sebagai tenaga lepas di stasiun, para porter tidak mendapatkan gaji pokok. Dompet mereka sepenuhnya bergantung pada banyaknya barang penumpang yang mereka bawa. Harga jasa porter pun bervariasi, sesuai kesepakatan antara porter dan penumpang dengan melihat jenis serta berat barang. Namun, pihak koordinator porter memberikan batas atas yaitu Rp20 ribu per barang. Dari pendapatan itu, mereka hanya diharuskan menyetor sebagian ke koperasi porter, tanpa potongan untuk KAI. Koperasi itu dikelola oleh para porter sendiri dan bertujuan untuk membantu kebutuhan sosial para porter. Misalnya, saat ada porter sakit.
Untuk lebih meratakan pendapatan, para porter juga punya peraturan tersendiri dalam menjalankan pekerjaan. Kholis menjelaskan, porter yang sudah dapat barang bawaan dilarang mencari penumpang lain sebelum si penumpang berangkat. Jadi, dengan adanya aturan ini, tidak ada praktik monopoli oleh porter tertentu. Semua bisa mendapat kesempatan, begitu tujuannya.
Seharian bekerja menjadi porter dan tidak bisa pulang membawa uang adalah hal biasa bagi ketiga orang tadi. Suyatno yang sudah 20 tahun menjadi porter mengatakan momen itu sering terjadi, begitupun Kholis yang baru 7 tahun ini menjadi porter. Kata keduanya, beberapa rekan kerja mereka punya pekerjaan di luar stasiun demi pemasukan tambahan. Namun, ada pula porter sepenuhnya menggantungkan hidup dari stasiun.
Keriuhan sejenak terjeda dengan adanya pengumuman kedatangan kereta. Sebuah kereta berhenti di peron bagian selatan Stasiun Tugu. Para porter lantas bergegas masuk ke gerbong-gerbong untuk menawarkan jasa angkut barang pada penumpang yang akan turun. Beberapa turun dengan menenteng barang, beberapa lainnya turun dengan raut muka datar—tanda tidak mendapatkan barang penumpang.
Mitra kerja
Telepon berdering sekira 5 detik sebelum suara seorang pria menyapa. Namanya Supriyanto (45), manager humas PT. KAI DAOP 6 Yogyakarta. Ia membenarkan bahwa para porter stasiun memang tidak mendapatkan gaji pokok dari PT. KAI. Tidak ada pula ikatan tertentu antara perusahaan dengan para porter. Urusan teknis pekerjaan seperti pembagian shift dan pembukaan lowongan sepenuhnya diserahkan ke para porter. Pihak PT. KAI hanya mengkoordinasikan saja seperti urusan penentuan tarif.
Koordinasi ini, menurut Supriyanto, demi menciptakan kenyamanan bagi para penumpang di stasiun. Pihaknya tentu tidak ingin ada kisah penumpang yang terkena harga tidak masuk akal dari para porter. Namun, pria itu mengatakan bahwa pihak PT. KAI hanya ada dalam koridor mengawasi. Urusan penentuan tarif, ungkapnya, adalah sepenuhnya hak para porter lewat koordinator mereka.
“Porter itu kan ada karena penumpang butuh jasa mereka. Jadi di sini kami lebih ke arah mengkoordinasikan. Belum lama ini kami juga memfasilitasi seragam karena mau bagaimanapun mereka mencitrakan PT. KAI,” kata Supriyanto saat berbincang dengannya via telepon.
Supriyanto juga membenarkan bahwa pandemi adalah masa-masa sulit bagi para porter. Maka, pihak perusahaan berusaha memberikan bantuan sembako. Selain itu, perusahaan juga menyalurkan bantuan-bantuan dari pihak lain untuk para porter di berbagai stasiun di Yogyakarta yang terkena dampak pandemi.
“Prinsipnya, mereka cari duit di sini maka tentu saja diizinkan dan kami hanya mengkoordinasi supaya teratur dan tertib,” pungkasnya.
Sementara itu, pikiran saya kembali melayang mengingat selasar dekat area drop off stasiun dengan berpasang-pasang mata penuh harap. Beberapa orang sudah berganti. Mereka hendak mencari penumpang baru dengan barang bawaan yang banyak. Rekan lainnya sedang menanti kedatangan kereta lain pagi itu di dekat peron. Mereka semua mengharap rezeki dari barang bawaan para penumpang.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi