Orde Baru melalui revolusi hijaunya membuat petani tidak percaya diri dengan sistem pertanian yang mereka geluti. Bukan hanya membuat orang bergantung pada beras, Orba juga membuat petani bergantung pada pupuk kimia.
Sekolah Pagesangan yang berada di Gunungkidul mencoba melakukan perlawanan lewat meja makan melalui kegiatan Urip nDeso yang berlangsung 28-31 Desember 2022.
Mojok berkesempatan mengikuti Urip nDeso #5 untuk melihat bagaimana perlawanan dilakukan dari ladang hingga ke meja makan.
***
Perjalanan kali ini membawa saya ke Sekolah Pagesangan (SP), yang berada di ujung selatan Kabupaten Gunungkidul, tepatnya di Padukuhan Wintaos, Kalurahan Girimulyo, Kapanewon Panggang. Sekolah non-formal yang berfokus pada pendidikan pertanian dan pangan ini, mengadakan program sinau tetanen (belajar pertanian) bertajuk “Urip nDeso” yang berlangsung 28-31 Desember 2022.
Tiba di lokasi acara, saya langsung disambut dengan aneka menu makanan menggugah selera khas Gunungkidul. Ya, di hadapan saya, tersaji nasi tiwul, nasi merah, tempe koro, sayur lodeh, dan makanan lezat lainnya. Tanpa menunggu lama, saya langsung menyantap habis hidangan yang diolah langsung oleh Kelompok Pawon Pagesangan dan peserta Urip nDeso.
“Jangan malu-malu, Mas, ayo tambah lagi nasinya. Masih banyak lho sayur sama lauknya. Ayo to,” tutur perempuan berhijab di sebelah saya, yang tentu langsung segara saya amini.
Sinau tetanen “Urip nDeso” tahun 2022 ini diikuti sekitar 50 peserta, yang terdiri dari pendaftar resmi, relawan, dan beberapa komunitas pegiat lingkungan. Efektif selama tiga hari, dari pagi sampai malam peserta program Urip nDeso mengikuti serangkaian kegiatan, mulai dari saba tegal (berkunjung ke ladang), saba pawon (berkunjung ke dapur), sinau tani, hingga diskusi soal literasi pangan.
Saat ditemui Mojok, Diah Widuretno (44)—pendiri Sekolah Pagesangan, mengungkapkan bahwa Urip nDeso sendiri merupakan program belajar bersama yang sudah berjalan lima tahun, terhitung sejak pertama kali digelar pada 2016 dan tahun 2021 sempat terhenti karena pandemi. Tahun ini, sinau tetanen yang diadakan SP mengusung tema “Dari Ladang ke Meja Makan”.
“Program ini sama sekali bukan untuk mencari untung. Sebagian dari biaya kontribusi itu juga digunakan untuk mendanai kegiatan lain dan memberi kesempatan kepada komunitas lain agar bisa ikut berkontribusi serta belajar bersama mengenai literasi pangan,” tutur perempuan yang akrab disapa Mbak Diah.
Kegiatan Urip nDeso menghadirkan beberapa fasilitator pegiat pangan dan lingkungan. “Efektif selama tiga hari, peserta akan melakukan diskusi tentang literasi pangan dan refleksi, yang akan diisi oleh saya sendiri, Pakde Banning Prihatmoko, dan Lik Kuncoro. Setelah itu, peserta akan diajak pergi ke ladang untuk praktik pertanian. Mulai dari menanam, memetik sendiri hasil tanam, mengolah, dan makan bersama. Ya, kayak temanya, dari ladang ke meja makan,” imbuhnya.
Tidak hanya sekadar berbagi perihal literasi pangan saja, peserta sinau tetanen juga diajak praktik langsung ke ladang dan bertemu para petani di Dusun Wintaos, Desa Girimulya, Kabupaten Gunungkidul.
Mbah Diah menuturkan, program Urip nDeso juga melibatkan ratusan warga sekitar. Maka dari itu, menjaga komunikasi dengan masyarakat menjadi sangat penting sebelum mengadakan kegiatan ini. Beliau terus mengupayakan agar semua warga di Dusun Wintaos terlibat dan turut andil dalam program Urip nDeso agar terjadi simbiosis mutualisme.
“Sederhananya, kegiatan Urip nDeso ini bertujuan untuk membangkitkan kepercayaan diri warga masyarakat, bahwa sistem pangan kita itulah yang paling cocok dengan situasi di Dusun Wintaos. Sistem pangan yang saya maksud, ya, kayak penggunaan pupuk alami, memproduksi serta mengolah makanan sendiri.”
Revolusi hijau yang membuat pangan warga lokal tergerus
Mbak Diah mengatakan bahwa sejak ada program revolusi hijau di era Orde Baru, warga semakin nyaman dengan pupuk kimia dan bergantung sama beras. “Kalau situasi ini nggak direspons, tentu akan mengancam keselamatan kita. Nggak cuma anak cucu saja lho, kita juga bisa terancam,” terang Mbak Diah.
Sesuai tema “Dari Ladang ke Meja Makan”, SP mengajak para peserta Urip nDeso untuk belajar sekaligus praktik mengenai sistem subsisten atau swasembada (self-sufficiency).
Intinya, metode ini mengajarkan pola hidup minimalis dengan cara mengonsumsi makanan apa yang kita tanam. Selain itu, SP juga mendorong agar peserta tetap melestarikan sistem pertanian organik atau tanpa pupuk kimia.
Sekilas, pola ini memang terdengar sangat sepele. Namun, di tengah gempuran makanan instan yang berjubel di pusat perbelanjaan, tentu bukan persoalan mudah untuk dilakoni.
Sederhananya, kenapa harus repot-repot menanam jika bahan pokok makanan bisa dengan mudah didapatkan di pasaran? Lantas, apakah subsisten mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Dengan premis sederhana itu, Mbak Diah punya ide membuat kegiatan Urip nDeso untuk merespons masyarakat yang semakin nyaman dengan pola hidup instan. Sejak program revolusi hijau yang digembar-gemborkan era Orde Baru, mau tak mau telah memengaruhi pola konsumsi masyarakat. Tidak hanya menjadikan beras sebagai komoditi utama, tetapi secara tidak langsung program ini juga telah menggerus sistem pangan warga lokal.
“Sederhananya, kegiatan Urip nDeso ini bertujuan untuk membangkitkan kepercayaan diri warga masyarakat, bahwa sistem pangan kita itulah yang paling cocok dengan situasi di Dusun Wintaos. Sistem pangan yang saya maksud, ya, kayak penggunaan pupuk alami, memproduksi serta mengolah makanan sendiri,”
“Kita tahu, sejak ada program revolusi hijau di era Orde Baru, warga semakin nyaman dengan pupuk kimia dan bergantung sama beras. Kalau situasi ini nggak direspons, tentu akan mengancam keselamatan kita. Nggak cuma anak cucu saja lho, kita juga bisa terancam,” terang Mbak Diah.
Revolusi hijau sendiri merupakan program pada masa Orde Baru yang (konon) bertujuan meningkatkan produksi pangan melalui modernisasi pertanian. Salah satu dampak dari program ini, yaitu masifnya penggunaan pupuk kimia dan pestisida sintetis. Penggunaan pupuk ini dianggap dapat mencemari tanah dan membuat unsur hara di tanah cenderung menurun.
Jejak pertanian subsisten di Wintaos
Peralihan model pertanian tradisional ke pertanian modern yang dimulai pada masa Orde Baru, tentu memberi beban tersendiri bagi para petani. Program ini justru membuat petani desa harus mengeluarkan biaya produksi yang tidak sedikit karena harus membayar pengolahan tanah, pupuk kimia, pestisida sintetis, mencari bibit unggul, dan lain sebagainya.
Menurut Pakde Banning, revolusi hijau peninggalan zaman Soeharto di era Orde Baru ini juga membuat sistem pangan di Indonesia berubah. Padahal, dulunya, masyarakat memiliki cara sendiri dalam mengelola pertanian dan pangan. Misalnya di Gunungkidul, dulu cukup mengonsumsi tiwul atau gatot, sudah bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sekarang, bisa dihitung pakai jari cuma berapa orang warga saja yang masih mengonsumsi makanan khas di Bumi Handayani ini. Ini yang dinamakan sistem subsisten.
Banning Prihatmoko, menjelaskan bahwa subsisten merupakan sistem pertanian yang berfokus pada usaha membudidayakan bahan pangan dalam jumlah cukup, baik untuk diri sendiri maupun keluarga.
“Model subsisten harus dipertahankan warga dan dikenalkan kepada kawula muda. Mumpung jejak subsisten ini masih ada di Dusun Wintaos, sudah seharusnya kita rawat dan terus dijaga. Asal orientasinya bukan uang, saya kira bukan suatu hal mustahil cara ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” tutur Banning Prihatmoko atau akrab dipanggil Pakde Banning, di sela-sela diskusi tentang literasi pangan dan refleksi.
Menurut Pakde Banning, banyak sekali tantangan yang dihadapi masyarakat di era modern seperti sekarang. Meningkatnya kebutuhan hidup sehari-hari, tak jarang mengharuskan setiap orang mencari jalan pintas yang dianggap lebih menguntungkan secara materi. Akhirnya, pola pertanian subsisten dipandang kuno oleh sebagian kawula muda dan kurang menarik menjadi bahan obrolan di tongkrongan.
“Modernisasi terkadang memisahkan kita dari alam. Tapi, ini bisa disikapi dengan terus menanam dan mau makan tanaman pangan, kayak ubi-ubian, kacang-kacangan, seperti yang kalian petik hari ini. Tentu ini jauh lebih murah dan menyehatkan. Pertanyaannya, apakah ini bisa jadi sebuah kebiasaan? Sangat mungkin, harus berani memulai. Bukankah setiap perjalanan selalu diawali dengan langkah pertama?” terang Pakde Banning di hadapan puluhan peserta dan relawan Urip nDeso.
Di samping itu, pandemi covid awal 2020 lalu, sebenarnya juga menjadi bukti nyata bahwa subsisten mampu menjadi solusi di tengah krisis. Tidak sedikit masyarakat yang kemudian memiliki kesadaran untuk menanam atau memproduksi apa yang mereka konsumsi. Pengalaman ini cukup menunjukkan bahwa “Dari Ladang ke Meja Makan” sangat mungkin bisa dilakukan dan bukan cuma jadi jargon semata.
Pakde Banning juga menambahkan, bahwa metode subsisten mampu menjadi alternatif pangan ketika terjadi kelangkaan beras. Dengan menerapkan sistem pertanian berkelanjutan, bukan tidak mungkin kedaulatan pangan benar-benar bisa tercipta. Dan cara ini sudah dicoba dan terus diupayakan SP agar subsisten tidak hanya berhenti di meja-meja diskusi, tapi juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
“Memang benar metode ini (subsisten) sangat bisa dilakukan ketika terjadi krisis. Tapi, apakah kita harus menunggu krisis dulu baru menanam? Saya kira memulai dari sekarang jauh lebih baik daripada tidak sama sekali”, tandasnya.