Miskin tapi hidup bahagia, jadi gambaran untuk Provinsi DIY yang dinobatkan sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa, tapi di sisi lain juga menjadi salah satu daerah dengan tingkat kebahagiaan tertinggi di Indonesia. Predikat itu jangan membuat terlena masyarakat muapun Pemda DIY.
***
Pemerintah DIY sebenarnya sudah lama menyadari bahwa dalam beberapa tahun terakhir, daerah istimewa ini selalu nangkring di rangking teratas sebagai daerah termiskin di Pulau Jawa. Hal itu juga yang kemudian membuat persoalan kemiskinan di DIY jadi isu strategis yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM) DIY 2017-2022.
Belum tuntas, persoalan pengentasan kemiskinan ini juga masuk dalam RPJM 2022-2027 bidang ekonomi yang disampaikan gubernur DIY, Sri Sultan HB X dalam pemaparan visi, misi, dan program pada sidang paripurna DPRD DIY (8/8/2022) silam. Jadi soal, DIY jadi provinsi termiskin itu bukan isu baru.
Data terakhir, atau awal 2023, angka kemiskinan di DIY mengalami kenaikan dibandingkan periode yang sama pada 2022 lalu. Pada Maret 2022, angka penduduk miskin di DIY sebesar 11,34 persen atau sejumlah 454,76 ribu orang. Namun rilisan data terakhir menunjukkan peningkatan menjadi 11,49 persen atau setara 463,63 ribu orang.
Indeks kebahagiaan tinggi
Pemda DIY menolak disebut provinsi termiskin di Jawa, Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY, Beny Suharsono menyatakan indikator kenaikan kemiskinan tidak bisa dibaca dari hitungan quarter per quarter.
Beny menekankan, kemiskinan bukan hanya dilihat dari statistik angka saja. Namun, harus juga dilihat bagaimana kehidupan masyarakat dengan parameter-parameter lain seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di DIY. IPM meliputi Angka Harapan Hidup (AHH), Indeks Kebahagiaan (IP), Harapan Lama Sekolah (HLS), dan Indeks Kesejahteraan Sosial (IKS).
Alih-alih naik, Beny mengklaim, jika dihitung year to year atau periode per tahun, maka angka kemiskinan di DIY justru mengalami penurunan. Penurunan terjadi bila berdasarkan variabel IPM.
Bahkan Kulon Progo menjadi kabupaten dengan usia harapan hidup paling tinggi di Indonesia, 75 tahun. Lebih tinggi dari rata-rata nasional yang 71,8 tahun. Sedangkan angka harapan sekolah di DIY juga mencapai 15,1 tahun. Hal ini mengindikasikan tingkat pendidikan penduduk DIY rata-rata minimal mencapai Diploma 3 (D3) atau tertinggi kedua setelah DKI Jakarta. Begitu juga dengan indeks kebahagiaan, penduduk DIY memiliki tingkat kebahagiaan tertinggi di Indonesia.
Ketimpangan di DIY sangat tinggi
Kepada Mojok.co pemerhati politik dan pemerintahan, Diasma Sandi Swandaru mengingatkan agar Pemda DIY maupun masyarakat tidak terlena dengan tingginya angka di IPM. Bagi pemangku kebijakan, angka-angka itu juga tidak bisa dijadikan dalih dan digaungkan ke masyarakat saat situasi perekonomian sedang tidak baik-baik saja.
“Dalam konteks pemangku kebijakan yakni pemerintah, hal itu tidak boleh dijadikan penghibur. Fokus utama tetap pada kesejahteraan masyarakat,” tegas dosen Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) Yogyakarta, Jumat (20/1).
“Tugas utama sebagai pemerintah daerah di kabupaten atau provinsi itu memastikan agar kesejahteraan umum masyarakat terjaga,” terangnya.
Diasma Sandi Swandaru menyoroti bahwa angka kesenjangan di DIY begitu tinggi. Pada tahun lalu, DIY mencatatkan diri sebagai provinsi dengan indeks rasio gini tertinggi di Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan angka rasio gini sebesar 0,384 pada Maret 2022. Meningkat 0,004 poin dari September 2021.
“Bicara kesenjangan itu bicara problem kebijakan, Kesenjangan terjadi karena produk kebijakan yang kurang tepat. Dan hal itu sering terjadi di Jogja,” paparnya.
Melihat kemiskinan yang didominasi perkotaan, Dias menyoroti bahwa kesenjangan di pusat-pusat kota di Jogja tampak dari pembangunannya. Ia mencohkan maraknya izin pembangunan hotel-hotel hingga penginapan mewah yang hanya bisa dilakukan dan dinikmati segelintir kalangan saja.
“Kalau tidak segera diatasi, tentu bahaya ke depannya,” tegasnya.
Kurangi slogan yang melenakan dan bangun kesadaran kritis
Ia melihat bahwa banyak filosofi dan slogan yang berkembang di masyarakat Jogja dan Jawa pada umumnya, yang menekankan pentingnya laku menerima. Konsep slogan seperti nrimo ing pandum (tulus menerima pemberian) hingga sithik eding (sama-sama meski sedikit).
“Jangan sampai, budaya atau filosofi ini dipelihara karena ketidakmampuan elite untuk mengatasi kemiskinan,” tegasnya.
Budaya-budaya ini sudah menjadi semacam laku kehidupan yang melekat pada keseharian masyarakat. Mereka memaknai bahwa kekeluargaan yang bersifat sosial lebih utama ketimbang ekonomi yang urusan material.
“Kemiskinan dan sesuatu yang material, kekerabatan adalah sesuatu yang bersifat emosional. Makan sedikit gapapa asal bareng. Istilahnya, bagito atau dibagi roto kabeh,” ujarnya.
Untuk itu, menurutnya, penting untuk membangun kesadaran kritis di masyarakat. Demi menyadari situasi yang nyata terjadi di sekitarnya dan mulai berbenah ke arah yang lebih baik.
“Jogja ini kan punya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bagus. Jadi sudah selayaknya persoalan ini bisa dientaskan. Prinsip memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial harus jadi titik lokus masyarakat,” paparnya.
Baginya, semua elemen pemerintahan perlu mendukung visi yang telah dijabarkan gubernur untuk mengentaskan kemiskinan dan pemerataan pembangunan di DIY. Pemda sebagai lokomotif mendorong elemen Organisasi Perangkat Daerah (OPD), lalu kampus-kampus melalui SDM dan pemikirannya, dan elemen pengusaha dengan modal yang dimiliknya.
“Tiga elemen ini harus keroyokan mengentaskan kemiskinan. Leading sector-nya tetap pemerintah,” pungkasnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Pemda DIY Tolak Disebut Provinsi Termiskin, Angka Kebahagiaan Justru Naik