Dulunya, Alun-alun Utara adalah tempat sakral milik Keraton Jogja yang kemudian menjadi ruang publik. Setelah disahkannya, UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, Alun-alun Utara dikembalikan fungsinya sebagai ruang privat milik keraton.
***
Sore itu, Ginah (63) sibuk menunggu pelanggan di deretan kursi trotoar sisi barat Alun-alun Utara Jogja. Setiap ada orang yang lewat di trotoar atau pengendara yang menepi di pinggir sisi barat jalan, ia sigap menawarkan aneka menu makanan yang tersedia di warung kecil dengan bangunan tak permanen miliknya.
“Mangga Mas, ngopi-ngopi, makan ada,” ujarnya pada satu pejalan kaki yang melintas.
Sembari menyeruput kopi hitam dan sesekali menikmati tempe goreng hangat di meja, saya mengamati Ginah yang sabar menanti datangnya pembeli. Saat singgah ke warung, tak ada pembeli lain selain saya. Barangkali hampir setengah jam, baru ada dua orang pembeli yang datang.
Ginah yang dibantu kakak iparnya berjualan beragam jenis makanan dan minuman. Mulai dari kopi, teh, minuman saset dan kemasan, serta makanan ringan dan berat khas pedagang sekitar tempat wisata. Di sisi barat Alun-alun utara, ada beberapa pedagang lain dengan jualan yang serupa.
Memandang ke depan, tepat di seberang jalan, terlihat jelas penampakan lautan pasir yang dikelilingi pagar besi berwarna hijau. Dua beringin bernama Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru masih berdiri kokoh di tengah. Wajah terkini Alun-alun Utara Jogja yang tak bisa lagi dimasuki wisatawan maupun warga Jogja ‘biasa’.
Ginah dan para pedagang lain di sekitar sini merupakan saksi, perubahan drastis yang terjadi pada salah satu ikon pariwisata Jogja ini dalam beberapa tahun belakangan. Ia bercerita bahwa perubahan ini, turut mengubah hidupnya.
Dulunya, Ginah merupakan penjual batik di tepi trotoar sisi timur Alun-alun Utara Keraton Jogja. Sejak 2015, karena perubahan kebijakan, ia direlokasi dan diberi tempat berjualan di sisi barat ini. Kala itu, Alun-alun Utara masih ramai dan menjadi pusat beragam aktivitas wisatawan maupun warga lokal. Beberapa sekolah di sekitarnya juga melakukan kegiatan praktik mata pelajaran olahraga di kawasan ini.
Ditambah lagi, pada waktu tertentu ada hajatan seperti pasar malam bahkan konser yang dihelat di tempat itu. Sehingga pagi, siang, sore, hingga malam, Ginah tak perlu bingung menunggu pelanggan.
Tahun 2019 saat Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) mulai ditiadakan, satu penyebab keramaian di area ini berkurang. Setahun kemudian, di masa pandemi, Keraton Yogyakarta membuat kebijakan pembangunan pagar mengelilingi Alun-alun Utara. Membuat area ini tak bisa lagi dimasuki sembarang orang.
“Dibandingkan sebelum dipagar ya jauh sekali. Dulu setiap pagi ramai orang jogging pada mampir ke sini [warung]. Begitu dipagar ya sudah nggak nyaman to orang, nggak bisa main di alun-alun lagi,” ujar wanita yang tinggal di sekitar Kauman ini.
Perubahan yang bertepatan dengan pandemi, tentu membuat dampak ia rasakan bertambah berat. Menurutnya, jika dibandingkan dengan masa sebelum itu, omzetnya menurun bisa sampai delapan puluh persen.
“Bahkan pernah sehari dapat 40 ribu saja. Ya sekarang orang bingung juga ke sini, pengen nyantai, nggak bisa tempat duduknya, dulu masuk ke lapangan seberapapun muat,” tambah wanita yang saya temui Selasa (19/7) .
Bagi Ginah, tahun 2020 adalah masa yang berat. Selain pendapatan yang seret, suaminya juga meninggal di tahun itu. Namun, ia mengaku masih beruntung, seberapapun pendapatan yang ia kantongi dalam sehari, bisa ia manfaatkan untuk keluarga. Sebab, lokasi berjualan ini digratiskan dari biaya sewa.
Hari semakin sore, jam di tangan saya menunjukkan pukul 17.00. Perlahan beberapa pembeli datang menghampiri. Ginah mulai sibuk sehingga saya pun memilih beranjak pergi.
Melangkah dari warung ini, pandangan saya terhenti saat melihat seorang bapak tua dengan sepeda jengki di depannya. Ia sedang duduk sendirian di trotoar alun-alun. Pandangannya seperti kosong, memandang lalu lalang kendaraan di jalanan. Saya putuskan menyeberang dan mengajaknya berbincang.
Pria yang mengaku bernama Supardi ini berujar bahwa Alun-alun Utara adalah bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Sebelum dan sesudah perubahan terjadi di area ini, ia masih sering kemari.
“Lha rumah saya ya ming wetan (timur) Keraton situ Mas,” ujarnya sambil menunjuk ke arah timur.
Supardi berujar bahwa ia dulu berjualan berbagai mainan di alun-alun. Mulai dari berjualan gelembung sabun sampai kitiran. Namun, selepas dipagar, ia sudah tidak bisa melakoni profesinya yang dulu.
“Pas dipager niki kulo wes raiso polah, saiki nyambut gawe opo wong wis tuo (sejak dipagari sudah tidak bisa apa-apa, sekarang sudah tua mau kerja apa),” keluh pria yang mengaku berusia 60 tahun ini.
Memang, ia mengakui bahwa sekarang area ini bertambah rapi dan tertata. Tapi hanya bisa dinikmati lewat pandangan mata, tanpa bisa melangkahkan kaki di dalamnya. Dulu, alun-alun bukan sekadar tempat ia mencari nafkah semata, tapi juga jadi tempatnya melepas penat dan bertukar sapa dengan kawan-kawan.
“Susahe nek saiki yo raiso nikmati karo lingguhan ning njero, biasane ting mriki iso tukar kawruh kalih konco [susahnya sekarang tidak bisa dinikmati sambil duduk-duduk di dalam, biasanya di sini bisa berbagi cerita dengan kawan-kawan]. Di rumah jenuh, di sini bisa senang,” terangnya.
Supardi begitu semangat ketika menceritakan kenangan-kenangan yang tercipta di area ini. Bahkan ia berujar bahwa ibunya dulu, sudah berdagang di sisi utara Alun-alun Utara sejak masih muda hingga punya anak dua belas. Supardi mengaku anak kelima.
“Ibu kulo dodolan ting ringin pojok niko, sadean dodolan, enten trek-trekan kalih jaran kepang (Ibu saya dulu jualan di bawah pohon beringin sana, jualan mainan, ada mainan truk sama kuda kepang),” kenangnya.
Tak jauh dari lokasi Supardi duduk, saya juga menghampiri remaja bernama Zidan (18). Ia sedang duduk santai di trotoar bersandar pada pagar besi bersama tiga rekannya. Remaja yang masih duduk di bangku SMK ini mengaku rindu bisa bermain di dalam area alun-alun.
“Sejak kecil sering ke sini, dulu bisa main di dalam. Sekarang nyantai di pinggiran sini saja bisanya,” kata remaja asal Bantul ini.
Para remaja ini tak banyak tahu mengapa tempat mereka dulu biasa menghabiskan waktu secara gratis, kini tak bisa dimasuki lagi. Kini setidaknya mereka masih bisa berkumpul, meski di trotoar sempit, berbagi ruang dengan pejalan kaki yang sesekali lewat dan berdekatan dengan asap knalpot kendaraan yang melintas.
Perjalanan kembali ke bentuk semula
Banyak hal tentang Alun-alun Utara yang tinggal kenangan. Tak hanya buat Ginah dan Supardi yang menjadikan area tersebut sebagai sumber penghidupan. Namun, juga dirasakan banyak orang yang terbiasa menjadikan tanah lapang ini sebagai tempat berkumpul, bersenang-senang, dan menghabiskan waktu luang.
Sejak 2019, pembenahan area lapang yang dulunya menjadi salah satu episentrum keramaian Kota Yogyakarta ini mulai dijalankan.
Diawali dengan peniadaan PMPS yang sebelumnya jadi perayaan tahunan karena dianggap pihak Keraton Jogja merusak kondisi tanah alun-alun. Selain itu, putri Sri Sultan HB X, GKR Bendara mengungkapkan PMPS juga dianggap tak relevan dengan esensi tradisi sekaten.
“Peniadaan itu juga menjadi langkah untuk mengembalikan makna sekaten pada sekaten itu sendiri,” kata GKR Bendara, 2019 lalu.
Setahun berselang, upaya restorasi dilanjutkan dengan pemasangan pagar besi bermotif pacak suji dengan warna hijau pareanom yang mengelilingi area tanah lapang ini. Menggunakan dana keistimewaan (danais) senilai Rp2,3 miliar, proyek ini dilangsungkan.
Sri Sultan menjelaskan tujuan proyek itu demi mengembalikan wajah Alun-alun Utara seperti yang ada di masa lampau. Meski beliau mengakui, ada sejumlah perbedaan pada konsep pagarnya.
“Tujuannya kembali ke yang dulu. Saat awal (Keraton) alun-alun dipageri, tidak hanya alun-alun tembok masuk Rotowijayan, ke utara ke kantor pos itu dulu ada pintu gerbang semua,” ungkap Sultan terkait pemasangan pagar besi.
Revitalisasi kemudian berlanjut di pertengahan tahun 2022, saat tanah alun-alun digali dan diubah menjadi ‘lautan’ pasir. Lagi-lagi, ini merupakan upaya Keraton Yogyakarta untuk mengembalikan wajah Alun-alun Utara seperti dahulu kala. Pihak Keraton Jogja juga berujar bahwa ini merupakan upaya pengejawantahan konsep Memayu Hayuning Bawono atau menjaga dan memperindah keindahan dunia.
Menurut laman Keraton Yogyakarta, dulunya memang area Alun-alun Utara ditutup dengan pasir lembut. Hal ini senada penuturan Johannes Raap dalam bukunya Kota di Djawa Tempo Doeloe yang menjelaskan bahwa ada kebiasaan lama bahwa rumput tidak diperbolehkan tumbuh di alun-alun.
“Kadang permukaan alun-alun ditutup dengan pasir halus untuk membuatnya terlihat tidak benar-benar kosong,” tulis Raap.
Raap juga menjelaskan bahwa alun-alun di Jogja dan Solo, memang punya sejumlah perbedaan dengan alun-alun di kota-kota lain di Pulau Jawa. Alun-alun di Jogja, letaknya lebih terintegrasi ke dalam kompleks keraton. Berbeda dengan alun-alun di kota lain yang punya kecenderungan letaknya berada di titik pertemuan jaringan jalan dalam kota.
Alun-alun di Jogja, dianggap lebih cenderung memiliki fungsi sakral. Makna alun-alun beserta kedua pohon beringin di tengahnya menggambarkan konsepsi manunggaling kawula Gusti, bersatunya rakyat dengan raja dan bertemunya manusia dengan Tuhan.
Ketimbang Alun-alun Selatan, tempat ini juga memiliki posisi yang lebih strategis. Letaknya yang berada di halaman depan Keraton Yogyakarta dikelilingi sejumlah titik penting, seperti masjid agung hingga lembaga pemasyarakatan.
Pertarungan ruang
Tidak diketahui pasti kapan, namun dalam perjalannya Alun-alun Utara yang tadinya merupakan area ‘sakral’ berkembang menjadi ruang publik titik berkumpulnya masyarakat untuk melakukan beragam aktivitas. Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta memaparkan dalam beberapa dekade belakangan area tersebut mengalami pergeseran yang signifikan menjadi tempat perjumpaan warga dalam berbagai acara.
“Itu arena yang sakral, tapi dalam perjalanannya menjadi arena publik. Kaya semacam plaza atau semacam agora kalau zaman Yunani,” ujarnya.
Menurut AB, sejak disahkannya UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY ada kehendak untuk melakukan perubahan tata ruang yang signifikan dengan pendekatan heritage. Terutama kaitannya untuk mengembalikan Kota Yogyakarta seperti fasadnya, khususnya area Keraton Jogja.
Namun yang menjadi persoalan, masyarakat mengalami kekagetan karena belum mengetahui gambaran besar perencanaan yang dilakukan terkait perubahan tata ruang ini. Di sisi lain, banyak masyarakat yang selama ini mendapatkan penghidupan dari kawasan yang berubah tadi.
“Melihat konteks sosial saat ini, seolah-olah ada pertarungan ruang, terutama sektor informal dengan kepentingan besar untuk penyelamatan heritage itu,” ungkapnya.
Situasi yang ada sekarang membuat AB meyakini ada proses komunikasi yang belum berjalan baik mengenai perubahan-perubahan yang akan dilakukan terkait Alun-alun Utara. Perubahan ini menyebabkan warga, terutama yang penghidupannya dari area tersebut merasakan ketidakpastian.
“Sehingga perlu ada komunikator yang menyapa mereka, perlu ada informasi yang diperluas, diintensifikasi, dan itu informasi yang substantif. Menjawab kebutuhan sektor informal yang merasa kehilangan ruang untuk penghidupan sehari-harinya,” jelasnya.
Selain itu, dalam konteks sosiologis, AB menganggap ruang publik yang menjadi ‘ruang produksi sosial’ di kota akan semakin terbatas. Sehingga pemerintah perlu memikirkan pengganti apabila alun-alun yang menjadi titik berkumpul warga dalam berbagai aktivitas kini ditutup.
“Ketika alun-alun juga hendak diposisikan sebagai ruang sakral yang tidak lagi untuk publik, tentu harus ada penggantinya, itu yang perlu dijawab. Tapi kan bisa dibayangkan bahwa Kota Jogja itu kota yang sudah paten dan padat pemukiman,” ujarnya.
Bukan berarti asal menolak upaya mengembalikan ruang-ruang di Jogja menjadi bentuk asalnya. Namun, menurutnya perlu dipikirkan kembali apabila alun-alun kembali pada fasad yang lama, lalu masalah kekurangan ruang ini bagaimana dipecahkan. Orang-orang ini butuh jawaban, orang-orang ini butuh harapan.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Gali Alun-alun Utara, Keraton Yogyakarta Ingin Kembalikan ‘Laut Tak Berpantai’