Resah karena anak muda meninggalkan pertanian
Dalam sesi literasi pangan dan refleksi ini, Mbak Diah berulang kali mengungkapkan keresahannya dengan kondisi sebagian besar pertanian di Indonesia. Selain menyoroti maraknya penggunaan pupuk kimia dan ketergantungan masyarakat terhadap beras, beliau juga menyoroti rendahnya minat generasi muda di bidang pertanian.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2011, ada 29,18 persen pemuda yang bekerja di sektor pertanian. Angka ini dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Bahkan, tahun 2021 jumlahnya merosot tajam menjadi 19,18 persen.
Menurut Mbak Diah, rendahnya minat kawula muda di sektor pertanian ini disebabkan beberapa hal, salah satunya anggapan bahwa petani kurang bergengsi dan tidak memberi imbalan memadai. Di era postmodern seperti sekarang, profesi petani semakin dipandang tidak menjanjikan. Hal ini akibat dari subkultur di era digital, kepercayaan diri yang cenderung menurun, dan kurangnya literasi pangan.
“Agar anak muda tertarik dengan masalah pertanian, SP memfasilitasi mereka agar mau belajar langsung kepada para petani lokal. Dengan mengikuti ritme harian para petani, besar harapan mereka akan semakin paham persoalan-persoalan yang dihadapi petani dan menyerap ilmu tetanen di Dusun Wintaos. Ya, semoga anak-anak muda ini nantinya mau “insyaf” dan percaya diri mempraktikkan sendiri di kampung masing-masing,” ujar Mbak Diah.
Sejak berdiri belasan tahun lalu, Sekolah Pagesangan konsisten berfokus pada program kedaulatan pangan dan pemberdayaan warga sekitar. Tidak hanya melibatkan banyak kaum perempuan dalam berbagai kegiatan, SP juga merangkul serta mendorong anak-anak di Dusun Wintaos agar terus berkembang.
Mbak Diah mengungkapkan, tujuan mendirikan SP awalnya memang untuk pendidikan anak. Banyaknya potensi warga di bidang pertanian dan pengelolaan pangan, membuat perempuan kelahiran Madiun ini, sekitar tahun 2008 silam hatinya tergerak untuk ikut menginisiasi serta mengawal lahirnya Sekolah Pagesangan di Dusun Wintaos. Sebelumnya, sekolah kontekstual ini bernama Sumbu Panguripan, dengan beberapa pertimbangan, akhirnya sekitar tahun 2013 diubah menjadi Sekolah Pagesangan.
Untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar, beliau juga mendirikan perpustakaan atau yang lebih dikenal oleh warga sekitar dengan Gubuk Baca (Guba). Yang mana setiap sore atau saat hari libur sekolah, biasanya puluhan anak di Dusun Wintaos aktif mengikuti kegiatan baca buku dan praktik sinau tetanen (belajar pertanian).
Berbeda dengan sekolah formal pada umumnya, Mbak Diah menjelaskan bahwa metode yang digunakan di SP yaitu pembelajaran berbasis persoalan. Sederhananya, materi yang diangkat sesuai kebutuhan peserta didik. Sehingga anak-anak di Dusun Wintaos bisa merumuskan dan memecahkan masalahnya secara mandiri.
Setelah beberapa tahun berjalan, SP semakin berkembang dan melibatkan banyak pihak, terutama kaum perempuan. Antusiasme ibu-ibu dirasakan betul oleh Mbak Diah. Banyak dari mereka yang akhirnya aktif berkontribusi dalam program kedaulatan pangan, sehingga menciptakan Kelompok Pawon Pagesangan dan Kelompok Pengolah Pangan, yang akhirnya menghasilkan produk hasil olahan pangan lokal bernilai ekonomis.
“Intinya, kita ingin menguatkan sistem pangan yang ada di sini. Adanya gubuk baca, program Urip nDeso, dan semua kegiatan belajar-mengajar di SP, selain sebagai sarana belajar bersama, tapi juga untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat terhadap nilai-nilai pertanian yang sudah dianut sejak lama. Masyarakat di sini kan memang pada dasarnya punya karakter etos kerja tinggi, jadi tinggal kita asah saja,” tutur Mbak Diah.
Karakter dan kebiasaan baik inilah yang coba dipertahankan oleh Mbak Diah agar tetap lestari dan terus ditularkan kepada generasi muda. Gegap-gempita era modernitas memang tidak bisa dihindari, tetapi nilai dan spirit sistem pangan di Desa Wintaos akan terus diupayakan dan diterapkan dalam laku kehidupan sehari-hari.
“Adanya program Urip nDeso ini, akhirnya semua bisa belajar, to. Nggak cuma peserta, tapi juga warga sekitar. Bagaimana masyarakat menyikapi dan menghadapi orang baru, menjalin komunikasi, serta menyerap ilmu-ilmu yang baik dari luar. Sehingga masyarakat tetap bisa belajar hal baru di era modern tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang ada di dusun ini, terutama perihal sistem pangan,” ungkapnya.
Sinau tetanen untuk krisis pangan
Salah seorang peserta, Rifki Sanahdi (27), tertarik mengikuti program Urip nDeso karena ingin melihat seberapa besar sebenarnya dampak revolusi hijau terhadap sistem pangan hari ini. Pria asal Sumbawa, NTB, yang saat ini aktif di Rumah Baca Komunitas Yogyakarta, ini juga mengaku resah dengan penggunaan pupuk kimia yang semakin masif dilakukan oleh sebagian besar petani di Indonesia. Sebab, Rifki sadar betul bahwa hal tersebut berpotensi merusak tanah dan membebani para petani.
“Ada banyak pengalaman baru yang saya dapatkan selama mengikuti kegiatan Urip nDeso. Ya, kayak terlibat langsung dalam pembuatan pupuk alami, terus juga ikut tata cara penanaman juga. Bagi saya itu sangat menarik dan menyenangkan,” ungkap Rifki.
Adanya kegiatan Urip nDeso, juga membuat Rifki mengaku lebih bisa menghargai makanan. Selama mengikuti proses menanam, memupuk, hingga mengolah pangan di SP, semakin membuatnya sadar bahwa pola pertanian warga Wintaos adalah sistem yang bisa mendekatkan diri dengan lingkungan.
“Saya memandang bahwa ternyata makanan bukan lagi suatu komoditas, tetapi itu adalah sesuatu yang hidup. Jadi, saya kayak merasa punya tanggung jawab untuk merawat dan menjaga anugerah dari Tuhan yang dikasih ke kita ini,” tutur pria lulusan The University of Queensland tersebut.
Menurut Rifki, pesucen (lumbung pangan) yang dimiliki mayoritas warga di Desa Wintaos juga menjadi bukti bahwa mereka memiliki manajemen pangan yang baik. Hal ini semakin menegaskan ada kemerdekaan pangan yang sudah berlangsung cukup lama di ujung selatan Gunungkidul ini.
Kegiatan ini benar-benar mampu merefleksikan apa itu sustainable development, karena bisa langsung praktik sinau tetanen dengan warga lokal. Di mana daerah yang notabene acap dianggap gersang, tetapi punya sistem pertanian yang “visioner” dan bahkan bisa menjadi solusi ketika terjadi krisis pangan.
“Peran perempuan di Dusun Wintaos juga sangat luar biasa dalam bekerja dan menjaga lingkungan. Meski sering dianggap rentan dan lain sebagainya sama negara barat, tapi buktinya perempuan di sini nggak seperti itu. Selama mengikuti program Urip nDeso, saya melihat perempuan benar-benar kuat dan mandiri,” ujar Rifki di sela-sela diskusi.
Empat hari di Dusun Wintaos membuat hati dan pikiran saya penuh. Sepanjang perjalanan pulang, saya melihat puluhan kunang-kunang terbang mengelilingi rumah-rumah warga di Dusun Wintaos. Bukan hanya tanda bahwa kampung ini masih alami dan asri, tetapi kunang-kunang ini saya kira juga menjadi simbol ada harapan baru di balik senyum manis anak-anak di kaki bukit ini. Semoga.
Reporter: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Agung Purwandono